rin_iffah

Sudah hampir sepuluh tahun saya bermukim dan melewatkan suasana bulan Ramadhan di Jepang. Sudah kurang lebih sepuluh kali bulan Ramadhan saya lalui sebagai bagian dari 100 ribu muslim di tengah 120 juta penduduk Jepang. Itu berarti sudah selama itu pula saya menjalani kehidupan sebagai seorang muslim minoritas. Pengalaman beribadah dan berdakwah, khususnya suasana bulan Ramadhan sungguh berbeda dengan yang sebelumnya saya alami di negeri sendiri dimana Islam merupakan agama mayoritas.

Perbedaan itu untungnya justru memberikan banyak pelajaran berharga untuk direfleksikan bagi kehidupan beragama di tanah air. Ramadhan di Jepang adalah Ramadhan yang hening. Di malam hari kita tak mendengar peningkatan volume keriuhan suara karena ada tambahan suara dari masjid-masjid. Pun tak ada suara dari ritual membangunkan orang untuk sahur. Setiap orang mengatur sendiri waktu sholat, sahur, atau berbuka puasa berdasarkan jadwal sholat yang informasinya dengan mudah diperoleh di Internet.

Kaum muslimin juga tidak mendapat perlindungan khusus dari pemerintah Jepang yang sekuler itu. Tidak ada anjuran untuk menghormati orang yang berpuasa, karena sebagian besar masyarakat Jepang bahkan tidak tahu bahwa kita sedang berpuasa.
Sake (minuman keras) memiliki tempat yang penting dalam budaya dan dunia bisnis Jepang. Karenanya dimanapun kita akan dengan mudah menemukan kedai sake atau bar yang bergaya barat. Di kawasan tertentu tempat-tempat minum hadir dengan wanita/pria penghibur. Jenis hiburan yang disediakan beragam, dari yang sekedar teman minum hingga teman tidur.

Semua tempat minum dan hiburan itu tentu saja tetap berbisnis seperti biasa sepanjang bulan Ramadhan. Tidak ada peraturan yang membuat mereka harus menghentikan bisnis dalam rangka menghormati bulan Ramadhan atau orang-orang yang sedang berpuasa.
Demikianlah, minoritas muslim di Jepang tetap khusyuk menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan meski tidak dibuat kondisi khusus untuk itu. Tempat-tempat ibadah berupa masjid dan Islamic centre di beberapa kota tertentu, ruangan kedutaan, kampus, atau ruangan apa saja yang disulap menjadi tempat ibadah sementara dipenuhi hadirin untuk shalat berjamaah, tadarus, atau pengajian. Tidak diperlukan suara hiruk-pikuk untuk membuat orang hadir di tempat ibadah.

Kaum muslimin yang sedang berpuasa tidak merasa terganggu oleh aktivitas makan-minum orang-orang Jpeang di tempat umum. Mereka bahkan tidak merasa terganggu dengan tetap beroperasinya tempat-tempat hiburan malam. Alasannya sederhana, karena keseharian mereka memang tidak pernah bersinggungan dengan aktivitas di tempat-tempat tersebut.
Singkat kata, kaum muslimin dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk tanpa memerlukan pengkondisian secara khusus menjelang dan selama bulan Ramadhan. Karenanya berbagai pengkondisian menjelang Ramadhan di tanah air patut dipertanyakan urgensinya.

Seperti kita ketahui, banyak peraturan khusus yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam rangka menghormati bulan Ramadhan dan orang yang berpuasa. Tempat-tempat hiburan malam harus ditutup selama bulan Ramadhan. Di beberapa daerah ada Perda yang melarang orang berjualan makanan atau makan di tempat umum di siang hari. Tujuannya adalah agar orang-orang tak terganggu puasanya.

Saya masih sulit memahami kalau aktivitas makan-minum orang lain bisa mengganggu puasa kita. Demikian lemahkah iman kita sehingga kita bisa tergoda hanya dengan melihat orang lain makan?
Demikian pula, mungkinkah kekhusyukan ibadah kita terganggu dengan aktivitas di tempat hiburan malam kalau kita sama sekali tidak pernah mengunjungi tempat-tempat itu?

