rin_iffah

“Kalo bukan anestesi, insyaAllah aku mau ngambil spesialis jantung pas ada kesempatan lanjut belajar....” ujarku kepada beberapa teman sejawat yang saat itu nimbrung dalam obrolan ringan tentang keinginan melanjutkan pendidikan spesialis. “ hmmp... dek, saat ini kamu mungkin masih berpikir idealis dengan beberapa mimpi yang ingin kamu capai. Usia mu juga masih muda.... tapi ada satu hal yang harus kamu sadari bahwa kita yang ada di sini adalah seorang perempuan yang kebetulan berprofesi sebagai dokter. Artinya bahwa kelak ada tanggung jawab lain yang harus kita penuhi selain tanggung jawab profesi... bukankah nanti kita akan mempunyai suami serta anak-anak yang manis dan lucu?!!...” timpal dokter yuli tanpa menoleh ke arahku. Sejak tadi ia serius membuat kreasi sulaman bunga-bunga kecil di atas sebuah jilbab mungil berwarna kuning gading. Aku hanya terdiam, sesekali mengiringi ucapannya dengan senyuman yang agak kupaksakan, dalam hati aku berujar “skak mat”.

“Makanya kenapa aku ga mau ngambil bagian besar. Aku udah pernah ngerasain, gimana anakku manggil baby sitternya dengan sebutan ‘mama’. Sedang aku dipanggil ‘tante’. Sakit banget...” dokter berambut pendek dengan kaca mata minus yang berada di samping ku mencoba menguatkan apa yang disampaikan dokter yuli barusan. “tuh kan, lagian apa sih yang sebenarnya kita cari sebagai seorang dokter?? Menjalani hidup sederhana di tengah keluarga yang harmonis, melalui hari-hari dengan melihat anak-anak tumbuh di tengah kasih sayang kedua orang tuanya adalah hal yang sangat membanggakan. Meskipun hanya dengan aktivitas pagi di rumah sakit kemudian siangnya sudah kembali ke rumah, berkumpul bersama keluarga kecil, membersihkan serta sesekali mengatur ulang perabotan di rumah sendiri menjadi hal yang tampaknya sangat menyenangkan. Kalo saya dikasih kesempatan buat lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, saya justru lebih memilih sekolah hanya sekedar untuk gelar perbaikan status yang belajarnya hanya sekali sebulan, bukan untuk mencari uang karena itu bukan tanggung jawab saya, dan memang karena saya bukan kepala keluarga...” kali ini dokter yuli begitu antusias menyampaikan pendapatnya. “tapi kan, ga semua orang ngambil spesialis karena tujuan prestise semata, ada sebagian orang yang justru mendapatkan kepuasan batin ketika dihadapkan dengan begitu banyak kesulitan dalam menyelesaikan sebuah kasus rumit, atau misalnya ketika ia mampu menyembuhkan pasien karena ilmunya yang mumpuni... atau karena memang senang memiliki liku hidup yang penuh warna” sela ku tak kalah bersemangat, tak ingin mimpiku di anggap tak ada artinya oleh mereka. “iya dek, wajar-wajar aja kamu punya mimpi seperti itu, dan semua terserah pada pilihanmu, karena tiap orang punya hak untuk memilih dan siap menerima konsekuensi dari tiap pilihan yang dibuatnya. Tapi coba bayangkan, disaat kamu lagi istirahat bersama suami tercinta tiba-tiba ada panggilan dari rumah sakit karena mendadak ada operasi. Gimana perasaan suami mu saat itu, dan gimana seharusnya kamu memposisikan diri sebagai seorang dokter anestesi tapi di sisi lain sebagai seorang isteri dari suami mu yang saat itu berbaring tepat di sampingmu...., katanya siih, agak susah lho seorang isteri melepaskan pelukan suaminya.... menurut dokter yang udah nikah nih, gimana???” kali ini dokter yuli mencoba mencari pembenaran dari seorang dokter yang jauh lebih senior sambil sesekali melempar senyum ke arahku yang jelas kelihatan salah tingkah.

“satu hal yang membuat kita menjadi dokter yang berbeda adalah karena kita seorang perempuan. Sulit dipungkiri, ketika sudah berkeluarga tiap detil mimpi, cita-cita, harapan tentang perjalanan panjang karir kedokteran kita berubah seiring dengan makin dewasanya kita menghadapi kenyataan hidup berumah tangga. Belum lagi, kita harus mengantongi izin suami untuk tiap keputusan yang akan kita ambi meskipun keputusan sepenuhnya ada di tangan kita...” dokter yang saat ini menjabat sebagai kepala IGD ini bertutur dengan bahasanya yang lembut, mencoba menyentuh sisi terdalam hatiku. Aku hanya bisa tertunduk dalam seolah-olah menjadi pesakit di antara mereka.
“waah, kayaknya rin udah mulai berubah nih, ga mau ngambil anestesi atau jantung lagi ya....” canda dokter yet yang dari tadi menyimak pembicaraan kami. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman yang entah ditafsirkan sebagai apa????

