rin_iffah

“Dok pasien Tn S. yang di bed 4 tiba-tiba drop” lapor seorang perawat terburu-buru. Segera saya hentikan menulis beberapa status pasien baru dan menghampiri pasien dimaksud. Sudah banyak orang yang berkerumun. Hanya sebagian kecil anggota keluarga pasien sisanya pembesuk pasien lain yang masih tertahan di UGD. Saya coba memanggil nama pasien sambil memberikan sedikit rangsang nyeri, namun tak ada reaksi. Nadinya teraba lemah dan dalam, Tekanan darah sulit dievaluasi kecuali dengan perabaan. Sementara Infus belum berhasil terpasang. Saya langsung menginstruksikan kepada salah seorang perawat senior untuk mencoba mencari jalur intravena agar akses cairan bisa segera masuk. Dengan cekatan perawat tersebut menusukkan jarum infus ke lengan bawah pasien dan sruuut, kurang dari 30 detik infus berhasil terpasang. “Guyur dulu cairannya, sementara pasang monitor EKG, siapkan alat bagging dan adrenalin” “baik dok” ujar beberapa perawat yang membantu saya melakukan penangan pada pasien ini. Sementara di bed 3 seorang pasien yang lain berteriak-teriak kesakitan. “Dok, pasien di bed 3 sesak” teriak perawat yang sementara mengobservasi pasien yang lain. “Pasang dulu oksigen 3 liter” instruksi saya tanpa sedikitpun mengalihkan perhatian dari pasien bed 4 “Maaf dok ada pasien baru dengan luka tusuk di bahu, pasien inpartu dan pasien anak dok” beruntun yang lainnya melapor. Saya melirik sejenak ke jam dinding. Jam 20.45. lima menit lagi harusnya saya sudah bersiap untuk pulang. Tapi dokter jaga untuk shift malam belum tiba. Kenapa rame-nya pas di saat jelang pergantian jaga. Saya tersadar dari lamunan dan buru-buru berujar “Kalo pasiennya stabil pasang infus dulu. Bentar saya liat.” 

Di bed 4 kesibukan masih berlangsung. Lima menit berlalu, namun belum ada respon dari pasien yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Layar monitor EKG menunjukkan garis lurus asistole, pasien mengalami henti jantung. “Siap RJP!” saya berbisik pelan kepada perawat yang berada tepat di samping. Dengan sigap seorang perawat wanita mengambil tempat di sisi kiri pasien dan langsung melakukan pijat jantung luar. Sementara yang lainnya memberikan napas buatan lewat bagging. Bergantian kami melakukan pijat jantung. Sepuluh menit, limabelas menit belum ada respon. Dan tiba-tiba layar monitor berubah menjadi Ventrikel Fibrilasi. “Siapkan DC Shock!” Di sekeliling semakin banyak orang yang menyaksikan apa yang sedang berlangsung, antara debar penasaran dan cemas akan keselamatan pasien ini. “Maaf pak, ibu tolong di luar dulu, biarkan kami bekerja dengan leluasa menangani pasien ini” ujar seorang perawat membuyarkan kerumunan orang-orang yang ada. Hampir saja saya lupa untuk menjelaskan ke keluarga pasien tentang apa yang terjadi. Sementara perawat melanjutkan tindakan saya mencoba untuk menjelaskan secara singkat dan jelas tentang kondisi pasien serta tindakan yang sedang kami lakukan. Keluarga pun telah pasrah dan menyerahkan semuanya sama Allah dan juga ikhtiar kami. Saya kembali untuk melakukan DC shock. Namun tak ada perkembangan yang berarti. Layar monitor kembali menunjukkan garis lurus asistole. Tanpa patah semangat pijat jantung tetap dilakukan. Melihat petugas yang sudah kehabisan tenaga, saya pun bertanya. “Sudah berapa lama sejak RJP dilakukan?” “kira-kira 45 menit dok” “Stop dulu dan evaluasi Nadi carotis." Perintah saya untuk mengehentikan tindakan “Negatif dok” saya pun memastikan dengan meraba arteri carotis pasien serta memeriksa pupil. Midriasis total, refleks cahaya negatif. Bagian tersulit dari hidup saya salah satunya adalah saat ini. Saat dimana saya harus menyampaikan kabar buruk seperti ini pada keluarga pasien. “Innalillaahi wa innailaihi raajiuun, waktu kematian pukul 21.35 WIT” Lirih saya pelan tak berharap yang lain mendengar apa yang saya ucapkan. Semua tertunduk lemas, saya melempar pandangan sejenak kepada keluarga pasien yang berdiri tak jauh dari tempat kami, hanya terdengar desahan. Tampak jelas isak yang tertahan. Pasien kedua yang harus saya saksikan meninggal di depan mata hari ini.

