rin_iffah

Tim Evakuasi : "Maaf dok, pasien yang satu ini menurut keluarganya tadi sudah difoto. Jadi tidak mau dibawa lagi ke radiologi untuk difoto" (Sambil menunjukkan status pasien KLL) 

Dokter : "Pasien yang ini belom difoto kok. Nih baru direncanakan. Kalo keluarga pasien menolak, minta tandatangan surat penolakan tindakan saja" 

Beberapa saat kemudian...

Keluarga pasien : "Maaf dok, Sez, pasien yang luka robek di lutut itu sudah difoto tadi"

Dokter : "Lah, barusan operannya baru direncanakan untuk difoto. Kalo beneran sudah difoto, boleh kami lihat hasilnya?"

 Keluarga pasien : "Sebentar dok...." (Sambil memanggil anggota keluarga yang lain)

Keluarga pasien : "Maaf, keluarga yang simpan fotonya lagi keluar"

Perawat : "Memangnya tuh foto di simpan di mana?" 

Keluarga Pasien : "Tadi fotonya pake hape yang satu lagi" 

Dokter, Perawat : *Pingsan*
Selengkapnya...

rin_iffah

Ketika seseorang memilih untuk menginjakkan kaki di dunia kesehatan, maka dia telah menyerahkan sebagian besar hidupnya kepada masyarakat. Hanya sebagian kecil darinya yang dia tinggalkan untuk keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri.

Waktunya akan lebih banyak dihabiskan untuk orang lain dari pada untukmu sebagai suaminya atau anak-anak. Pikiran dan tenaganya akan tercurah kepada orang-orang asing yang mungkin tidak akan mengingatnya dalam setiap doa, tidak sepertimu atau orang tuanya. Kamu tahu? Dia akan lebih sering di rumah sakit daripada di rumahmu sendiri. Itu bukan karena dia menyukai rumah sakit. Rumahmu tetaplah tempat yang membayang di pelupuk matanya setiap detik dia di rumah sakit. Karena rumah sakit adalah tempat yang penuh tekanan. Jika kamu bukan tenaga kesehatan, maka tidak akan terbayangkan seperti apa rasanya hidup di sana. Jangan heran jika seringkali mereka menyebutnya “rimba raya”.

Maka ketika dia terlihat dingin dan lelah, peluklah. Peluk sampai ke dalam lubuk hatinya. Karena kamu mungkin tidak tahu bahwa pasiennya baru saja meninggal dunia, atau seniornya baru saja memarahi dan menghukumnya, atau ada pasien yang menyalahkan terapi yang dia berikan, atau rekan kerjanya yang tidak bisa diajak bekerja sama. Dengarkan ceritanya dengan sabar. Jangan lupa ceritakan juga harimu padanya. Tawarkanlah untuk berdiskusi, karena kamu lebih dia percaya daripada siapapun di dunia.

Jika kamu menikahi seorang dokter, jangan memiliki persepsi yang sama seperti kebanyakan orang, bahwa dokter pasti kaya secara materi. Sama seperti yang lain, dia akan mendaki dari bawah. Bahkan jam kerjanya di awal pendakian itu lebih banyak daripada profesi lain dengan imbalan yang pas-pasan.

Tetaplah di sisinya, sama seperti dia yang selalu berusaha ada di sisimu. Tetapi, sebanyak apapun pasiennya, kamu dan keluarga tetap menjadi prioritasnya. Dia akan menganggap dirinya sendiri sebagai dokter pribadimu. Dia akan sangat kritis terhadap apapun mengenai dirimu yang terkait dengan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Mungkin akan terdengar bawel, tapi itu adalah bentuk perhatiannya. Seorang dokter akan sangat perhatian kepada orang lain, tetapi tidak kepada dirinya sendiri. Maka tidak jarang kamu mendengar ironi tentang seorang dokter meninggal dunia karena penyakit yang sebetulnya sering ditanganinya. Dia akan mendengarkan keluhan orang lain tapi mengabaikan keluhannya sendiri. Siklus makannya akan berantakan, begitu juga dengan waktu tidur yang jumlahnya dalam jam bisa dihitung dengan satu tangan saja. Maka jadilah satu-satunya yang memperhatikan dia. Ingatkan untuk makan dan shalat, atau jika tidak sama sibuknya, bawakan makanan saat dia jaga malam. Kehadiranmu akan lebih menyenangkannya daripada makanan itu sendiri.

