rin_iffah

Kadaton Ternate

Ternate sebagai salah satu kota pusaka Indonesia, selain menawarkan keindahan alam berupa laut, pantai dan danau sebagai tempat rekreasi atau wisata, juga memiliki banyak destinasi sejarah yang sayang jika dilewatkan saat anda berkesempatan berkunjung ke sini. Sebagai kota kecil yang kelilingnya hanya seluas 42 KM, Ternate memiliki banyak benteng peninggalan Portugis maupun Belanda. Ada yang bangunannya masih tegak berdiri, sebagian lainnya hanya berupa reruntuhan. Benteng Nostra Senora Del Rosario atau yang dikenal oleh penduduk Ternate sebagai benteng Kastela misalnya, adalah salah satu Benteng peninggalan Portugis yang memiliki nilai historis yang tinggi. Di benteng inilah Sultan Khairun; ayahanda Sultan Baabullah di bunuh secara keji yang sekaligus menjadi titik puncak perlawanan rakyat mengusir Portugis dari bumi Ternate. Kejadian ini direfleksikan dalam sebuah tarian bernama tari Soya-Soya. Anda juga bisa bertandang ke kadaton Sultan Ternate (Istana/Tempat Tinggal Sultan), Sigi lamo (Masjid Sultan) ataupun Dodoku Ali (Jembatan tempat menerima tamu kesultanan) yang ke tiga area ini berada di tempat yang berdekatan. Namun pada kesempatan kali ini, saya akan mengajak anda untuk mengunjungi Desa Foramadiahi; pusat pemerintahan pertama kerajaan Ternate sebelum dipindahkan ke Kadaton Ternate yang sekarang. Di tempat ini juga Terdapat makam Sultan Baabullah.

Kelurahan Foramadiahi; pusat kerajaan pertama Ternate

Terik mulai memanggang ketika kami menapak jalanan menanjak menuju sebuah tempat yang dikeramatkan penduduk sekitar yang konon adalah makam Sultan Baabullah di Foramadiahi. Melintasi kembali tempat ini layaknya merekam jejak perjalanan bersama rombongan ‘tur wisata sejarah’ saat masih duduk di bangku SMP belasan tahun silam. Bukan waktu yang singkat untuk menikmati wajah baru desa yang kini telah menjadi salah satu Kelurahan di kecamatan Pulau Ternate. Memilih menggunakan sepeda motor ke tempat yang berada di lereng gunung Gamalama ini rupanya menjadi pilihan yang tepat jika tak ingin separuh perjalanan yang lumayan sulit tak bisa diselesaikan karena kehabisan tenaga. Setelah memarkir kendaraan di rumah salah satu warga, perjalanan dimulai dengan menaklukkan seratus satu anak tangga untuk bisa sampai ke titik awal menuju makam. Begitu tiba di anak tangga ke seratus satu maka lelah akibat tanjakan terbayarkan dengan pemandangan indah di bawah sana. Selain rumah penduduk dengan pagar yang dicat senada, mata kita juga akan dimanjakan dengan hamparan laut biru dengan pulau Tidore, Mare, Moti dan Makian yang berjejer rapi membentuk setengah frame di sisi kirinya. Memandang Foramadiahi dari ketinggian seperti ini mengantarkan kami ke masa-masa di mana pemerintahan pertama pulau Ternate bermula. Di tempat inilah dipercaya sebagai tempat bermukimnya Kolano (raja) pertama sebelum akhirnya pemerintahan dipindahkan ke Kota baru di kawasan Soa-Sio. Maka bertandang ke Foramadiahi ibarat mengunjungi rumah tua yang telah ditinggal pemiliknya. Jangan bayangkan kami akan jumpai reruntuhan bangunan bekas istana raja, bahkan warga sekitar pun tak pernah peka bahwa di tanah merekalah asal mula kerajaan Ternate berdiri hingga berubah wujud menjadi kesultanan dan tetap ada sampai saat ini.

Sesaat melepas penat, perjalanan menuju makam pun dilanjutkan. Berbekal informasi dari warga, kami menyusuri jalanan setapak yang sudah dibeton jauh berbeda dengan kondisi jalanan belasan tahun lalu yang masih berupa tanah basah khas daerah pegunungan. Melintasi jalanan yang terkadang menanjak juga sesekali menurun tajam ini membuat perjalanan seolah tak menemukan ujungnya. Bersyukur karena pandangan masih bisa berkarib dengan deretan pohon Cengkeh dan Pala yang dahan kokohnya menjulang di samping kiri kanan menjadi terapi cuma-cuma bagi paru-paru dan pikiran yang mulai kekurangan oksigen. Dedaunan menguning dan sebagian telah kering berterbangan memenuhi jalanan yang kami lalui menambah syahdu suasana serta menghantarkan aroma khas bumi rempah-rempah. Pantas saja jika bangsa Eropa saling berebut mendatangi surganya rempah di jaziratul Mulk ini. Di perjalanan, kami sempat berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang membawa keranjang terbuat dari anyaman rotan dipunggungnya. Masyarakat Ternate menyebutnya saloi. Berkebun dengan membawa saloi di punggung (cahi saloi) merupakan pemandangan yang sudah sangat jarang dijumpai di Ternate.
Seorang Ibu yang sedang ke kebun sambil 'Cahi Soloi'
Akhirnya, tepat saat adzan Dzuhur berkumandang, kamipun tiba di kawasan pemakaman. Sebuah pendopo beratap hijau dengan pintu gerbang bertuliskan ‘Makam Sultan Baabullah’ menyambut kedatangan kami. Bayangan jika makam ini akan ramai pengunjung di hari libur seperti ini terpatahkan sudah. Tak ada sesiapa di sana, sepi menggelayut menggantung bersama sebuah pohon tua yang akarnya menancap kuat ke tanah seolah ingin melindungi makam di sampingnya. Ia masih setia dengan rimbun dedaunannya dan masih seperti itu sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di tempat ini. Selain itu, kami juga menjumpai bapak tua penjaga makam yang sepuluh tahun terakhir turut menjadi saksi segala bentuk perubahan yang terjadi di tempat ini.
Makam Sultan Baabullah