Puasa adalah ekspresi hubungan khusus antara hamba dengan Khaliknya. Puasa semestinya dilakukan dalam kesunyian relung pribadi. Tapi yang kita lakukan justru sebaliknya. Kita mengumumkan puasa kita. Bahkan kita menuntut orang untuk menghormati kita. Lalu, ibadah malam kita tak jarang riuh rendah, hampir semuanya kita lakukan dengan loud speaker bertenaga besar. Mulai dari azan, shalat, ceramah, zikir, tadarrus, hingga aktivitas membangunkan orang sahur. Ramadhan, bagi sebagian non-muslim adalah bulan dengan peningkatan intensitas kebisingan. Masihkah tersisa ekspresi ketundukan dalam puasa yang demikian itu?

Disadur dari majalah islam al-Bashirah ed 04 tahun II 1428 H


Selengkapnya...

rin_iffah

Banyak kaum muslimin yang merasa agak ‘kepanasan’ ketika sebagian dari saudara-saudaranya begitu keras menyuarakan tentang bid’ah. Membahas tentang bid’ah dianggap sebagai umpan timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam. Kenapa harus mengurus mereka yang sudah beramal bukankah masih banyak maksiat di tengah masyarakat yang harus diberantas seperti zina, judi, dll?? ataukah mungkin kita pernah mendengar ucapan “ yang penting kan niatnya baik”. Atau “ jangan katakana itu bid’ah… itu dosa… biarlah nanti menunggu keputusan Allah di akhirat” juga “biarkan saja mereka berbuat demikian yang penting ukhuwah Islamiyah tetap terjalin.”


Ungkapan-ungkapan tersebut sekilas tampak benar, tapi ini sungguh jauh dari tuntunan Allah dan Rasulnya. Orang yang melakukan bid’ah di beri peringatan keras oleh Rasulullah dan terjatuh dalam kesesatan sebagaimana sabda beliau : “Jauhilah oleh kalian dari mengada-ada (dalam urusan agama, karena setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka” . Bagaimana mungkin kita bisa berdiam diri terhadap perkara yang oleh Rasulullah dikatakan sesat namun oleh sebagian ummat muslim dianggap sebagai suatu kebaikan ini.

Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata tentang perkara ini : “Sesungguhnya perilaku bid’ah lebih disukai iblis daripada dosa besar, karena pelaku dosa besar sangat mungkin untuk bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah kecil kemungkinan untuk bertaubat,” hal ini karena pelaku bid’ah tidak merasa bahwa yang diakukannya adalah dosa , bahkan mereka menyangka mendapat pahala.

“Katakanlah:’Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi 103-104)

Adapun dengan mereka yang berdalih; yang penting niatnya baik, berdasarkan hadist dari Umar bin Khattab maka syari’at inipun telah membantah dengan sendirinya. Dalam Fathul Baari, syarh shahih Bukhari, Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa maksud hadist Rasulullah bahwa amalan itu tergantung niatnya adalah amal yang baik bukan amal yang buruk. Niat baik tidak akan merubah status maksiat menjadi ketaatan atau bid’ah menjadi sunnah. Bagaimana mungkin kita membenarkan tindakan seseorang melacur yang penting niatnya baik untuk mencari rezki atau menghibur orang lain. Oleh Karena itu, niat baik belum cukup menjadi syarat suatu ibadah diterima oleh Allah. Butuh cara yang benar untuk menyempurnakan suatu ibadah, cara yang benar berdasarkan contoh dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Sebagaimana sabdanya : “ Barang siapa beramal tanpa ada perintah (contoh) dariku maka tertolak.” (HR Muslim)

Fudhai bin Iyadh rahimahullah pernah berkata : “Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima, dan jika benar tetapi tidak ikhlas maka tidak akan diterima pula. Amal akan diterima manakala ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal karena Allah, sedangkan maksud benar adalah sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam.”