Jika istrimu seorang dokter, siapkah kau membaginya dengan orang lain?

Malang, 20 Oktober 2013
submitted : Nydya Parahita
Fakultas Kedokteran - Universitas Brawijaya Malang

http://kurniawangunadi.
tumblr.com/post/64847159513/ceritajika-1-jika-istrimu-seorang-dokter
Selengkapnya...

rin_iffah

Langit biru, arakan awan putih serta laut transparan bisa dinikmati di sini
Pagi di teluk Sagawele, Kayoa

Senja di Pantai Orimakurunga, Kayoa


Pohon Bakau Pantai Dorokolano, Desa Orimakurunga, Kayoa
Selengkapnya...

rin_iffah


Desa Modayama, Kayoa
Sore itu cuaca kurang bersahabat, hujan deras mengguyur Ternate sejak siang. Padahal malamnya saya dan ibu sudah berencana akan berangkat ke Kayoa. Perjalanan ke Kayoa harus kami tempuh menggunakan transportasi laut sehingga harus mempertimbangkan keadaan alam saat itu. Syukurlah selepas maghrib hujan pun mulai reda. Saya kembali mengemas barang-barang yang akan dibawa selama tiga hari di sana. Persiapan kali ini lumayan banyak, mulai dari pakaian layak pakai yang akan kami bagikan ke seisi kampung nanti, ransel emergensi yang penuh dengan obat-obatan, beras sekarung, kamera kesayangan beserta tripod, Charger, modem, power bank -yang ternyata tidak banyak manfaatnya setelah tiba di sana- 

Tepat jam sepuluh malam, kapal yang kami tumpangi bertolak dari pelabuhan Bastiong menuju Kayoa. Tempat di mana saya akan kembali merangkai kenangan masa lalu. Di luar purnama menggantung indah dengan bayang-bayangnya yang memesona memantul dari lautan yang teduh malam itu. Sekitar empat atau lima jam lagi, kapal ini akan tiba di pelabuhan Guruapin, ibu kota kecamatan Kayoa. Pukul satu malam, saya terbangun karena suara ribut. Rupanya kapal kami mampir sebentar di pulau Makean untuk menurunkan sejumlah penumpang. Makean, pulau dengan suku yang paling banyak menyebar di Propinsi Maluku Utara ini tak juga berubah wajahnya. Makean yang terkenal dengan generasi ‘cerdas’nya, yang kesuksesan mereka menjadi buah bibir di penjuru tanah al Mulk ternyata tak mampu merias kampung halaman mereka menjadi sedikit lebih baik. Makean masih saja gelap seperti hari-hari sebelumnya. Jaringan mulai melemah saat kapal mulai bertolak dari Makean menuju Kayoa. Sebelum akhirnya tiba di Guruapin sebagai tempat berlabuh terakhir, kami akan mampir sebentar di Desa Modayama. Semoga prediksi saya meleset kalo di Kayoa nanti bakalan kehilangan signal.

Salah satu rumah penduduk di Guruapin
Pukul tiga dini hari, kami tiba di pelabuhan Guruapin. Sebagian penumpang turun dan pulang ke rumahnya masing-masing. Saya, ibu dan beberapa penumpang tersisa memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu subuh, karena kami masih harus melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya menggunakan *perahu katinting saat fajar menyingsing nanti. Saya melirik sejenak ke layar Handphone. Whattt??? Tidak ada signal??!! Bagaimana bisa?? Bagaimana bisa saya akan berbagi cerita dengan teman-teman di luar sana yang sudah menanti serunya perjalanan ‘pulang kampung’ saya ini? Bagaimana caranya saya berkirim kabar atau berbagi rindu yang mungkin saja akan semakin menggebu kepada mereka yang saya sayangi?? Bagaimana bisa?? It’s really confused me!!!

