Hupf... berakhir juga pembekalan dan pencerahan qalbu KKN hari ini. Entah kenapa ’rasa’ itu tak lagi seperti dulu, rasa yang enam tahun lalu begitu nikmat. Sebulan di pesantren Daarul Mukhlisin saat itu membangkitkan ghirah beribadah yang luar biasa. Masih terekam jelas di memori yang teregresi momen dimana bulir-bulir bening yang begitu hangat mengguyur wajah dan qalbu, zikir dan wirid yang panjang setiap selesai sholat fardhu terasa begitu menyentuh kalbu, saat itu aku termasuk yang paling semangat menjalani hari-hariku. Bahkan aku merasa hatiku telah tertaut di pesantren itu, Dan... setelah enam tahun berlalu rasa itu tak seindah dulu. Aku menangis... tapi tak lagi karena tersentuh dengan zikir dan wirid yang terlantunkan dari lisan para jamaah sholat fardhu, tangisan yang tertuju pada diri sendiri karena tersadar memiliki tingkat keimanan yang terendah. Yah... tingkat keimanan terendah, karena hanya mampu kutolak dengan hati perbuatan yang setelah enam tahun berlalu telah kuilmui bahwa semuanya jauuuh dari tuntunan Allah dan rasulNya. Setelah kuilmui bahwa syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas dan ittiba’ Rasulullah, ketidakhadiran salah satunya menjadikan ibadah kita tak layak terhitung di sisi Allah, yang tersisa hanya kelelahan raga. Duuh, betapa sia-sianya perjuangan qta.
Bid’ah yang terbungkus alasan kebaikan, kebebasan dan kreatifitas beribadah menjadikan amalan ini begitu mendapatkan tempat di hati pelaksananya. Bahkan amalan ini menjadi ’trend’ di kalangan masyarakat awam yang ’miskin’ ilmu adDien. Padahal Rasulullah sebagai pembawa risalah kebenaran dan sebaik-baik teladan umat telah melaksanakan tugasnya dengan amat sempurna. Tiada satupun dari perkara agama yang luput beliau sampaikan, hingga Allah berfirman ketika haji wada’ yang menjelaskan bahwa tugas kerasulan beliau telah selesai, yaitu: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, kucukupkan nikmatku atasmu serta kuridhoi Islam sebagai agamamu.(QS. Al-Maidah: 3).Pantaslah jika Imam Malik rahimahullah berkata,” Siapapun yang membuat bid’ah dalam Islam dan menganggapnya hasanah(baik), maka sungguh ia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad telah mengkhianati misi kerasulan, berdasarkan firman Allah ta’ala diatas, maka yang tidak dijadikan-Nya agama pada saat itu begitupun pada saat ini.”(Al-I’tishom I/64). ya Rasulullah, sungguh tak pernah terbersit untuk memberi gelar itu padamu.
Ibarat sebuah panggung sandiwara, dimana syaithan adalah sang sutradara. Pemain-pemain sandiwara ini begitu khusyuk menjalankan skenario yang dibuat sang sutradara. Dan di pojok pentas yang remang-remang tampak wajah sang sutradara yang tersenyum puas..... oh tidak, sutradara itu tak sekedar tersenyum puas tapi lebih dari itu, ia saat ini sedang terpingkal-pingkal menyaksikan kesuksesan sandiwaranya. Sementara dari deretan kursi penonton, tampak di deretan paling belakang, mereka yang mengaku pengikut generasi salaf berekspresi dengan ekspresi yang bermacam-macam, ada yang mencoba menghentikan adegan di depannya, sayangnya ia hanya sendiri tak punya kekuatan tuk melawan mereka yang jauh lebih banyak. Ada juga yang Cuma bisa berdoa dalam hati agar orang-orang itu diberi petunjuk oleh Allah, ah... bahkan ada yang sibuk dengan ‘keshalihan’ sendiri, tak lagi peka dengan mereka yang nyaris terjerembab ke dalam lubang neraka. Seolah-olah surga disediakan hanya untuk dirinya. Sungguh egois!!!
"Ya Allah, mudahkanlah kami untuk bisa berjalan di atas sunnah rasulMu".
Selengkapnya...
” I’m not a lone but i do feel loNely..... ” keluhnya. Kesepian kadang begitu menyakitkan. Perasaan yang mampu menoreh luka di sudut jiwa dan mengalirkan riak anak sungai di sudut mata. Kala malam menjelang perasaan rindu begitu membuncah, entah pada siapa. Hanya mampu berbagi duka dengan angin malam yang tak tahu sampai kapan kan mampu menjadi sandaran dikala gundah. Dan semuanya berakhir dengan serpihan luka yang dalam meninggalkan perih kekecewaan....
