rin_iffah


Di keping mata uang perjuangan Islam, Muhajirin dan Anshar mencetak peran agung di masing-masing sisinya. Masing-masing sisi mata uang itu ditempa dengan palu godam kesulitan, kenestapaan, rasa sakit dan air mata, lalu dikilapkan dengan kerelaan dan cinta.

Terperangah kota Qadisiyah menyaksikan pasukan Muhajirin dan Anshar menyebrangi sungai yang membatasi mereka dengan kamp pasukan Persia. Bangsa Arab yang tak mengenal air ini menjadi begitu berani, saling bergandeng tangan, berangkulan membelah Eufrat yang deras.
Cerita belum usai, ada yang lebih membuat terperangah. Rombongan besar itu tiba-tiba berhenti di tengah arus yang ganas dan semuanya membungkuk meraba-raba dalam riak. “Kantong airku! Kantong airku jatuh!”, seru salah satu anggota pasukan kaum muslimin yang kantong airnya jatuh. Hal itu membuat puluhan ribu tangan seketika mengaduk-aduk Eufrat untuk mencarinya.

Panglima Persia dan pasukannya yang sedang dag dig dug menanti di seberang dengan pedang terhunus tercekat tenggorokannya. “Hanya karena sebuah kantong air semua pasukan mengaduk-aduk sungai raksasa? Lalu bagaiman kalau salah satu dari mereka terbunuh oleh kita?”, serunya.

Ya, mereka tak pernah akan mengerti tentang ukhuwwah sebelum merasainya. Jika pedang menebas salah satu dari pasukan muslimin, yang kena pedang tak akan berteriak karena ia hanya merasakan cubitan yang mengantarnya menuju keridhaan Rabbnya. Yang justru akan berteriak adalah saudara seiman yang ada di sampingnya! “aaah!”, melengking teriakannya, “....saudaraku, engkau mendahuluiku ke surga! Engkau mendahuluiku ke surga!”

Subhanallaah!!! Persaudaraan macam apa ini, yang membagi dua apa yang dimilikinya untuk saudara seimannya sebagaimana yang ditunjukkan Sa’d ibn Ar Rabi’ kepada saudara muhajirinnya Abdurrahman bin Auf “Saudaraku, sesungguhnya aku termasuk orang berharta di Madinah ini. Aku memiliki dua buah kebun yang luas. Di antara keduanya pilihlah yang kau suka, dan ambillah untukmu. Aku juga memiliki dua rumah yang nyaman, pilihlah mana yang kau suka, tinggallah di sana. Dan aku memiliki dua orang isteri yang cantik-cantik. Lihatlah dan pilihlah salah satu diantaranya, pasti akan kuceraikan lalu kunikahkan denganmu.”
Apa gerangan yang terjadi dengan persaudaraan ini, yang mengantarkan tiga mujahid menemui Robbnya di akhir kisah Yarmuk dalam keadaan tidak meminum seteguk pun air karena mengutamakan saudaranya yang lain.

Persaudaraan itu begitu indah, namun tentu tak lepas dari ujian. Salah satu kronik menegangkan antara Muhajirin dan Anshar adalah ketika tiba masa pengangkatan khalifah setelah Rasulullah. Orang-orang Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah menyepakati pengangkatan Sa’ad ibn ‘Ubadah, pemimpin anshar yang sedang terbaring demam menggigil di pojok balai.

Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah kemudian datang ke Saqifah. Dengan fasih Abu Bakar menenangkan Anshar yang sedang di bakar ghirah. “Kami (Muhajirin) adalah para amir, dan kalian (Anshar) adalah para Wazir... maka bai’atlah Umar atau orang kepercayaan ummat ini, Abu Ubaidah!”
Umar mengepalkan tangan dan gemeretak giginya karena malu, sedang Abu Ubaidah menunduk berkeringat dingin tak mampu mengangkat kepalanya. “justru engkau yang akan kami bai’at...” kata Umar kemudian sambil menggenggam sangan sahabatnya itu.

Satu saja yang melatari kronik bersejarah ini, motif tanggung jawab kelangsungan dakwah dan kepemimpinan kaum muslimin. Anshar, penghuni kota sebelum kedatangan Muhajirin layak untuk menanggung amanah itu, tapi keutamaan Muhajirin dalam tempaan dan manajemen lebih diperlukan bagi kemashlahatan. Subhanallaah, orang-orang mulia yang bersaudara ini bisa berselisih, tapi motifnya mulia, dan berakhir juga dengan kemuliaan.

“Orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di antara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka jannah yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar.” (at Taubah 100)

(Disadur dari Buku Saksikan bahwa aku seorang muslim; Dua Bendera, Salim A Fillah dengan beberapa tambahan dan perubahan)
Share

0 Responses

Posting Komentar