Maka tak perlu bersikap menentang ketika ada yang membahas tentang bid’ah. Yang penting jangan sampai memvonis yang mubah sebagai bid’ah, apalagi yang sunnah dianggap bid’ah. Penting pula untuk memahami kaidah, kapan dan bagaimana suatu amalan dianggap bid’ah. Juga bagaimana penyikapan terhadap pelaku bid’ah sesuai dengan kadar dan tingkatannya.

Semoga dengan adanya orang-orang yang berusaha mengingatkan kita tentang bahaya bid’ah ini maka tak ada lagi yang tertipu dengan kemasan. Racun pun disangka madu dan bersedia meneguknya… menimbulkan penyakit yang kronis dalam tubuh yang semakin sulit disembuhkan. Wallaahu a’lam….



Maraji’ : majalah ar-Risalah No 51&56 Th V

Selengkapnya...

rin_iffah

Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, bulan yang penuh dengan keberkahan. Tamu yang selalu dinanti-nantikan oleh setiap muslim yang kadang dipersepsikan berbeda tentang keberkahannya. Seorang pedagang melihat berkah Ramadhan dari banyaknya hidangan buka puasa yang dapat dijajakan. Seorang ibu rumah tangga menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan aktualisasi kemampuan memasak di dapur sehingga waktunya habis dengan menghitung-hitung menu sahur dan buka puasa yang harus berganti setiap harinya. Ramadhan, bagi pekerja adalah waktu untuk menurunkan produktifitas kerja dengan alasan sedang berpayah dalam berpuasa. Bagi sebagian remaja ramadhan adalah kesempatan untuk kumpul bareng teman jelang buka puasa yang dikenal dengan ngabuburit di mall2 dan pasar2 atau berdua-duan dengan kekasih menghadiri sholat tarawih pun setelah sholat subuh. Ramadhan bagi produser TV adalah kesempatan menina bobokan pemirsanya dengan acara-acara yang terkesan islami. Keberkahan Ramadhan sebatas lapar di siang hari, dan kenyang di malam hari. Siang hari hanya tidur di atas ranjang hingga tiba waktu ashar, malam harinya yang ada hanya obrolan dan begadang hingga fajar. Dan ramadhanpun berlalu dengan penyikapan kita yang tetap saja salah tentang tamu agung ini.


Sebagai seorang muslim patutlah kita mengambil contoh dari Rasulullah shallaallaahu alaihi wa sallam, serta para sahabatnya dalam menyikapi bulan Ramadhan. Apa sajakah bekal yang mereka persiapkan jelang bulan Ramadhan?

1.Saling memberikan kabar gembira tentang kedatangan Ramadhan
Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya lewat sabdanya :
“ Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan penuh berkah dan Allah telah mewajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa, pintu surga akan dibuka lebar-lebar, dan pintu neraka akan ditutup, para syaithan akan dibelenggu, ada sebuah malam yang lebih utama dibandingkan seribu bulan, barang siapa yang diharamkan dari (pahala) Ramadhan, maka ia diharamkan (dari pahala kebaikan lainnya)” (HR An-Nasa’I dan di shahihkan oleh Al-Albani)

2.Berdoa
Para salafusshalih selalu berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Mu’alla bin Al-Fadhel mengomentari perilaku salaf terhadap ramadhan : Mereka selalu memohon kepada Alah selama enam bulan agar dapat sampai kepada Ramadhan, dan merekapun kemudian memohon selama enam bulan agar amal ibadahnya selama Ramadhan diterima.

3.Menyucikan diri
Dalam hal ini yaitu dengan meninggalkan maksiat dan memohon ampun akan segala dosa. Ibadah Ramadhan merupakan ibadah yang sulit dikerjakan jika kita tidak menyucikan diri dan hati kita, yang nantinya mengantarkan kita untuk sulit menikmati lezatnya ibadah di bulan Ramadhan.
“Boleh jadi orang yang berpuasa namun bagian yang didapatkannya hanyalah lapar dan haus” (HR. Ahmad)

4.Biasakan melakukan amalan-amalan shalih
Dengan melakukan amal-amal shalih sebelum Ramadhan diharapkan jiwa ini terbiasa sehingga dapat mengamalkannya selama ramadhan. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam selalu melatih dirinya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