Saya terhentak dari lamunan saat azan subuh berkumandang dari salah satu masjid yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Masjid penuh kenangan itu bagaimana kabarnya? Adakah secara fisik tlah direnovasi menjadi sebuah bangunan masjid modern layaknya masjid-masjid megah saat ini? Akankah semakin banyak jama’ah yang memenuhi tiap shafnya? Masihkah terdengar muraja’ah hafalan surah-surah pendek dari lisan bocah-bocah seusia saya dua puluhan tahun lalu ba’da sholat subuh ditemani tatapan awas ustadz sembari memukul-mukulkan sebilah rotan ke tangannya sendiri? Atau masihkah ada adegan nakal anak-anak yang saling menarik sarung temannya saat imam sholat mulai melafazkan takbiratul ihram, dan berakhir dengan tubuh-tubuh mungil itu di lempar keluar jendela tanpa ampun oleh bapak tua penjaga masjid. Membayangkan semua itu, rasanya tak sabar mempercepat langkah menuju masjid dan mengulang semua kenangan itu. Saya terpaku menatap bagunan masjid tua yang ada di depan saya ini, sebelum akhirnya ibu memegang bahu saya lembut sembari berujar “ayo masuk, kita shalat subuh dulu”

Masjid Guruapin yang menyimpan sejuta kenangan
Suasana sekitar masjid begitu sepi. Tak ada suara ribut para bocah yang saling berebutan wudhu, atau tawa anak-anak gadis yang saling membantu merapikan rambut yang terselip keluar dari balik mukena. Di dalam masjid, seorang bapak paruh bayah tengah bersujud menyempurnakan shalat sunnah fajar. Awalnya saya mengira bahwa shalat subuh telah usai ditunaikan jika tak melihat satu dua orang jama’ah mulai berdatangan memasuki halaman masjid. “Imam masjid itu dari dulu masih sama. Beliau hanya seorang penjual ikan yang akhirnya mampu berangkat haji karena ketekunannya” bisik ibu pelan sembari mengarahkan pandangannya ke seorang kakek yang baru saja masuk ke dalam masjid. Tak berapa lama kemudian, shalat subuhpun ditunaikan dengan jumlah jama’ah laki-laki yang tak sampai satu shaf penuh. Allahumma….. Apa yang terjadi dengan penduduk negri ini? Bahkan dua rakaat pembuka hari pun tak sanggup mereka jalankan. Ataukah tak ada lagi di antar hamba-hambaMu yang shalih hadir tuk member peringatan?? Sudahkah?? Ada yang menyesak memenuhi relung dada saat tersungkur di hadapanNya subuh itu.....
Selengkapnya...

rin_iffah


Beberapa gambar yang sempat terekam saat berlibur di Kayoa
Mengunjungi Kayoa (salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara) berarti mengunjungi kenangan yang pernah tergores di sana. Sekitar duapuluh tahun lalu, saat masih berusia 6 tahun, kami sekeluarga hijrah ke Kayoa. Saat itu bapak ditugaskan membina desa-desa yang ada di Kayoa bersama ibu. Dan saya bersama dua saudara lainnya mau tidak mau harus ikutan menetap di sana. Hanya sekitar tiga tahun saya dan kakak laki-laki tinggal di kecamatan ini dan setelah itu kembali ke Ternate karena harus mempersiapkan diri naik ke kelas 6 SD. Sedang adik saya (yang laki-laki juga) masih terus bersama kedua orang tua di Kayoa sampai akhirnya kedua orang tua saya dipindahtugaskan kembali ke Ternate beberapa tahun kemudian.