Abaikan sejenak tentang simpang siur sejarah kebenaran pemilik makam. Yang pasti, kisah heroik dibalik sosok yang dipercaya sebagai pemilik makam keramat ini patut dicatat dengan tinta emas sejarah perlawanan rakyat Ternate terhadap penjajah. Sang penguasa 72 pulau ini begitu ditakuti oleh musuh-musuhnya juga disegani oleh kerajaan-kerajaan lain yang ada di Nusantara. Sultan Baabullah adalah sang inspirator dalam melawan kolonialisme Eropa. Begitu luasnya daerah kekuasaan di bawah kepemimpinannya, sehingga banyak yang menyebutkan bahwa Ternate pada masa Sultan Baabullah adalah miniatur Negara Islam pertama di Nusantara. Maka ketika mangkatnya di tanggal 18 Ramadhan 991 H atau 25 Mei 1583 di usianya yang ke 53 tahun duka dodora menyelimuti bumi Ternate. Meskipun sampai detik ini tempat kematiannya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sejarah, Sultan Baabullah tetaplah pahlawan bagi rakyat Ternate.

Foramadiahi dan Makam Sultan Baabullah adalah perpaduan sejarah dan legenda berbumbu mitos yang terperangkap di atas perbukitan lereng gunung gamalama, menjadikan dua situs bersejarah ini semakin terisolir, kian asing terindera tertutupi oleh pesatnya pembangunan. Rumah tua foramadiahi kini hanya sekedar perkampungan biasa layaknya perkampungan lain yang ada di Ternate. Tak ada lagi yang istimewa buatnya. Seistimewa ketika ia menjadi rumah pertama bagi pemerintahan Ternate, Ratusan tahun silam.
Selengkapnya...

rin_iffah


"Pergilah kemanapun kau suka. Singgahlah ke tempat terindah yang dimiliki semesta maka engkau akan dapatkan bahwa aku adalah satu-satunya surga yang kau punya"


Rumah adalah tempat di mana hati kita selalu terpaut padanya. Kenyamanan, ketenangan, kebahagiaan yang hadir di dalamnya membuat kita selalu rindu untuk pulang. Maka tak heran jika ada yang menyebut 'Rumahku Surgaku'. Bagi saya, Ternate adalah sebuah rumah tua, rumah terindah beratap langit biru dan arakan awan putih ditopang gunung Gamalama sebagai pasak, pantai indah serta bentangan laut biru menjadi alasnya. Rumah ini telah ada sejak ratusan tahun silam. Berbagai peradaban lahir di tempat ini. Mulai dari pertama kali kepala rumah tangganya bergelar kolano (raja) hingga berganti menjadi Sultan ketika Islam mulai menjadi agama yang dipeluk oleh penghuninya. Ia pun  menjadi saksi perjuangan melawan kolonialisme di bumi nusantara. Di sini pula saya dilahirkan, menghabiskan masa kanak-kanak yang indah di sepanjang pesisir pantai.... membuat rumah pasir, memancing ikan, bermain perahu ataupun berlomba dengan lipatan-lipatan ombak, saling berkejaran menuju bibir pantai. Saban hari sayapun tak alpa mengikuti paman pergi ke hutan memanen hasil kebun berupa pala dan cengkeh; rempah terbaik di tanah para raja yang usianya sebaya dengan usia rumah ini sejak pertama kali dibangun. Di rumah tua ini saya melewati masa remaja dan kemudian tumbuh dewasa meski ada jeda di mana saya harus pergi sementara sambil menahan rindu yang teramat sangat terhadap kampung halaman, berhijrah menuntut ilmu dan akhirnya kembali mengabdi di tanah leluhur tercinta.

Di sini... di rumah ini, begitu banyak peristiwa silih berganti melintas di depan mata. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Kadang tawa bahagia menyelimuti, pun tangis duka tak luput menghampiri. Seiring berjalan waktu perubahan demi perubahanpun terjadi. Rumah yang dulunya penuh tradisi dengan nilai2 kesantunan mulai terkikis. Kakak tak lagi menghargai adik-adiknya pun sang adik tak paham bagaimana harus bersikap terhadap kakak-kakaknya. Entah karena alasan perbaikan, rumah tua ini pun dipermak, dipoles sana sini, diberi hiasan yang justru membuat ia semakin kehilangan ruhnya. Beton-beton kokoh dibangun di sepanjang pesisir menggantikan pantai berpasir indah dan rimbunan tanaman bakau tempat kami menghabiskan hari semasa kecil. Hutan yang dulunya lebat berubah menjadi bangunan-bangunan baru tanpa mempedulikan daerah resapan air. Wajarlah jika kekhawatiran ini mulai hadir.