5.Bertafaqquh (mempelajari) hukum-hukum puasa dan mengenal petunjuk nabi sebelum memasuki puasa.
Dalam hal ini mempelajari syarat-syarat diterimanya puasa, hal-hal yang membatalkannya, hukum berpuasa dihari syak, perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dan dilarang bagi yang berpuasa, adab-adab dan sunnah-sunnah berpuasa, hukum-hukum shalat tarawih, hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang memiliki udzur seperti mengadakan perjalanan, sakit, hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fitri dan lain-lain. Maka hendaknya kita berilmu sebelum memahami dan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan termpat tinggalmu” (QS. Muhammad:19)

Didalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’ala mendahulukan perintah berilmu sebelum berkata dan berbuat. Rasulullah bersabda :

"Barang siapa yang diinginkan oleh Allah kebaikan kepadanya, maka Allah memandaikannya dalam ilmu Ad-Diin” (HR. Bukhari dan Muslim)

6.Membuat program atau agenda ramadhan
Mengatur dengan sebaik-baiknya program bagi tamu yang agung ini dengan mempersiapkan program untuk diri sendiri, keluarga dan orang-orang yang kita cintai demi memanfaatkan bulan yang mulia ini sebaik-baiknya seperti membaca, mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, qiyamul lail, memberikan buka bagi orang-orang yang berpuasa, umrah, I’tikaf, sedekah, zikir, tazkiyatun nafs dan berbagai jenis ketaatan yang lain.

Mudah-mudahan dengan persiapan bekal sesuai yang dicontohkan oleh generasi salaf mengantarkan kita sukses menjadi pribadi taqwa sebagaimana tujuan dari puasa di bulan Ramadhan.

Ya Allah, sampaikan kami agar dapat merasakan Ramadhan….
Ya Allah, sampaikan kami agar dapat merasakan Ramadhan….

Maraji’ :
Syaikh Ibraim Ad-Duwaisy; Ramadhan Sepanjang Masa
Buletin al-Fikrah tahun 2 edisi 2
Ust. Muh Yusran Anshar, Lc; Tabligh Akbar 19 Sya’ban 1427 H
Selengkapnya...

rin_iffah

Beberapa pekan terakhir, ghirah untuk kembali tarbiyah muncul dalam hati. Keinginan untuk kembali mereguk nikmatnya ilmu dari sumber yang murni begitu membuncah… harapan bersua dengan saudari-saudari yang senantiasa mengingatkan kepada Allah tak tertahankan. Dulu alasan kesibukan klinik-lah yang menjadi dasar berdirinya tembok yang memisahkan kami… dan kata ‘futur’pun sempat tersandang menjadi gelar yang tersamarkan oleh sulukiyah. Ah, saya bersyukur saat itu ketika berusaha istiqamah dengan sunnah yang satu ini di saat banyaknya sunnah-sunnah yang terabaikan karena dunia…. Bahkan ada beberapa saudari yang berguguran terlepas dari tangkai keimanan sebelum daunnya menguning meninggalkan buah yang bermanfaat…