Satu jam sebelumnya. Seorang bapak datang mencari dokter jaga “ Maaf dok, saya mau konsultasi, bapak saya di rumah sudah terpasang kateter selama sepekan karena susah kencing, dan hari ini harusnya sudah dilepas tapi karena hari libur jadi saya ke UGD sekalian bertanya apakah bisa dilepas di UGD karena beliau merasa kesakitan. Biar nanti dikasih obat buat rawat jalan saja. Kontrolnya sekalian besok di poliklinik” Bapak itu mencoba menjelaskan dengan hati-hati “Ya udah, dibawa dulu pasiennya ke sini biar saya liat kondisinya yah” jelas saya singkat “Baik dok, terimakasih” bapak itu kemudian pamit pulang untuk menjemput pasien yang dimaksud. Setengah jam kemudian seorang bapak tua berusia sekitar 60 tahun dengan kateter yang masih terpasang datang ke UGD di antar keluarganya yang sebelumnya sudah konsultasi ke saya. Sepintas pasien ini kelihatan biasa-biasa saja. Tidak ada indikasi untuk rawat inap. Saya mendekat dan mulai bertanya “Maaf pak, gimana kabarnya” “baik dok” ujar bapak paruh baya ini dengan senyum lebar. “Ada keluhan lain selain sakit di tempat yang terpasang kateter?” lanjut saya bertanya “Tidak dok, Cuma tadi sempat menggigil kedinginan” jawabnya masih dengan senyuman. Tapi ada yang aneh yang sempat saya tangkap dari pasien ini (insting seorang dokter). Bicaranya sedikit terbata dengan nafas yang agak cepat. “Bapak ada riwayat Darah tinggi atau sakit gula?” sambil melakukan pemeriksaan fisik saya lanjut bertanya. “Hanya Hipertensi ringan, tapi pernah sebelumnya diperiksa dan kata dokter ada sedikit gangguan di jantung” Nah ini dia, pandangan saya terhenti pada kedua tungkai pasien; bengkak. Keluarga yang melihat mata saya tertuju kea rah tungkai buru-buru menyela. “kakinya bengkak semenjak di pasang kateter dok, mungkin karena pengaruh kateter” “Sepertinya tidak ada hubungan bu antara pasang kateter dengan bengkak di kaki” ujar saya meyakinkan. “Kemungkinan ini karena pengaruh gangguan jantung yang sempat diceritakan bapak tadi. Kondisi bapak juga kurang stabil karena agak sesak. Saran saya sebaiknya jangan dulu buru-buru dibawa pulang. Di opname saja dulu satu dua hari sambil melihat perkembangannya. Ada obat yang akan saya kasih untuk menurunkan tekanan darah sekaligus bengkak di kaki tapi efek sampingnya akan bikin bapak sering kencing. Jadi sebaiknya kateter ini jangan dulu dilepas. Kasihan juga bapak jika harus bolak balik kamar mandi dengan kondisi seperti ini. Kami juga akan melakukan pemeriksaan rekam jantung untuk memastikan kalo jantungnya baik-baik saja, jika bapak merasa sesaknya bertambah kami akan kasih bantuan oksigen” jelas saya panjang lebar. Dari raut wajahnya keluarga ni pasien keliatannya kurang setuju jika harus dirawat inap. Pikirnya mungkin keluhannnya hanya nyeri karena terpasang kateter tapi kok malah harus dirawat inap. Kesannya tidak nyambung. “Kalo bisa dikasih obat buat di rumah saja dok, biar dilepas saja kateternya. Bapak kelihatan baik-baik saja kok” Seorang keluarga pasien mencoba meyakinkan. “Saya tidak masalah pak, tapi saya sangat anjurkan untuk dirawat dulu. Karena keluhan sebenarnya bukan pada kateternya tapi sesaknya. Apalagi tadi bapak sudah mengeluh merasa kedinginan walopun hanya sesaat. Semua terserah pada keluarga.” Beberapa saat mereka terdiam dan saling berbisik pelan “Kami terserah dokter saja, kalo menurut dokter harus dirawat saya setuju.” Ujar seorang ibu yang ternyata anak kandung dari pasien. “Baik bu, kalo gitu saya buatkan resep dulu buat dipasang infus sambil menunggu hasil rekam jantungnya.” Saya pun mengakhiri debat kecil dengan keluarga pasien ini.