Suatu hari nanti, ketika saya pergi dari sini kemudian kembali lagi dalam waktu lama, akankah saya dan penghuni rumah lainnya masih bisa saling mengenali? Sementara di tempat yang samapun kami serupa orang asing yang lahir dari rahim berbeda. Apatah lagi jika terpisah jarak dan waktu sekian lamanya. Lebih jauh lagi, kelak ketika itu terjadi.... akankah rumah tua yang saya bangga-banggakan ini, tempat saya menyulam berbagai kenangan indah masih menjadi tempat yang nyaman yang akan selalu mengetuk-ngetuk kerinduan di hati saya untuk kembali pulang? Semoga......
Selengkapnya...

rin_iffah

Saat musim ombak, menyebrangi lautan dengan jenis transportasi apapun menjadi hal yang paling menakutkan (bagi saya). Apalah daya Maluku Utara yang terdiri dari begitu banyak pulau dengan luas lautan mencapai 76% dari total luas wilayahnya ini membuat pilihan untuk menggunakan angkutan penyebrangan laut sulit untuk dihindari ketika hendak bepergian menuju tempat tertentu di luar Ternate. Sebagaimana kami hari itu selepas memberikan pelatihan yang diselenggarakan oleh BKKBN, setelah menempuh perjalanan darat dua jam lebih dari Weda (Halmahera Tengah) ke Sofifi (Ibu Kota Provinsi Maluku Utara) untuk bisa kembali ke Ternate, kami terlebih dahulu harus melintasi lautan. Pilihannya hanya dua, menggunakan kapal Feri atau Speed Boat. Sore itu kami tak seberuntung penumpang lainnya yang masih sempat menyebrang dengan Feri. Terlalu lama di perjalanan dan sempat berhenti sebentar di beberapa titik untuk mengambil foto (salah satunya foto matahari terbenam ini) membuat kami terlambat mengejar Feri jam setengah tujuh. "Ferinya nanti tiba di Sofifi jam 8 malam dan akan berangkat ke Ternate jam 5 Subuh besok. Jika buru-buru bisa naik speed boat saja, tapi dengan kondisi lautan yang berombak dan menyebrang di malam hari seperti ini cukup beresiko. Bisa saja di perjalanan speed boat nya menabrak batang pohon atau kayu yang mengapung di sepanjang perairan...." seorang petugas pelabuhan memberikan penjelasan panjang lebar ketika kami bertanya tentang jadwal penyebrangan Feri sore itu.

Nyali juga setelah mendengar penuturan bapak tersebut. Sempat terlintas berbagai kecelakaan speed boat saat melintasi lautan menuju Ternate. Terakhir adalah kecelakaan yang menimpa sebuah keluarga ketika mereka di pagi buta menyebrang dari Sofifi ke Ternate demi mengejar penerbangan pagi menuju Surabaya. Tak ada satupun di antara penumpang yang selamat kala itu. Jasad beserta uang puluhan juta yang dibawa serta tenggelam bersama speed boat. Sempat pula terfikirkan, bagaimana nasib penduduk di sini yang menderita penyakit akut dan butuh penanganan segera sementara mereka harus menyebrangi lautan untuk bisa sampai ke Rumah Sakit Daerah dengan fasilitas yang jauh lebih memadai dibandingkan puskesmas perawatan di ibu kota provinsi ini; Sofifi. Beruntung jika penyakit yang mereka derita dialami saat lautan teduh sehingga menyebrangi lautan tak menjadi kendala yang berarti, tapi bagaimana jika mereka harus mencari pertolongan di kala lautan tak bersahabat ataupun harus dirujuk saat malam hari dengan penerangan ala kadarnya. Apakah mereka tak punya hak yang sama dengan penduduk lainnya yang berada dekat dengan fasilitas kesehatan?

Kondisi Maluku Utara yang terdiri atas gugusan pulau menyebabkan jalur transportasi antara satu daerah ke daerah lainnya cukup sulit dilalui. Hal ini berdampak pula pada kondisi ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat setempat. Semakin berada jauh dari kota maka semakin terbelakang pula daerah tersebut. Sistem rujukan gugus pulau yang didengung-dengungkan menjadi program andalan pemerintah daerah pun seakan mati langkah. Rumah Sakit-Rumah Sakit di tiap kabupaten tak dibekali dengan sumber daya yang mumpuni untuk menjalankan program tersebut. Walhasil pasien yang berada di daerah sangat terpencil pun lebih memilih untuk dirujuk ke RSUD Chasan Boesoirie di Ternate dibandingkan ke RSUD Kabupaten terdekat. Maka mengaktifkan Rumah Sakit Umum Daerah di Sofifi sebagai pusat pemerintahan provinsi Maluku Utara sekaligus menjadi tempat startegis di daerah lintas Halmahera yang juga adalah daratan terluas akan sangat membantu dalam mempersingkat alur rujukan pasien yang selama ini terlalu banyak menghabiskan waktu juga biaya. Semoga saja RSUD Sofifi ini segera beroperasi sehingga bisa menjadi solusi perbaikan sistem kesehatan di Maluku Utara meskipun sangat mungkin banyak kekurangan yang akan dijumpai di awalnya.
Selengkapnya...