Saya tak tahu apakah ini yang disebut dengan cobaan ketika kita berusaha kembali ke jalanNya??? Ataukah ini justru suatu petunjuk jalan kebenaran. Entahlah… yang pasti semburat kebimbangan itu mulai mencuat ketika setetes embun harapan mulai melembabkan qalbu. Berawal dari pesan yang dikirimkan via fb oleh seorang teman yang saat ini Alhamdulillah iltizam di atas manhaj salafus shalih, membaca judulnya saja saya sudah cukup tercengang. Saya terpaku sesaat, antara kaget, geram, kecewa bercampur aduk… siapa yang tidak kaget dengan tulisan yang begitu menyudutkan ormas yang menjadi wasilah saya berislam dengan benar. Berbagai tuduhan yang wallaahu a’lam apakah bisa dijadikan dalih kebenarannya. Inti dari pesan yang cukup panjang hasil bantahan terhadap rekaman ceramah salah satu ustaz dari ormas WI ini (semoga Allah menyayangi beliau dan memberikan pahala terhadap beberapa fitnah yang ditujukan kepadanya) yaitu tentang kesalahan WI yang membenarkan muwazanah, terjatuh dalam bid’ah dengan beramal jama’i, tanzhim, dan …. Ta..r…bi…ya..h. Mereka tidak menolak tarbiyah, marhalah dan tanzhim secara mutlak, tapi tidak seperti yang dijalankan oleh WI yang katanya bersifat sirriyah!!!. gelar sururiyyah dan hizbiyyah pun disandangkan kepada WI. Saya mencoba mengarahkan kursor ke link yang menjadi sumber pesan ini diambil. Dan muncullah sebuah situs bermanhaj salaf yang membahas masalah terkait…saya hanya bisa tersenyum miris menyaksikan tulisan-tulisan yang lebih bersifat tuduhan kepada saudara mereka sesama ahlusSunnah. Mempersoalkan permasalahan yang terbuka lahan untuk berijtihad di dalamnya (itu yang saya pahami dengan keterbatasan ilmu yang ada). Perhatikan petikan kalimat berikut yang mereka tuduhkan kepada WI : Majelis-majelis tarbiyah yang diadakan oleh para hizbiyyun amat mengundang pertanyaan dan kecurigaan, sebab agama ini jelas, dan untuk semua orang. Tapi kenapa agama ini disembunyikan?! Bukankah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat malah bersemangat menyebarkannya. Cara dakwah sirriyah seperti ini di tengah kaum muslimin adalah cara dakwah yang menyelisihi Sunnah. Subhanallah, pantaskah seorang yang bersandar pada dakwah salafiyyun melandaskan pernyataannya pada Zhan semata.

Beberapa waktu, saya mencoba melupakan syubhat ini. Kepingan ghirah untuk tarbiyah yang masih tersisa coba saya pungut dan satukan kembali. Saya mencoba menghubungi kakak senior saya, murobbiyah saya ketika masih di marhalah ta’rif sekaligus koordinator di departemen yang sama ketika pertama kali saya diajak untuk mendakwahkan ilmu saya. Saat itu saya ingin menerima ajakannya yang beberapa waktu sempat tidak saya gubris, ajakan untuk kembali tarbiyah dan ikut di liqo’nya saat ini. Beberapa sms yang saya kirim tidak pernah dibalas, sampai suatu waktu kami dipertemukan di fakultas dan sayapun kembali menanyakan kepadanya tentang niat saya untuk kembali tarbiyah; ‘afwan kak, sudah sampai dimana materi tarbiyah ta? Kalo belum jauh saya gabung saja ke liqo’ ta’ ujarku penuh semangat waktu itu. Awalnya ia tidak mengindahkan kata-kata saya dan mengalihkan pembicaraan, namun karena dengan sedikit paksaan akhirnya diapun berkata “Afwan dek, saya sudah tidak tarbiyah lagi…” saya berpikir maksudnya dia sudah pindah ke liqo lain tapi beberapa detik kemudian ia menimpali seakan ingin membantah lintasan pikiran saya barusan, “saya sekarang sudah tidak tarbiyah, saya lebih milih untuk ikut ta’lim saja” saya cuma mengangguk tanda pemakluman. Mungkin karena kesibukannya di klinik sehingga menyebabkannya lebih memilih untuk mengikuti ta’lim, saya pernah dan sering diajak olehnya menghadiri kajian hadis di poltek. Belum lagi saya melanjutkan pertanyaan ia kembali berujar “ tarbiyah itu kan tidak ada tuntunannya dari Rasulullah, yang ada cuma ta’lim. Saya sekarang ta’lim di salafi, saya ikut lho daurah salafiyyah yang kemarin di masjid raya, kalau kamu mau nanti saya kasih rekaman daurahnya” dezigh!!!! Wajah saya tidak bisa menyembunyikan kekagetan yang luar biasa ini. Saya senang bakalan dikasih rekaman daurah apalagi ilmunya berasal dari orang-orang yang iltizam terhadap sunnah. Tapi bukan… bukan itu yang membuat saya terhentak, perkataannya tentang tarbiyah lah yang membuat saya bengong beberapa saat…. Tak ada tuntunan???bid’ah kah??? Trus ta’lim di salafi???? Bukankah beberapa bulan yang lalu ketika saya menyebut mereka yang memilih ta’lim daripada tarbiyah sebagai salafi di hadapannya namun ia membantah sembari berujar “ kita juga seorang salafiyyun dek “ Lantas apa maksud semua ini dengan mengatakan ta’lim di salafi, bagaimana dengan tarbiyah di WI apakah itu membantah bahwa lembaga ini juga bermanhaj salaf???