Subuh ini, ketika membuka inbox, aku mendapat sebuah pesan dari seorang teman (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang lebih banyak)... isi pesannya :
Kutipan dibawah ini adalah catatan Ainun Habibie pada buku Setengah Abad B J Habibie, yg dikutip ulang dari buku Habibie&Ainun :

“ Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir ; buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan kepada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya ketambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orangtua kehilangan anak, dengan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan hidup pas-pasan."

(Dan ini menjadi bukti bahwa sebagian besar perempuan, berprofesi dokter sekalipun tetap menganggap dirinya punya kelemahan dan kelebihan sekaligus menjadikannya beda dengan laki-laki, bukan untuk dibeda-bedakan apatah lagi disejajarkan dalam semua aspek sebagaimana isu gender yang begitu keras berhembus dan menampar wajah perempuan-perempuan Indonesia yang perlahan mulai kehilangan jati dirinya). Wallaahul musta’an....

@ IGD di sela obrolan ringan sembari membunuh waktu yang mulai merangkak menapaki angka jam 2 siang (20/05/11).... thanks all untuk inspirasi siang-nya.

Selengkapnya...

rin_iffah

Pembuluh darah adalah pipa yang membawa darah sepanjang tubuh dan meliputi arteri, vena dan kapiler. Diperkirakan terdapat lebih dari 97.000 kilometer pembuluh darah dalam tubuh anak kecil, dan sekitar 161.000 kilometer dalam tubuh orang dewasa. Keliling bumi di khatulistiwa adalah 40.000 kilometer. Jadi, jika direntangkan seluruhnya, pembuluh darah orang dewasa akan mengitari bumi sebanyak empat kali!!!


Sebagian besar pembuluh darah di dalam tubuh manusia merupakan pembuluh kapiler mikroskopik yang tebalnya sekitar seperseratus milimeter. Setetes darah berisi jutaan sel darah merah, dan pembuluh kapiler ini begitu kecil sehingga sel darah merah hanya bisa melewatinya satu demi satu. Sekitar 40 miliar kapiler membentuk bagian terbesar dari pembuluh darah orang dewasa.

Source: book ‘Why Is yawning Contagious’; Francesca Gould
Selengkapnya...

rin_iffah


Di keping mata uang perjuangan Islam, Muhajirin dan Anshar mencetak peran agung di masing-masing sisinya. Masing-masing sisi mata uang itu ditempa dengan palu godam kesulitan, kenestapaan, rasa sakit dan air mata, lalu dikilapkan dengan kerelaan dan cinta.

Terperangah kota Qadisiyah menyaksikan pasukan Muhajirin dan Anshar menyebrangi sungai yang membatasi mereka dengan kamp pasukan Persia. Bangsa Arab yang tak mengenal air ini menjadi begitu berani, saling bergandeng tangan, berangkulan membelah Eufrat yang deras.
Cerita belum usai, ada yang lebih membuat terperangah. Rombongan besar itu tiba-tiba berhenti di tengah arus yang ganas dan semuanya membungkuk meraba-raba dalam riak. “Kantong airku! Kantong airku jatuh!”, seru salah satu anggota pasukan kaum muslimin yang kantong airnya jatuh. Hal itu membuat puluhan ribu tangan seketika mengaduk-aduk Eufrat untuk mencarinya.

Panglima Persia dan pasukannya yang sedang dag dig dug menanti di seberang dengan pedang terhunus tercekat tenggorokannya. “Hanya karena sebuah kantong air semua pasukan mengaduk-aduk sungai raksasa? Lalu bagaiman kalau salah satu dari mereka terbunuh oleh kita?”, serunya.

Ya, mereka tak pernah akan mengerti tentang ukhuwwah sebelum merasainya. Jika pedang menebas salah satu dari pasukan muslimin, yang kena pedang tak akan berteriak karena ia hanya merasakan cubitan yang mengantarnya menuju keridhaan Rabbnya. Yang justru akan berteriak adalah saudara seiman yang ada di sampingnya! “aaah!”, melengking teriakannya, “....saudaraku, engkau mendahuluiku ke surga! Engkau mendahuluiku ke surga!”