rin_iffah



Danau Tolire dengan Latar Gunung Gamalama
Foto oleh : mexes_screamo

Alkisah, tersebutlah sebuah kampung bernama Tolire yang dipimpin oleh seorang mahimo atau fanyira (Ketua Adat). Mahimo ini mempunyai seorang anak gadis yang konon tersohor kecantikannya di seantero kampung. Bunga desa yang mulai terlihat kuncup keindahannya ini menjadi bahan perbincangan para pemuda kampung. Tak sedikit orang tua yang berharap bisa meminang si gadis untuk dijadikan menantu. Penduduk Tolire hidup damai berdampingan, saling bergotong royong dalam kerukunan. Berkah langit dan bumi tercurah siang dan malam. Hasil bumi di tempat ini terberkahi. Perkebunan pala, cengkeh dan kelapa silih berganti menghasilkan buah dengan panen yang melimpah. Hingga suatu ketika, mendung menggantung di langit Tolire. Tanpa sebab yang jelas, beberapa penduduk menderita penyakit aneh yang menakutkan, menular dan menjadi wabah yang sangat mematikan. Tolire kian mencekam. Para pemangku adat kebingungan. Penyakit yang tak pernah mereka derita sebelumnya ini bagaimanapun caranya harus disingkirkan. Maka bersepakatlah mereka untuk menyingkirkan penyakit yang dianggap berasal dari roh-roh jahat. Gangguan roh jahat tersebut sudah sepantasnya dihalau dengan ritual Salai Jin (Ritual memanggil Jin) dan tarian Cakalele.

Tibalah waktunya menjalankan ritual mengusir marabahaya dari kampung Tolire. Semua penduduk dikumpulkan di tanah lapang. Anak-anak, perempuan, hingga manula memenuhi undangan. Sedang para lelaki dipersiapkan untuk menjalani ritual salai jin dan tarian cakalele. Alunan musik yang berasal dari tabuhan tifa menggema memecah malam mengantarkan para penari beraksi. Dua malam berturut-turut ritual tersebut dijalankan. Tibalah pada malam ketiga. Setiap lelaki dewasa telah bersiap memulai ritual sebagaimana yang telah mereka lakukan pada malam-malam sebelumnya. Jelang ritual, terlebih dahulu mereka meminum saguer; minuman tradisional yang membuat siapapun yang meminumnya akan mabuk dan tak terkontrol setiap perilakunya. Tujuan minum saguer tak lain untuk menambah semangat dalam membawakan salai jin dan tarian cakalele. Malam semakin larut. Para penari semakin liar tariannya tersebab reaksi saguer yang mulai menguasai badan. Tak terkecuali sang pemimpin adat yang ikut dalam ritual tersebut. Ritual yang awalnya bertujuan menghilangkan musibah justru berbuah petaka. Masih di bawah pengaruh minuman saguer, pemimpin adat Tolire melakukan perbuatan yang mendatangkan kutukan semesta. Anak gadis satu-satunya yang ia miliki, yang ia jaga mahkotanya agar tak gugur sebelum waktunya justru menjadi ‘mangsa’nya. Minuman keras membuatnya menzinahi putrinya sendiri nyaris hingga subuh menghampiri. Sementara penduduk lainnya tak menyadari peristiwa tersebut.

Menjelang fajar, seorang perempuan yang tak turut dalam ritual malam itu karena sedang menyapih anaknya mendengar kokok ayam menyerupai suara seorang manusia yang berteriak menyebut kata-kata tertentu. Dirapatkan pendengarannya, mencoba menangkap kalimat apa yang tertangkap indera pendengarnya dari kokok ayam jantan tersebut. Lamat-lamat ia mendengar seruan “Tolire Gam Jaha” (Kampung Tolire akan tenggelam). Kalimat itu berulang diserukan hingga si perempuan pun menyadari bahwa ini adalah petanda alam yang mengabarkan kampungnya dalam ancaman besar. Ia pun berlari mendekati kerumunan penduduk yang sebagian besar sudah tak sadarkan diri. Disampaikannya kabar yang baru saja dia dengarkan kepada mahimo sebagai petanda buruk. Awalnya mahimo menafsirkan hal itu sebagai bagian dari terkabulnya permintaan mereka lewat ritual yang telah diadakan selama tiga malam berturut-turut. Namun kemudian ia tersadar ketika mengetahui ia baru saja melakukan perbuatan terlarang dengan anaknya sendiri. Belum juga pulih kesadarannya, Terdengar suara gemuruh dari arah barat. Entah darimana datangnya, tiba-tiba angin kencang mengepung kampung Tolire. Tanah di sekitar mereka bergetar hebat kemudian amblas bersama sebagian penduduk yang masih tak sadarkan diri karena pengaruh minuman keras. Penduduk lainnya yang sudah terjaga berusaha menyelamatkan diri dari bencana yang datang tanpa disangka-sangka. Pemimpin adat juga berada dalam kerumunan penduduk yang berhamburan mencari pertolongan. Sayangnya, nyawa mahimo tak terselamatkan. Ia ikut tenggelam bersama kampung Tolire beserta isinya. Anak gadis mahimo berhasil menyelamatkan diri dari kampungnya. Namun ketika ia hampir mencapai bibir pantai tanah di sekitarnya ambruk. Sang gadispun tenggelam. 

Danau Tolire dengan latar pulau Hiri
Foto oleh : mexes_screamo

Konon kampung Tolire yang hilang pada peristiwa tersebut berwujud sebuah danau besar yang sangat dalam yang dikenal sebagai danau Tolire. Sedangkan tanah tempat tenggelamnya anak gadis mahimo berubah menjadi sebuah danau yang lebih kecil dan berbatasan dengan pantai membentuk muara. Danau ini kemudian oleh penduduk Ternate disebut sebagai ‘Tolire Kecil’.