Subhanallah… kebimbangan itu kembali menggores hati. Ibarat luka basah yang dituang cuka, perih… sangat perih. Niat yang sudah saya hunjamkan kembali ‘ternoda’. Walhasil, jemari saya kembali enggan menekan no telpon koordinator marhalah takwiniyah (afwan ummi) Saya urungkan sesaat. Bekas-bekas tanya masih bergelayut menghantui benak. Harapan penghiburan lewat kitab-kitab aqidah ulama salaf yang saya lahap tak jua tercapai. Saya coba menepis sikap kritis yang telah lama bersemayam dan menyatu dalam diri dengan sejumput tanya di hati… “ah, adalah perkara sia-sia mempertanyakan hal-hal yang lebih patut diurus oleh para fuqaha”. Toh semua itu tak mampu meredam ingin yang begitu membara.

Akhirnya, Saya mencoba mencari pembenaran tentang apa yang telah saya jalani selama ini, tapi yang saya dapatkan justru bantahan-bantahan telak. Duuh, Saya hanyalah seorang thullab yang mencoba belajar adDien dari sumber yang shahih, apalah daya saya jika hujjah yang mereka gunakan tersebut berasal dari ulama-ulama ahlussunnah. Saya hanya bagian dari jama’ah yang mencoba taat terhadap pemimpin. Apakah ini bisa dikatakan ta’asshub? Saya hanya ingin menjaga keimanan saya lewat tarbiyah, apakah ini bisa dikatakan bid’ah? Saya ingin menularkan ilmu shahih ini kepada saudari-saudari saya lewat amal jama’I dan tanzhim, apakah ini juga suatu perbuatan bid’ah?? Yah memang, niat yang baik tidak cukup menjadikan suatu ibadah diterima oleh Allah butuh cara yang benar yaitu ittiba’ Rasulullah. Sungguh saya tidak ingin terjatuh dalam perbuatan bid’ah, perbuatan yang ditentang keras oleh Rasulullah yang pelakunya dikatakan sesat dan tempatnya di neraka, tapi saya juga tidak bisa serta merta ‘memvonis’ mereka keluar dari manhaj salaf, karena beberapa syubhat yang dihembuskan oleh saudara-saudara yang begitu menentang keras segala pelaku bid’ah ini tak berdasar. Jauuh….. sangat jauh panggang dari apinya. Tapi ada juga beberapa yang tak bisa saya pungkiri hal itu ada pada jamaah WI.

Tiba-tiba saya jadi teringat pelajaran hadist dari kitabul jami’ yang pernah saya dapatkan ketika masih di marhalah tamhidiyah, tentang anjuran meminta fatwa pada hati. Mudah-mudahan kabut yang menggulung menutup hati oleh maksiat bisa perlahan tersibak sehingga nurani ini bisa menjadi pelataran tanya akan syak yang menimpa, layaknya Utsman radhiallahu anhu yang dengan kekuatan nuraninya mampu melihat jejak-jejak maksiat di pancaran retina sahabatnya.

“Ya Allah mudahkan hati dan jasad ini untuk mendekatkan diri dengan sesuatu yang Engkau fardhukan dan mudahkan pula untuk mendekatkan diri kepadaMu dengan amalan yang Engkau sunnahkan agar kami dapat meraih cintaMU, cinta yang berwujud terjaganya indrawi untuk selalu ta’at kepadaMU”

Selengkapnya...