Banyak kaum muslimin yang merasa agak ‘kepanasan’ ketika sebagian dari saudara-saudaranya begitu keras menyuarakan tentang bid’ah. Membahas tentang bid’ah dianggap sebagai umpan timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam. Kenapa harus mengurus mereka yang sudah beramal bukankah masih banyak maksiat di tengah masyarakat yang harus diberantas seperti zina, judi, dll?? ataukah mungkin kita pernah mendengar ucapan “ yang penting kan niatnya baik”. Atau “ jangan katakana itu bid’ah… itu dosa… biarlah nanti menunggu keputusan Allah di akhirat” juga “biarkan saja mereka berbuat demikian yang penting ukhuwah Islamiyah tetap terjalin.”
Ungkapan-ungkapan tersebut sekilas tampak benar, tapi ini sungguh jauh dari tuntunan Allah dan Rasulnya. Orang yang melakukan bid’ah di beri peringatan keras oleh Rasulullah dan terjatuh dalam kesesatan sebagaimana sabda beliau : “Jauhilah oleh kalian dari mengada-ada (dalam urusan agama, karena setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka” . Bagaimana mungkin kita bisa berdiam diri terhadap perkara yang oleh Rasulullah dikatakan sesat namun oleh sebagian ummat muslim dianggap sebagai suatu kebaikan ini.
Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata tentang perkara ini : “Sesungguhnya perilaku bid’ah lebih disukai iblis daripada dosa besar, karena pelaku dosa besar sangat mungkin untuk bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah kecil kemungkinan untuk bertaubat,” hal ini karena pelaku bid’ah tidak merasa bahwa yang diakukannya adalah dosa , bahkan mereka menyangka mendapat pahala.
“Katakanlah:’Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi 103-104)
Adapun dengan mereka yang berdalih; yang penting niatnya baik, berdasarkan hadist dari Umar bin Khattab maka syari’at inipun telah membantah dengan sendirinya. Dalam Fathul Baari, syarh shahih Bukhari, Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa maksud hadist Rasulullah bahwa amalan itu tergantung niatnya adalah amal yang baik bukan amal yang buruk. Niat baik tidak akan merubah status maksiat menjadi ketaatan atau bid’ah menjadi sunnah. Bagaimana mungkin kita membenarkan tindakan seseorang melacur yang penting niatnya baik untuk mencari rezki atau menghibur orang lain. Oleh Karena itu, niat baik belum cukup menjadi syarat suatu ibadah diterima oleh Allah. Butuh cara yang benar untuk menyempurnakan suatu ibadah, cara yang benar berdasarkan contoh dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Sebagaimana sabdanya : “ Barang siapa beramal tanpa ada perintah (contoh) dariku maka tertolak.” (HR Muslim)
Fudhai bin Iyadh rahimahullah pernah berkata : “Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima, dan jika benar tetapi tidak ikhlas maka tidak akan diterima pula. Amal akan diterima manakala ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal karena Allah, sedangkan maksud benar adalah sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam.”
Maka tak perlu bersikap menentang ketika ada yang membahas tentang bid’ah. Yang penting jangan sampai memvonis yang mubah sebagai bid’ah, apalagi yang sunnah dianggap bid’ah. Penting pula untuk memahami kaidah, kapan dan bagaimana suatu amalan dianggap bid’ah. Juga bagaimana penyikapan terhadap pelaku bid’ah sesuai dengan kadar dan tingkatannya.
Semoga dengan adanya orang-orang yang berusaha mengingatkan kita tentang bahaya bid’ah ini maka tak ada lagi yang tertipu dengan kemasan. Racun pun disangka madu dan bersedia meneguknya… menimbulkan penyakit yang kronis dalam tubuh yang semakin sulit disembuhkan. Wallaahu a’lam….
Maraji’ : majalah ar-Risalah No 51&56 Th V
Ungkapan-ungkapan tersebut sekilas tampak benar, tapi ini sungguh jauh dari tuntunan Allah dan Rasulnya. Orang yang melakukan bid’ah di beri peringatan keras oleh Rasulullah dan terjatuh dalam kesesatan sebagaimana sabda beliau : “Jauhilah oleh kalian dari mengada-ada (dalam urusan agama, karena setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka” . Bagaimana mungkin kita bisa berdiam diri terhadap perkara yang oleh Rasulullah dikatakan sesat namun oleh sebagian ummat muslim dianggap sebagai suatu kebaikan ini.
Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata tentang perkara ini : “Sesungguhnya perilaku bid’ah lebih disukai iblis daripada dosa besar, karena pelaku dosa besar sangat mungkin untuk bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah kecil kemungkinan untuk bertaubat,” hal ini karena pelaku bid’ah tidak merasa bahwa yang diakukannya adalah dosa , bahkan mereka menyangka mendapat pahala.
“Katakanlah:’Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi 103-104)
Adapun dengan mereka yang berdalih; yang penting niatnya baik, berdasarkan hadist dari Umar bin Khattab maka syari’at inipun telah membantah dengan sendirinya. Dalam Fathul Baari, syarh shahih Bukhari, Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa maksud hadist Rasulullah bahwa amalan itu tergantung niatnya adalah amal yang baik bukan amal yang buruk. Niat baik tidak akan merubah status maksiat menjadi ketaatan atau bid’ah menjadi sunnah. Bagaimana mungkin kita membenarkan tindakan seseorang melacur yang penting niatnya baik untuk mencari rezki atau menghibur orang lain. Oleh Karena itu, niat baik belum cukup menjadi syarat suatu ibadah diterima oleh Allah. Butuh cara yang benar untuk menyempurnakan suatu ibadah, cara yang benar berdasarkan contoh dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Sebagaimana sabdanya : “ Barang siapa beramal tanpa ada perintah (contoh) dariku maka tertolak.” (HR Muslim)
Fudhai bin Iyadh rahimahullah pernah berkata : “Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima, dan jika benar tetapi tidak ikhlas maka tidak akan diterima pula. Amal akan diterima manakala ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal karena Allah, sedangkan maksud benar adalah sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam.”
Maka tak perlu bersikap menentang ketika ada yang membahas tentang bid’ah. Yang penting jangan sampai memvonis yang mubah sebagai bid’ah, apalagi yang sunnah dianggap bid’ah. Penting pula untuk memahami kaidah, kapan dan bagaimana suatu amalan dianggap bid’ah. Juga bagaimana penyikapan terhadap pelaku bid’ah sesuai dengan kadar dan tingkatannya.
Semoga dengan adanya orang-orang yang berusaha mengingatkan kita tentang bahaya bid’ah ini maka tak ada lagi yang tertipu dengan kemasan. Racun pun disangka madu dan bersedia meneguknya… menimbulkan penyakit yang kronis dalam tubuh yang semakin sulit disembuhkan. Wallaahu a’lam….
Maraji’ : majalah ar-Risalah No 51&56 Th V
Share
Posting Komentar