Danau Tolire vie dari pesawat


Danau Tolire Kecil
Foto oleh : mexes_screamo


*Catatan : Danau Tolire menurut data sejarah terbentuk akibat gempa tektonik yang disertai letusan hebat Gunung Gamalama pada tahun 1775 dan menelan korban hingga 2000an orang dari 3000an penduduk Ternate kala itu.

Selengkapnya...

rin_iffah


Pernahkah anda berhadapan dengan seseorang yg di sepuluh menit sebelumnya masih tersenyum ramah, bercanda seolah tak ada apa-apa tapi di detik berikutnya terbujur kaku tak bernyawa? Ataukah tetiba ada yg datang mengarahkan telunjuk tepat di depan wajah anda sambil menuduh anda adalah penyebab kematian anggota keluarganya? Pernahkah anda menyaksikan duka dan bahagia berlangsung di waktu bersamaan? Ketika ada seorang ayah yang sulit mengapresiasikan perasaannya antara sedih kehilangan isteri tercinta yang telah berdarah-darah, berjuang menyelamatkan sang buah hati penyejuk mata ataukah harus bergembira menyambut kehadiran malaikat kecil yang tangis pertamanya mengiringi kepergian sang bunda selama-lamanya. Kami pernah, bahkan telah menjadi bagian dari warna-warni hidup kami.

Di sini, di Rumah Sakit Umum Daerah Chasan Boesoirie Ternate, semua peristiwa itu terpampang jelas di hadapan kami. Meskipun pekerjaan sebagai tenaga medis bukanlah pekerjaan utama penduduk Ternate, namun Rumah Sakit Umum Daerah Chasan Boesoirie menjadi tempat yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Tidak saja di Ternate, tapi juga di Provinsi Maluku Utara. Sudah banyak drama kehidupan, suka pun duka yang kami lewati di sini. Detik-detik kematian yang senantiasa mengintip dari balik pintu Instalasi Gawat Darurat dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang ada di bangsal perawatan membuat kami tak lagi merasa takut menyaksikan momen-momen yang bagi kebanyakan orang adalah peristiwa yang sangat menakutan. Kamipun harus merelakan sebagian waktu berkumpul bersama keluarga untuk dihabiskan menemani pasien. Lantas apakah semua itu membuat kami menyesal karena memilih bekerja di sini? Tidak sama sekali... Pekerjaan ini justru membuat kami lebih banyak bersyukur atas nikmat kesehatan yang masih teranugerahi di saat ada sebagian orang terbujur tak berdaya di atas tempat tidur karena penyakit yang mereka derita. Seiring bergulir waktu, kami semakin mencintai profesi ini meski tak ada alasan yang tepat untuk itu. Ketika banyak mata awam melihat hal-hal yang terkesan tidak menyenangkan yang kami alami sebagai resiko profesi, seorang sahabat justru menganggap semua resiko tersebut adalah bagian dari amal profesi. Maka apapun pekerjaan yang kita jalani saat ini, Niatkan semuanya untuk beribadah agar setiap tatapan, sentuhan, senyuman, kata-kata yang terlisankan bisa bernilai ibadah di sisiNya...
Selengkapnya...

rin_iffah

Tiba juga saatnya berbicara tentang makanan. Tema paling ‘menakutkan’ di antara sepuluh tema lainnya yang ada di 30 Hari Kotaku Bercerita. Bukan karena di kota saya tidak tersedia makanan yang menggoda selera, akan tetapi menulis tentang kuliner bisa membuat perut saya ikut-ikutan meronta minta diisi. Pada kesempatan kali ini saya cukup memperkenalkan dua jenis makanan khas Ternate yang jika berkunjung ke sini wajib hukumnya untuk dicicipi. Yang pertama kami menyebutnya Makanan Kobong dan yang kedua Makanan Adat.


Entah sejak kapan kami mulai menggunakan istilah makanan kobong. Mungkin dulunya jenis makanan ini sering dibawa saat berkebun atau makanan hasil kebun penduduk Ternate. Makanan kobong menjadi makanan yang paling digemari di kota kami. Sudah menjadi kebiasaan di sini, setiap hari Jum'at hampir setiap rumah penduduk disiapkan makanan kobong sebagai hidangan makan siang. Bagi kami, hari Jumat adalah hari yang istimewa sehingga makanan yang disiapkan di tiap rumahpun harus yang istimewa salah satunya makanan kobong. Namun anda tidak perlu khawatir jika hanya punya kesempatan berada di Ternate selain pada hari Jum'at karena saat ini, makanan kobong sudah tersedia di banyak rumah makan dan bisa didapatkan setiap hari. Beberapa rumah makan sederhana yang berjejer sepanjang pasar Gamalama (salah satu pasar tradisional di Ternate) menyediakan makanan kobong sebagai menu andalannya. Di sini, kita bisa menikmati makanan kobong sambil memandang ke arah laut lepas dan pulau Halmahera. Harganya lumayan murah, cukup dengan 25 sampai 50 ribu rupiah kita bisa makan sepuasnya. Makanan Kobong sepaketnya terdiri dari Popeda/Pupeda; Sagu yang dimasak dengan cara disiram air mendidih sampai mengental dan kenyal. Disajikan di atas piring yang telah dituang kuah asam pidis (kuah ikan yang ditumis dengan berbagai rempah) atau kuah soru (kuah bening berisi ikan tore atau ikan yang sudah dikeringkan). Popeda juga menjadi kuliner khas beberapa daerah di Timur Indonesia seperti Ambon dan Papua. Yang membedakannya adalah cara penyajian dan cara makan. Selain popeda, di atas meja juga tersaji beberapa macam olahan ikan diantaranya; ikan bakar, ikan fufu (ikan tuna yang diasap) dan Gohu (Olahan ikan mentah yang dibuat dari ikan tuna segar dipadukan dengan perasan air lemon, bawang merah, cabe rawit, disiram minyak panas dan ulekan kacang goreng). Beraneka sayur; sayur garu (tumisan daun singkong dan jantung pisang atau bunga pepaya), kohu-kohu (sayuran mentah yang biasanya dijadikan lalap seperti kacang panjang, terong, timun, kecipir dan lainnya), berbagai jenis dabu-dabu (sambal); Dabu-dabu tumis, Dabu-dabu manta/mentah, dabu-dabu kacang, Dabu-dabu kelapa. Dan tidak ketinggalan pisang dan kasbi/singkong yang direbus menggunakan santan. Cara menikmati makanan kobong yaitu dengan menggunakan tangan. Boleh juga memakai sendok dan garpu tapi cara makan demikian tidak lazim bagi kami. Kata orang Ternate makanan ini rasanya ‘Saki Foloi’ (Enak pake banget)