Dua jam kemudian, saya dan beberapa perawat yang baru saja mencoba memberikan pertolongan pada pasien di bed 4 terduduk lemas. Kami hanya bisa saling memandang dengan berbagai pertanyaan di benak yang sulit terlisankan. “Kok bisa ya dok, padahal bapaknya tadi kelihatan sehat dan kuat. Datang ke sini juga bukan karena keluhan apa-apa hanya mo lepas kateter” ujar seorang perawat wanita memecah kebisuan sesaat di ruang jaga. “Iya dok, saya khawatir jangan sampe keluarga pasien menyalahkan kita karena ngotot mau merawat pasien itu. Bisa-bisa gagal pasang infus dianggap sebagai penyebab kematian” imbuh yang lain. “Ini yang dinamakan Sudden Death, kematian tiba-tiba akibat serangan jantung pada pasien dengan riwayat keluhan jantung sebelumnya. Andaikan kita sempat merekam jantungnya sebelum berhenti mungkin kita bisa tahu detil penyebab kematiannya. Apa yang sudah kita lakukan tadi tidak ada yang keliru. Semuanya sudah sesuai prosedur penanganan pasien emergensi” Saya mencoba menghibur mereka, yang sebenarnya ditujukan buat diri sendiri. Bagaimanapun kematian tiba-tiba seperti ini selalu menyisakan tanya dan sesal di dada atas ketidakmampuan menyelamtkan nyawa pasien. “Hmmp.. sebenarnya Kateter yang mau dilepas hanya salah satu sebab pasien ini masuk ke UGD biar kita bisa mengambil pelajaran dari kematiannya. Seseorang yang awalnya kelihatan sehat tak ada yang menduga pada detik, menit atau jam berikutnya terbujur kaku tak bernyawa. Persis kayak pasien pertama yang meninggal tadi. Usianya terbilang masih belia, baru 20 tahun. Usia yang bagi kita masih punya banyak waktu untuk hidup. Bisa jadi kemarin dia masih tertawa bahagia bersama keluarga merayakan Idul adha, tapi siapa sangka hari ini dengan sebab kecelakaan motor, Ia harus mendahului orang-orang yang usianya jauh lebih tua darinya. Kematian senantiasa mengintai tiap yang bernyawa, siap atau tidak” Lanjut saya. “Oke, sudah waktunya untuk pulang. Nanti kalo dipersoalkan di pihak berwajib kita ke persidangan rame-rame ya!” Tutup saya setengah bercanda memecah keheningan yang sempat timbul. Belum lagi saya mengangkat kaki beranjak, tiba-tiba seorang perempuan paruh baya menghampiri kami dengan raut wajah yang kurang bersahabat “kenapa tidak ada dokter yang melihat anak saya, dari tadi kami menunggu tapi tidak diberikan penanganan apa-apa” teriak ibu ini sambil menatap tajam ke arah kami. Wah pasien yang mana lagi ini?? Sambil mengingat-ngingat pasien yang telah saya tangani. Bakalan panjang urusannya nih kalo diladenin. Belum lagi saya bersuara, tiba-tiba ada suara lain yang memotong “Maaf bu, pasiennya udah saya periksa dan saya juga udah buatin resep, tapi dari tadi saya mencari-cari keluarga pasien yang bertanggung jawab buat menebus obat tapi tidak ada siapa-siapa, ibu ga bisa donk langsung marah-marah kayak gitu, apalagi ibu bisa lihat sendiri gimana kondisi UGD sekarang. Ada beberapa pasien gawat yang harus kami tangani, jadi tolong pengertiannya.” Syukurlah, saya terselamatkan. Ternyata dokter opie (yang terkenal super cuek dan blak-blakan) yang malam itu bertugas jaga sudah ada dari tadi dan sudah menangani beberapa pasien baru yang masuknya berbarengan dengan pasien gawat yang sementara saya tangani. Ada pelajaran penting juga dari kejadian barusan, bahwa pasien beserta keluarganya selalu ingin dipahami, mereka tak pernah mau tahu, tak pernah peduli seberapa sibuknya seorang dokter atau perawat, seberapa cape’nya, sebanyak apa masalah pribadinya. Maka memberikan pelayanan sebaik dan semaksimal mungkin harus diprioritaskan.

Di perjalanan pulang ke rumah, wajah dua pasien yang meninggal tadi kembali terlintas. Bagaimana mereka melewati detik-detik sekarat di depan mata. Berbagai gejolak rasa menyesak dada. Rabb, Ampuni mereka, Rahmati dan Maafkan khilaf yang pernah mereka perbuat. Sungguh kami pun sedang berjalan menuju ke sana, berjalan menuju detik-detik kami harus mengehentikan semua ambisi dunia. Semoga saat tiba di detik itu, kami pun siap menghadapinya.
Selengkapnya...