Subhanallaah!!! Persaudaraan macam apa ini, yang membagi dua apa yang dimilikinya untuk saudara seimannya sebagaimana yang ditunjukkan Sa’d ibn Ar Rabi’ kepada saudara muhajirinnya Abdurrahman bin Auf “Saudaraku, sesungguhnya aku termasuk orang berharta di Madinah ini. Aku memiliki dua buah kebun yang luas. Di antara keduanya pilihlah yang kau suka, dan ambillah untukmu. Aku juga memiliki dua rumah yang nyaman, pilihlah mana yang kau suka, tinggallah di sana. Dan aku memiliki dua orang isteri yang cantik-cantik. Lihatlah dan pilihlah salah satu diantaranya, pasti akan kuceraikan lalu kunikahkan denganmu.”
Apa gerangan yang terjadi dengan persaudaraan ini, yang mengantarkan tiga mujahid menemui Robbnya di akhir kisah Yarmuk dalam keadaan tidak meminum seteguk pun air karena mengutamakan saudaranya yang lain.

Persaudaraan itu begitu indah, namun tentu tak lepas dari ujian. Salah satu kronik menegangkan antara Muhajirin dan Anshar adalah ketika tiba masa pengangkatan khalifah setelah Rasulullah. Orang-orang Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah menyepakati pengangkatan Sa’ad ibn ‘Ubadah, pemimpin anshar yang sedang terbaring demam menggigil di pojok balai.

Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah kemudian datang ke Saqifah. Dengan fasih Abu Bakar menenangkan Anshar yang sedang di bakar ghirah. “Kami (Muhajirin) adalah para amir, dan kalian (Anshar) adalah para Wazir... maka bai’atlah Umar atau orang kepercayaan ummat ini, Abu Ubaidah!”
Umar mengepalkan tangan dan gemeretak giginya karena malu, sedang Abu Ubaidah menunduk berkeringat dingin tak mampu mengangkat kepalanya. “justru engkau yang akan kami bai’at...” kata Umar kemudian sambil menggenggam sangan sahabatnya itu.

Satu saja yang melatari kronik bersejarah ini, motif tanggung jawab kelangsungan dakwah dan kepemimpinan kaum muslimin. Anshar, penghuni kota sebelum kedatangan Muhajirin layak untuk menanggung amanah itu, tapi keutamaan Muhajirin dalam tempaan dan manajemen lebih diperlukan bagi kemashlahatan. Subhanallaah, orang-orang mulia yang bersaudara ini bisa berselisih, tapi motifnya mulia, dan berakhir juga dengan kemuliaan.

“Orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di antara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka jannah yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar.” (at Taubah 100)

(Disadur dari Buku Saksikan bahwa aku seorang muslim; Dua Bendera, Salim A Fillah dengan beberapa tambahan dan perubahan)
Selengkapnya...

rin_iffah

New lesson today: that's everyoNe _whoever they are_ they could teach us something that we never think before.

Belajar bisa saja dilakukan kapanpun dimanapun dan kepada siapapun. Itulah yang aku alami hari ini. aku belajar tentang ketulusan menerima dari para mahasiswa yang dengan polosnya memanggilku ‘ibu’ (hiks... i’m not yet too old to called me ‘ibu’) padahal kepada mereka aku pastikan bahwa proses degenerasi adalah kondisi normal yang terjadi suatu saat nanti ketika Allah menakdirkan usia kita memasuki senja. Berubannya helai demi helai rambut, mengeriputnya wajah serta mulai membungkuknya punggung. Hanya ada dua pilihan, menerima kondisi tua atau silahkan mati muda. Bukan... bukan karena aku tak siap menjadi tua, tapi hanya ingin berbagi pinta untuk bisa lebih dekat dengan mereka tanpa ada pemisah, sehingga keikhlasan itu bisa mereka dapatkan dengan aliran ilmu yang semakin menancap kuat di pikiran dan tiap detail ruang hati mereka. (i hope they will know that, one day... may be)

Aku juga belajar kepada para mutarobbiyahku (they are my students also @ Poltekkes). Yang di penghujung dhuha tadi meneror-ku untuk segera mengisi tarbiyah di tengah kesibukan mengurus pasien di ruang perawatan (subhanallaah, semangat mereka tlah menyulutku untuk semakin berbuat untuk dien ini). Mutarobbiyahku yang selalu siap dengan serbuan pertanyaan di awal, pertengahan dan akhir jumpa. Dan hari ini, ketika aku sedang memberikan taujih, terdengar suara lain di luar majelis yang mengagetkanku dan tentunya mutarobbiyahku. Pertanyaan itu muncul dari seorang jama’ah sholat zuhur yang tanpa sengaja mencuri dengar perbincangan kami. “maaf, bagaimana kalo saya mengucapkan selamat siang kepada orang non muslim apakah dibolehkan, karena hampir separuh keluarga saya adalah non-muslim....” tanpa berdosa dan penuh antusias ia memotong penjelasanku tentang hadis 9 dalam kitabul Jamii. Diskusi pun mengalir begitu indah. Seorang wanita yang belum menutup auratnya dengan sempurna, yang tak sempat kutanyakan namanya ini telah mengajarkanku untuk tak sekedar menshalihkan diri. Karena di luar sana bahkan di lingkungan terdekat denganku, lingkungan kerjaku, masih banyak yang belum paham akan dien ini.