Salah satu rumah makan yang menyediakan makanan kobong.
Foto: http://ternateheritage.com
Paket makanan kobong.
Terdiri dari popeda, beberapa jenis ikan dan sayuran serta dabu-dabu (sambal)

Jenis makanan berikutnya yang patut dicoba adalah Makanan Adat. Untuk makanan yang satu ini anda harus menunggu waktu yang tepat agar bisa menikmatinya karena tidak disajikan setiap hari dan belum ada rumah makan di Ternate yang menyediakan menu makanan adat. Sesuai namanya, makanan adat hanya disajikan pada acara-acara adat seperti acara pernikahan adat Ternate, Acara Syukuran ataupun Tahlilan. Makanan adat pada umumnya disajikan di atas meja panjang yang sudah dialasi kain putih dan baru bisa dinikmati setelah dibacakan zikir dan doa. Bagi masyarakat Ternate, makanan adat memiliki simbol atau nilai filosofis tertentu. Makanan adat terdiri dari* :

1. Jaha (Pali-Pali); Nasi yang dimasak di bambu atau dibungkus dengan daun sagu yang panjangnya empat puluh sentimeter dan garis tengah tiga sentimeter sebanyak sepuluh potong. Dirakit dan diletakkan di atas piring yang dibuat menyerupai perahu bermakna Armada Laut Kerajaan Ternate yang siap tempur

2. Dada (Kukusan); Nasi kuning yang dibuat mengerucut melambangkan Gunung (Kerajaan) Ternate dengan kekuasaan yang tegak dan berwibawa

3. Ikan dan Terong goreng melambangkan kehidupan lelaki dan wanita atau laut dan darat (Heku dan Cim)

4. Gulai Ikan melambangkan kekayaan laut yang melimpah

5. Bubur Kacang melambangkan hasil pertanian yang melimpah

6. Serikaya; terbuat dari telur ayam, gula, santan kelapa, dan satu daun pandan melambangkan budi pekerti masyarakat adat Ternate beserta pemimpinnya

7. Boboto; Ikan dalam adonan santan dan telur dibungkus daun pisang berbentuk segi enam dengan panjang kurang lebih empat sentimeter sebanyak empat buah yang melambangkan empat penunjang (Fala Raha). Satu piring boboto disajikan untuk empat orang tidak boleh lebih atau kurang dengan pengertian kekuasaan tertinggi berada pada empat kekuatan besar atau Gam Raha.

Makanan Adat disajikan pada Acara Adat Ternate.
Foto dari http://ternateheritage.com

Demikian makanan adat dalam filosofis masyarakat Ternate. Sebentuk pemikiran yang dituangkan dalam beraneka jenis makanan hasil bumi yang ada di Ternate. Jika ke Ternate, sayang jika anda melewatkan kedua jenis makanan ini. Selamat makan.....


Selengkapnya...

rin_iffah



Pagi tadi saat sedang visit pasien di kamar bersalin, seorang ibu muda dengan agak terkejut memanggil nama saya ketika saya berjalan menghampiri dan mulai menanyakan keadaannya. "Rin yah?" Sayapun tak kalah terkejutnya. Sesaat saya menatap pasien pasca melahirkan ini dan mencoba mengumpulkan rangkaian puzzle wajah siapapun yang pernah berinteraksi dengan saya. Sayangnya kali ini saya gagal. Kepingan puzzle itu tetap saja berhamburan memenuhi seisi pikiran. Ah, kelemahan saya sedari dulu yaitu tidak pandai mencocokkan wajah dan nama seseorang, sekalipun belum berapa lama bersua. Melihat raut wajah saya yang kebingungan ibu ini melanjutkan ucapannya "Rin sudah lupa sama saya? Saya Fa****, teman SD dulu." Saya menarik napas lega, paling tidak masih ada pembenaran bahwa kemungkinan 'lupa' yang saya alami saat ini tersebab jarak pertemuan yang sudah sekian tahun tak terjalin 😆 Saya mencoba mencairkan suasana dengan 'pura-pura' terkejut bahagia seolah telah puluhan tahun kehilangan seorang sahabat lama dan baru dipertemukan kembali di tempat yang tak pernah kami sangka. Nyatanya saya benar-benar lupa siapa dia? Apakah kami pernah sekelas atau bahkan sebangku kala SD? Selanjutnya, dia menceritakan banyak hal, mengajak saya kembali bernostalgia ke masa-masa dimana kami hanyalah sekumpulan bocah ingusan yang menghabiskan hari-hari dengan bermain.