Di usianya yang tak lagi muda, harap kan datangnya seorang kekasih pelipur lara tak lagi menjadi impian semata, berganti dengan kegelisahan yang menyulut bara. Tak pelak keluar kata-kata keputus asaan seorang pendamba cinta yang lelah dimakan usia ” siapa saja deh, asal ada yang mau ”. Duuh, begitu lelahkah engkau menunggu sampai rela membanting harga. Termenung di depan cermin, sekelebat bayang masa lalunya hadir menggelayut rasa. Dulu ketika beranjak usia 20 tahun, idealismenya begitu memuncak. Hampir setiap yang datang ditepisnya, berharap ada lelaki langit yang mampu mengusik hatinya, pun ketika lelaki langit yang dimaksud coba bertamu mengetuk pintu hatinya justru kebingungan yang menyapa, berharap ada yang jauh lebih baik, ”oh... bukan lelaki langit yang kucari tetapi lelaki surga....” gumamnya
¼ abad pun terlewati, menyisir keangkuhan oleh mulai merekahnya bunga kedewasaan. Mencoba menatap kedepan dengan harapan-harapan yang jauh lebih realistis. Tapi toh kesepian itu masih tetap menemaninya, meninggalkan senandung pilu menyayat kebisuan malam. Kembali ia bercermin, tampak guratan kelelahan di pelupuk mata dan hampir di setiap raut wajahnya. Jiwanya semakin lemah... risau dengan makin pudarnya kecantikan raga.... tiba-tiba, terdengar sayup hembusan angin malam membawa pesan dari sang kekasih yang didamba
Calon Istriku...
Jangan menangis, jangan bersedih, hapus keraguan di dalam hatimu. Percayalah padaNYA, Yang Maha Pemberi Cinta, bahwa ini hanya likuan hidup yang pasti berakhir. Yakinlah saat itu pasti 'kan tiba.
Tak usah kau risau karena makin memudarnya kecantikanmu. Karena kecantikan hati dan iman yang dicari. Tak usah kau resah karena makin hilangnya aura keindahan luarmu. Karena aura keimananlah yang utama. Itulah auramu yang memancarkan cahaya syurga. Merasuk dan menembus relung jiwa..
Wahai perhiasan terindah...
Hidupmu jangan kau pertaruhkan. Hanya karena kau lelah menunggu. Apalagi hanya demi sebuah pernikahan. Karena pernikahan tak dibangun dalam sesaat, tapi ia bisa hancur dalam sedetik. Jangan pernah merasa, hidup ini tak adil..
Kita tak akan pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan dalam hidup. Pasrahkan inginmu sedalam kalbu pada tahajjud malammu. Bariskan harapmu sepenuh rindumu pada istikharah di shalat malammu. Pulanglah padaNYA, ke dalam pelukanNYA. Jika memang kau tak sempat bertemu diriku, sungguh itu karena dirimu begitu mulia, begitu suci. Dan kau terpilih menjadi ainul mardhiyah di jannahNYA.
Calon Istriku...
Skenario Allah adalah skenario terbaik. Dan itu pula yang telah Ia skenariokan untuk kita. Karena Ia sedang mempersiapkan kita untuk lebih matang merenda hari esok seperti yang kita harapkan nantinya. Untuk membangun kembali peradaban ideal seperti cita kita.
Calon istriku...
Ku tahu kau merinduiku, bersabarlah saat indah 'kan menjelang jua. Saat kita akan disatukan dalam ikatan indah pernikahan. Apa kabarkah kau disana? Lelahkah kau menungguku berkelana, lelahkah menungguku disana? Aku akan segera datang, sambutlah dengan senyum manismu. Bila waktu itu telah tiba, kenakanlah mahkota itu, kenakanlah gaun indah itu. Masih banyak yang harus kucari, 'tuk bahagiakan hidup kita nanti...
Calon istriku...
Malam ini terasa panjang dengan air mata yang mengalir. Hatiku terasa kelu dengan derita yang mendera, kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang. Cinta membuat hati terasa terpotong-potong. Jika di sana ada bintang yang menghilang, mataku berpendar mencari bintang yang datang. Bila memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang.
Ia terbangun kali ini tak lagi meninggalkan pedih akan mimpi-mimpi yang tak kunjung datang. Sebuah senyuman tersungging indah menebar pesona kerendahan hati. Perlahan ia berbisik ” kekasihku, ku kan mencoba merangkai indahnya kesabaran dengan menantimu di pelataran harapan”.
(Some text import from eramuslim.com)
Selengkapnya...