Dan baginya kudoakan agar ia mendapatkan kebaikan majelis sebagaimana yang telah diterangkan oleh Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallaam: “.... seorang malaikat berkata, “Robbi, di majelis itu ada orang yang bukan dari golongan mereka, hanya bertepatan ada keperluan maka ia datang ke majelis itu”. Allah berfirman, “Mereka adalah ahli majelis yang tidak akan kecewa siapapun yang duduk membersamainya!” (Muttafaaqun alaih, dari Abu Hurairah)

Akupun belajar kepada pasien-pasienku dan keluarganya. Belajar untuk tak mengeluh dengan berbagai rintihan penderitaan yang mereka alami. Dengan serbuan pertanyaan dari keluarga pasien tentang kondisi ayah, saudara, atau anak mereka yang terbaring lemah tak berdaya. Mereka adalah ujian kesabaran terbesar yang kumiliki. karena mereka dengan segenap ketidak tahuannya hanya mencoba mencari bantuan di saat rasa sakit itu tak mampu lagi mereka kendalikan.

Dan hari ini aku pun belajar sesuatu yang tak kuduga sebelumnya. Belajar untuk tak lagi mengakrabi sesuatu yang tak pantas untuk diakrabi. Belajar untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya.... kata-kata dari seorang bapak berbadan tegap yang meminta rujukan untuk keluarganya yang sementara dirawat di rumah sakit begitu mengejutkanku “senyumnya dokter manis ya.....” astaghfirullaah, maafkan aku calon suamiku (ups, jangan-jangan dia yang akan Allah takdirkan untuk ku_dimanapun ia berada saat ini_ juga sedang menikmati sesuatu yang bukan haknya)....... sampai di sini i’m speechless. Really....

Maka sudah sepantasnya kita selalu belajar, di tiap tarikan dan hembusan nafas, di sisa usia yang semakin menua.......

Selengkapnya...

rin_iffah


Apa jadinya jika para penggerak dakwah menjalankan kereta dakwah ini dengan keterpaksaan. Berat hatinya, lemah langkahnya. Amalan dipandangnya sebagai beban padahal diwaktu yang sama ia masih mengaku sebagai aktivis dakwah. Kepada mereka kita katakan, “bukankah dakwah tidak pernah memaksa anda untuk bergabung.”

Satu catatan besar penyebab dakwah tidak berkah, karena para pengususngnya beramal dengan terpaksa. Ini adalah perkara yang tidak pernah ada pembenarannya dalam usia panjang dakwah. Dahulu, bahkan seorang Abu Dzar al-Ghifari radhiyallaahu anhu memaksakan diri untuk beramal, meskipun ia tahu kelemahannya. Dengan segenap keberanian, dihampirinya pembesar Quraisy, diserukannya pernyataan keimanan. Satu pernyataan, satu amal, yang bahkan oleh orang-orang yang lebih kuat darinya tidak terfikir untuk dilakukan. Tidak cukup sampai disitu, ketika ia menderita akibat dampak amalnya, ia kembali melakukan hal yang sama. Meskipun untuk itu, ia kembali harus pingsan dan sekujur tubuhnya lebam berdarah. Dari situlah kita belajar tentang totalitas amal dan perjuangan, bahkan kemampuan yang terbatas tetap mampu menyumbang produktivitas dalam dakwah ketika amal tersebut dihampiri dengan segenap keikhlasan dan kebanggaan. Siar abu Dzar menanamkan kekhawatiran dalam hati pembesar musyrik, bahwa Islam semakin kuat dan mereka akan semakin tidak berdaya menghadapinya.

Realita dakwah masih menggambarkan kenyataan keterpaksaan aktivis dalam mengusung amal. Masih sering terdengar ungkapan-ungkapannya dalam interaksi dakwah. “afwan deh.... ada yang lain ga”, “yah... kok saya sih, terus yang lain ngapain dong”, “ ya udah deh... tapi ga jamin optimal ya....”