Sebagaimana biasanya, ada hal yang tak luput saya tanyakan kepada para ibu di ruang kebidanan saat memeriksa perkembangan kondisi mereka setelah melahirkan. Pertanyaan serupa saya ajukan pula kepada teman masa kecil saya ini. "Ini anak yang ke berapa?" Tanya saya sembari mengusap lembut pipi si bayi mungil yang perlahan menekuk dahinya dan semakin mendekat ke dalam dekapan sang ibu. "Ini anak ke lima." jawabnya sumringah dengan pendar bahagia terpancar jelas di matanya. Desiiiigh.... Saya terdiam sebentar. Saya tahu di detik dan menit berikutnya bidan-bidan di samping kiri kanan saya akan mengeluarkan kalimat candaan yang sama setiap kali saya jumpai ibu-ibu muda berusia awal dua puluhan yang sudah dua atau tiga kali melahirkan. "Wah dokter, ada yg 'so kamuka tuh'." Saya menanggapi dengan suara pelan, "Menikah dan punya anak itu bukan soal perlombaan siapa duluan dan siapa belakangan kan? Bukan untuk saling membanggakan bahwa saya sudah bersuami dengan punya sekian anak. Bukankah hal terpenting dari semua itu adalah menyiapkan diri dan ketika waktu itu tiba tidak ada lagi kata-kata 'belum siap' apalagi sampai terucap kata-kata penyesalan?"

Suara tangisan bayi di kamar bersalin yang silih berganti menutupi tiap kalimat 'bertuah' yang saya sampaikan barusan. Tak mengapa jika mereka tidak mendengarnya, toh kalimat-kalimat yang terucap lirih tadi adalah monolog yang tertuju buat diri sendiri. Tiba-tiba  terlintas wajah seorang kawan di ujung sana yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Di setiap nasihat yang terlontar dari lisannya selalu diiringi dengan ucapan 'Notes to MySelf'. Apa kabar dia yang saat ini sedang menikmati kebahagiaannya? Tak tahukah bahwa saya di sini sedang menanti untuk diajak berbagi kebahagiaan yang sama?!

*Kamar Bersalin, Mei 2015 ~Penggalan cerita tak jelas dengan sedikit 'flight of Idea'~
Selengkapnya...

rin_iffah


Pemandangan Matahari Terbit dari Pasar Syariah

Pagi baru saja terbit bersama hangat mentari yang perlahan muncul dari celah pohon bakau tua di area timbunan pantai menyapu wajah sekumpulan ibu-ibu yang sedang sibuk mengatur dagangannya. Mulai dari ikan yang baru dibawa pulang para nelayan setelah semalaman di lautan, sayur-sayuran segar, beraneka macam buah hingga keperluan hidup sehari-hari lainnya. Dagangan mereka tertata rapi meski belum tampak ada pembeli yang menghampiri. Pagi ini saya akan mengajak anda untuk mengunjungi sebuah pasar baru yang berada di selatan kota Ternate.

Pasar Syariah tampak depan
Jika selama ini kita hanya akrab dengan perbankan syariah ataupun asuransi syariah, maka di Ternate ada yang namanya Pasar Syariah. Yah, pasar syariah ini adalah pasar tradisional yang baru saja diresmikan oleh pemerintah kota Ternate. Terletak di kelurahan Sasa, pasar Syariah secara fisik terlihat seperti pasar-pasar lainnya yang menjual kebutuhan masyarakat sehari-hari. Yang menjadikannya berbeda dari pasar konvensional atau modern yang ada di Ternate, adalah pengelolaannya termasuk praktik jual belinya yang sepenuhnya menerapkan aturan Islam. Begitu pula barang yang diperjual belikan juga hanya komoditas yang halal mengingat mayoritas penduduk Ternate beragama Islam. Namun pasar Syariah ini tidak hanya diperuntukkan bagi penduduk Muslim saja, tetapi juga bagi penduduk beragama lain yang ingin berjualan atau berbelanja di sini dengan syarat menerapkan sistem jual beli sesuai aturan Islam misalnya tidak boleh menjual barang dengan keuntungan beberapa kali lipat atau juga tidak melakukan penipuan saat melakukan transaksi jual beli. Ada tim khusus bentukan pemerintah kota yang akan memantau perkembangan transaksi yang dijalankan di pasar syariah sehingga masyarakat tak lagi khawatir akan praktek curang ataupun riba sebagaimana yang ada di pasar-pasar pada umumnya.