Ketika diajak berlibur ke Kayoa (lagi) oleh ibu beberapa waktu lalu, dan beliau memang lahir dan besar di salah satu desa yang ada di Kecamatan Kayoa, saya begitu antusias. Hei, sudah duapuluh tahun lamanya saya tidak pernah lagi melihat wajah tempat di mana saya pernah menghabiskan masa kanak-kanak ini. Ingin rasanya mengulang kembali semua kenangan kala itu. Melihat gurua-gurua yang tersebar di sepanjang pantai Guruapin yang menjadi tempat pemandian kami dulu. Menikmati sensasi sengatan matahari dari wilayah yang berada tepat di garis katulistiwa pada peta Indonesia ini. Bermain perahu bersama bocah-bocah berambut pirang alami sampai ke tengah laut membiru dan kemudian bersama-sama membalikkan perahu sambil berteriak kegirangan melihat sebagian dari kami yang takut dengan dalam dan luasnya lautan. Ataukah sekedar menemani nenek ke kebun sambil menikmati jagung bakar hasil panen musim itu. Duuuuh, betapa rindunya……………

Tiga hari di Kayoa, ada ole-ole yang saya bawa dari sana. Bukan sekedar Sagu Kayoa yang terkenal enak, atau kerang melimpah yang juga tak kalah lezatnya. Tapi berbagai cerita menarik yang akan coba saya posting di blog ini. Bertahap tentunya, InsyaAllah… (Bersambung)
Selengkapnya...

rin_iffah



Hampir saja blog ini ditutup karena sudah jarang saya mengunjunginya. Tapi beberapa waktu lalu, ada seorang teman di sosial media (many thanks to you) yang kembali menghentak ruang sadar saya untuk tetap menjaga setiap kejadian yang saya lewati tak sekedar lewat gambar (yang saat ini mulai saya gemari) tetapi dengan menuliskannya. Walaupun sebuah gambar menyiratkan banyak kisah tapi terkadang perlu diungkapkan lewat sudut pandang si pengambil gambar tersebut.  Ungkapnya lewat komentar atas salah satu postingan saya di instagram kala itu. 

Dan saat ini, saya kembali mewujudkannya. Tetap membiarkan jemari dengan lincahnya menari di atas tombol2 keyboard. Mengungkapkan setiap lintasan pikiran yang sangat ingin saya ‘muntahkan’ meski lewat kumpulan kata yang masih sulit dianggap sebagai susunan kalimat dengan kaidah bahasa yang baik dan benar. 

Mari Menangkap gambar…. Berbagi cerita…. Meraih ibrah…..

Selengkapnya...

rin_iffah




Di suatu senja
Tanpa jingga...
Tanpa merah saga
Kucoba merangkai asa
Menyimpulnya dalam pigura
Namun tak kujumpai 'kita' di sana....

Semoga ada jingga
Kembali mewarnai senja...
Walau tanpa 'kita'
Dalam pigura tua
Bersama....


*Pelabuhan Residen, 10 Feb 2014
Selengkapnya...

rin_iffah


Lewat mata kamera, sebuah objek sederhana oleh mata kepala
dijadikannya istimewa...
Dengan cara sederhana kita belajar menikmati semesta,
Menambah syukur pada Sang Pencipta.
Allah semata.....

Selengkapnya...

rin_iffah

 
 
Ini adalah hasil jepretan pertama saya ketika street hunting di siang bolong barengan kak Ishakusa sehari setelah ngikutin kursus singkat fotografi-nya FOKUS MAUT. Tidak tanggung-tanggung, sekali belajar langsung megang Nikon D90 nya bang Faiz. Liatin body kameranya saja sudah bikin pusing, apatah lagi ngintip menu-nya. Beruntung, kak Ishakusa dengan sabarnya mau praktekin tahapan-tahapan dasar mengambil gambar. Mengenalkan satu persatu istilah-istilah aneh yang terbaca di view finder kamera. Dan.... ternyata butuh kesabaran ekstra untuk mendapatkan sebuah gambar yang mampu bercerita. Dan saya belum menemukannya di gambar pertama saya. Semoga di lain waktu.....
Selengkapnya...