Banyak hal yang perlu dievaluasi dari sikap dan karakter aktivis seperti ini. Secara umum adalah kelemahan dalam memahami dakwah. Ini secara langsung menjadi indikator orientasi, ittijah yang belum benar. Ketika dakwah diusung masih untuk tujuan lain, maka sangat mungkin komitmen yang mengiringinya parsial. Komitmen amal masih sangat bergantung kepentingan dan tujuan lain. Semakin kecil kepentingan lain yang diharapkannya, semakin kecil komitmen amalnya.

Kader dakwah yang lemah akan mudah terjerat dan merasa wajar memiliki standar ganda dalam hal tujuan. “Bukankah hidup kita di dunia, maka wajarlah kiranya mencukupkan kehidupan dunia kita selain dakwah”. Demikian mereka berargumentasi. Mereka kemudian menimbang dan menakar amal untuk kepentingan baru tersebut. Semakin jauh dari pemenuhan kepentingannya, semakin sedikitlah semangatnya dalam beramal.

Rusaknya orientasi berdampak pada rusaknya amal yang lain. Hal pertama yang paling mendasar adalah rusaknya niat. Amal jadi berpamrih. Akibatnya pengorbanan yang banyak dalam beramal dibayar Allah dengan sia-sia. Seperti indahnya warna-warni balon, namun kosong dan tak berisi apa-apa.

Sisi lain dari keterpaksaan beramal adalah mengebiri potensi diri. Kader produktif menilai setiap amal baru yang dahadapinya adalah peluang meningkatkan kualitas dan standar profesionalitas dirinya. Untuk itu ia masuk ke dalam sebuah amal dengan segenap potensi yang dimilikinya. Cara berfikirnya adalah merancang target terbaik yang mungkin dihasilkannya. Ia segera merancang ragam alternatif yang dikuasainya untuk menyelesaikan amanah amal dakwah. Lalu kita melihat hasilnya sangat produktif.

Bandingkanlah dengan kader dakwah yang masuk ke dalam amal dengan keterpaksaan. Ia langsung membangun tembok penghalang antara kreatifitas dirinya dengan amal yang ditawarkan. Ia memandang amal sebagai beban. Terhadap beban, tentu saja setiap kita berfikir untuk menghindarinya. Jika cara seperti ini yang dimiliki, maka akankah amal tersebut diselesaikan dengan maksimal.

Bertahan dengan keterpaksaan dalam menyelesaikan amal, hanyalah mengijinkan erosi produktifitas berlangsung dalam diri kita. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka secara sadar kita mengijinkan diri kita menjadi tidak produktif.

Lebih jauh, Allah tidak akan memandang keluh kesahnya, Allah tidak akan memandang pengorbanannya, Allah juga tidak mengganjar prestasi amalnya. Kesat hatinya laksana api yang membakar tumpukan amal. Habis tak bersisa kecuali debu yang tak bernilai. Aktivis seperti ini dalam amal jama’i, adalah aktivis yang mengurangi bobot keberkahan dakwah. Ia datang dengan kelemahannya, kemudian menjalankan amal dengan keluh kesahnya serta menjadi sebab lemahnya barisan dakwah.

Perlulah kiranya kita serukan, jika kita termasuk bagian dari aktivis lemah ini, segeralah tetapkan pilihan. Hidup dan bahagialah dengan dakwah, atau silahkan menjauh dari dakwah. Karena, dakwah ini tidak akan pernah kekurangan pengusungnya.

Sesungguhnya kenikmatan bersama dakwah adalah karena kepastian jalannya dan kejelasan tujuannya. Dua hal inilah yang dikejar oleh manusia dengan membanting tulang dan menghabiskan usianya. Banyak orang yang tahu tujuan hidup tapi ragu dengan jalannya. Banyak orang yang berhadapan dengan jalan yang menurut mereka jalan kebaikan, tapi ragu dengan kebenaran tujuannya.

Lalu kita hari ini, insyaAllah berhadapan dengan jalan dan tujuan hidup yang baik. Lalu apakah yang membuat kita lemah dan menjadi tidak optimal. Ingatlah, sesungguhnya jalan dakwah juga merupakan bagian dari nikmat Allah. Terhadap nikmat kita hanya punya dua sikap; bahagia dan bersyukur atasnya, maka Allah limpahkan tambahannya. Atau kita kufur dengan nikmat tersebut, maka Allah cabut ia dari diri kita. Yang jelas bagi kita, para pengusung dakwah, cukuplah dakwah dan berkahnya sebagai kebahagiaan hidup ini. Tidak perlu lagi yang lainnya. Wallaahu a’lam.
Selengkapnya...