Aktivitas Jual beli di Pasar Syariah

Walaupun tak seramai pasar Gamalama atau pasar Inpres yang telah lebih dulu dibangun, pasar Syariah ini tetap beroperasi sejak jam 6 pagi sampai jam 8 malam. Kita juga bisa berbelanja sambil menyaksikan matahari terbit karena pasar syariah ini berada di pinggir pantai dengan pemandangan yang langsung berhadapan ke arah timur dengan pulau Maitara dan Tidore sebagai bingkainya. Jika cuaca sedang cerah, kita bisa melihat Pulau Mare, Moti dan Makian dari kejauhan. Sebuah pemandangang yang akan membuat kita selalu ingin kembali, tak sekedar berbelanja tetapi juga untuk menyaksikan sebagian tanda kebesaran Sang Pencipta di alam semesta.
Selengkapnya...

rin_iffah

Fort Oranje tampak depan

Sebagai kota kecil yang kelilingnya hanya sekitar 42 kilometer, Ternate memiliki jumlah Benteng peninggalan Portugis maupun Belanda yang cukup banyak. Tercatat ada delapan benteng yang masih bertahan, yaitu Tolukko, Kalamata, Kastela, Oranje, Kota Janji, Bebe, Kota Naka, dan Takome. Sebagian hanya tersisa puing-puing yang tak lagi berbentuk layaknya benteng pada umumnya. Namun dalam catatan Belanda setidaknya ada 12 benteng di Ternate, termasuk sebuah benteng dari kayu, yaitu Benteng Kalafusa meski jejaknya tak lagi ditemukan. Pemerintah setempat, dalam upaya menjaga kelestarian benteng-benteng yang memiliki nilai sejarah, dibuatlah revitalisasi benteng yang ada di kota Ternate, salah satunya adalah Fort Oranje. Benteng yang empat abad lalu sempat menjadi titik tersibuk di pulau Ternate ini telah ditata kembali menjadi ruang terbuka publik di pusat kota dengan sebuah taman luas di depan benteng yang di cat berwarna jingga terang, kontras dengan bangunan yang berada di sekelilingnya. Fort Oranje awalnya dikenal sebagai benteng Malayo/Melayu peninggalan Portugis yang berada diperkampungan melayu. Saat Belanda datang  ke Ternate, Sultan Ternate menghadiahkan tanah di kawasan reruntuhan  Benteng Malayo kepada Belanda untuk didirikan benteng yang kemudian dijadikan markas besar VOC di Hindia Belanda sebelum akhirnya dipindahkan ke Batavia
Kanal buatan di taman Fort Oranje

Salah satu bastion fort oranje dengan meriam dan view lanskap kota Ternate

Saat ini, fort Oranje menjadi tempat nongkrong baru bagi penduduk Ternate yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga atau kerabat. Setiap pagi maupun petang, tempat ini tak pernah sepi pengunjung. Sayangnya, sejak diresmikan pada Mei 2015 kemarin taman beserta benteng Oranje belum sepenuhnya dikelola dengan baik oleh pemerintah kota. Museum rempah yang diharapkan menjadi tempat belajar sejarah keemasan Ternate sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di masa lalu masih berupa bangunan tak berpenghuni yang terkesan baru . Tak ada aktivitas berarti yang ada di museum ini. Bahkan mungkin pengunjung yang datang ke fort Oranje pun tak mengenali bangunan museum rempah tersebut karena tak ada peta atau petunjuk arah yang jelas. Kebanyakan warga lebih memilih duduk di taman depan benteng atau naik ke atas bastion hanya sekedar berfoto dengan latar pemandangan sekitar.

Suasana taman Fort Oranje di suatu sore

Anak muda yang sedang bermain sepak bola di depan museum rempah dalam area benteng

Fort Oranje masih terus dalam pembenahan. Selaku warga Ternate, kami berharap Fort Oranje tak sekedar menjadi perabot tua yang dihias ala kadarnya hanya untuk menyegarkan mata tapi lebih dari itu ada nilai-nilai sejarah maupun budaya yang bisa kami dapatkan setiap kali berkunjung ke tempat ini. Mungkin akan segera tiba waktu itu. Semoga saja.
Selengkapnya...

rin_iffah


Refleksi Gunung Gamalama

Siapapun yang pernah berkunjung ke Ternate akan sepakat bahwa kota di pulau kecil ini menyimpan begitu banyak pesona bahkan sudah terasa ketika masih berada di angkasa. Cobalah untuk melepas pandang sejenak ke luar jendela pesawat di saat pramugari mengumumkan bahwa tak lama lagi pesawat akan mendarat di bandara Sultan Babullah Ternate. Sebuah gunung berdiri  kokoh dengan ketinggian 1715 meter di atas permukaan laut beserta beberapa pulau berjejer rapi di sekitarnya akan menyambut kedatangan anda. Gamalama, gunung yang namanya tersemat pada salah seorang artis ibu kota ini adalah sebuah gunung vulkanik aktif yang di kakinya terdapat kehidupan yang sudah berlangsung sejak awal abad ke 13. Sebuah kota pesisir yang dulunya bernama Pulau Gapi dan kini lebih dikenal sebagai kota Ternate.

Kota-Pulau Ternate dibingkai Pulau Tidore, Maitara dan Hiri
Gamalama dilihat dari jendela pesawat


Tak banyak yang mengenal Ternate, pun di peta Indonesia ia hanya berupa noktah kecil di wilayah Maluku Utara. Lewat project 30 hari kotaku bercerita yang diadakan oleh akun twitter @poscinta , saya akan mengajak anda untuk mengenal lebih dekat salah satu kota pusaka yang ada di Indonesia ini. Maka bersiaplah untuk jatuh hati sebagaimana teman saya yang ketika pertama kali menginjakkan kakinya di sini ia menyebut Ternate sebagai surga tersembunyi di Timur Indonesia. Pantaslah jika keindahan Ternate dan pulau sekitarnya terekam dalam lembar uang seribu rupiah. 

Pemandangan dari Ternate dalam lembar uang seribu rupiah

Selamat datang di Ternate, Selamat menikmati pesona kota tua di kaki gunung Gamalama…
Selengkapnya...