rin_iffah


Apa jadinya jika para penggerak dakwah menjalankan kereta dakwah ini dengan keterpaksaan. Berat hatinya, lemah langkahnya. Amalan dipandangnya sebagai beban padahal diwaktu yang sama ia masih mengaku sebagai aktivis dakwah. Kepada mereka kita katakan, “bukankah dakwah tidak pernah memaksa anda untuk bergabung.”

Satu catatan besar penyebab dakwah tidak berkah, karena para pengususngnya beramal dengan terpaksa. Ini adalah perkara yang tidak pernah ada pembenarannya dalam usia panjang dakwah. Dahulu, bahkan seorang Abu Dzar al-Ghifari radhiyallaahu anhu memaksakan diri untuk beramal, meskipun ia tahu kelemahannya. Dengan segenap keberanian, dihampirinya pembesar Quraisy, diserukannya pernyataan keimanan. Satu pernyataan, satu amal, yang bahkan oleh orang-orang yang lebih kuat darinya tidak terfikir untuk dilakukan. Tidak cukup sampai disitu, ketika ia menderita akibat dampak amalnya, ia kembali melakukan hal yang sama. Meskipun untuk itu, ia kembali harus pingsan dan sekujur tubuhnya lebam berdarah. Dari situlah kita belajar tentang totalitas amal dan perjuangan, bahkan kemampuan yang terbatas tetap mampu menyumbang produktivitas dalam dakwah ketika amal tersebut dihampiri dengan segenap keikhlasan dan kebanggaan. Siar abu Dzar menanamkan kekhawatiran dalam hati pembesar musyrik, bahwa Islam semakin kuat dan mereka akan semakin tidak berdaya menghadapinya.

Realita dakwah masih menggambarkan kenyataan keterpaksaan aktivis dalam mengusung amal. Masih sering terdengar ungkapan-ungkapannya dalam interaksi dakwah. “afwan deh.... ada yang lain ga”, “yah... kok saya sih, terus yang lain ngapain dong”, “ ya udah deh... tapi ga jamin optimal ya....”

Banyak hal yang perlu dievaluasi dari sikap dan karakter aktivis seperti ini. Secara umum adalah kelemahan dalam memahami dakwah. Ini secara langsung menjadi indikator orientasi, ittijah yang belum benar. Ketika dakwah diusung masih untuk tujuan lain, maka sangat mungkin komitmen yang mengiringinya parsial. Komitmen amal masih sangat bergantung kepentingan dan tujuan lain. Semakin kecil kepentingan lain yang diharapkannya, semakin kecil komitmen amalnya.

Kader dakwah yang lemah akan mudah terjerat dan merasa wajar memiliki standar ganda dalam hal tujuan. “Bukankah hidup kita di dunia, maka wajarlah kiranya mencukupkan kehidupan dunia kita selain dakwah”. Demikian mereka berargumentasi. Mereka kemudian menimbang dan menakar amal untuk kepentingan baru tersebut. Semakin jauh dari pemenuhan kepentingannya, semakin sedikitlah semangatnya dalam beramal.

Rusaknya orientasi berdampak pada rusaknya amal yang lain. Hal pertama yang paling mendasar adalah rusaknya niat. Amal jadi berpamrih. Akibatnya pengorbanan yang banyak dalam beramal dibayar Allah dengan sia-sia. Seperti indahnya warna-warni balon, namun kosong dan tak berisi apa-apa.

Sisi lain dari keterpaksaan beramal adalah mengebiri potensi diri. Kader produktif menilai setiap amal baru yang dahadapinya adalah peluang meningkatkan kualitas dan standar profesionalitas dirinya. Untuk itu ia masuk ke dalam sebuah amal dengan segenap potensi yang dimilikinya. Cara berfikirnya adalah merancang target terbaik yang mungkin dihasilkannya. Ia segera merancang ragam alternatif yang dikuasainya untuk menyelesaikan amanah amal dakwah. Lalu kita melihat hasilnya sangat produktif.

Bandingkanlah dengan kader dakwah yang masuk ke dalam amal dengan keterpaksaan. Ia langsung membangun tembok penghalang antara kreatifitas dirinya dengan amal yang ditawarkan. Ia memandang amal sebagai beban. Terhadap beban, tentu saja setiap kita berfikir untuk menghindarinya. Jika cara seperti ini yang dimiliki, maka akankah amal tersebut diselesaikan dengan maksimal.

Bertahan dengan keterpaksaan dalam menyelesaikan amal, hanyalah mengijinkan erosi produktifitas berlangsung dalam diri kita. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka secara sadar kita mengijinkan diri kita menjadi tidak produktif.

Lebih jauh, Allah tidak akan memandang keluh kesahnya, Allah tidak akan memandang pengorbanannya, Allah juga tidak mengganjar prestasi amalnya. Kesat hatinya laksana api yang membakar tumpukan amal. Habis tak bersisa kecuali debu yang tak bernilai. Aktivis seperti ini dalam amal jama’i, adalah aktivis yang mengurangi bobot keberkahan dakwah. Ia datang dengan kelemahannya, kemudian menjalankan amal dengan keluh kesahnya serta menjadi sebab lemahnya barisan dakwah.

Perlulah kiranya kita serukan, jika kita termasuk bagian dari aktivis lemah ini, segeralah tetapkan pilihan. Hidup dan bahagialah dengan dakwah, atau silahkan menjauh dari dakwah. Karena, dakwah ini tidak akan pernah kekurangan pengusungnya.

Sesungguhnya kenikmatan bersama dakwah adalah karena kepastian jalannya dan kejelasan tujuannya. Dua hal inilah yang dikejar oleh manusia dengan membanting tulang dan menghabiskan usianya. Banyak orang yang tahu tujuan hidup tapi ragu dengan jalannya. Banyak orang yang berhadapan dengan jalan yang menurut mereka jalan kebaikan, tapi ragu dengan kebenaran tujuannya.

Lalu kita hari ini, insyaAllah berhadapan dengan jalan dan tujuan hidup yang baik. Lalu apakah yang membuat kita lemah dan menjadi tidak optimal. Ingatlah, sesungguhnya jalan dakwah juga merupakan bagian dari nikmat Allah. Terhadap nikmat kita hanya punya dua sikap; bahagia dan bersyukur atasnya, maka Allah limpahkan tambahannya. Atau kita kufur dengan nikmat tersebut, maka Allah cabut ia dari diri kita. Yang jelas bagi kita, para pengusung dakwah, cukuplah dakwah dan berkahnya sebagai kebahagiaan hidup ini. Tidak perlu lagi yang lainnya. Wallaahu a’lam.
Share

0 Responses

Posting Komentar