rin_iffah

“Dok pasien Tn S. yang di bed 4 tiba-tiba drop” lapor seorang perawat terburu-buru. Segera saya hentikan menulis beberapa status pasien baru dan menghampiri pasien dimaksud. Sudah banyak orang yang berkerumun. Hanya sebagian kecil anggota keluarga pasien sisanya pembesuk pasien lain yang masih tertahan di UGD. Saya coba memanggil nama pasien sambil memberikan sedikit rangsang nyeri, namun tak ada reaksi. Nadinya teraba lemah dan dalam, Tekanan darah sulit dievaluasi kecuali dengan perabaan. Sementara Infus belum berhasil terpasang. Saya langsung menginstruksikan kepada salah seorang perawat senior untuk mencoba mencari jalur intravena agar akses cairan bisa segera masuk. Dengan cekatan perawat tersebut menusukkan jarum infus ke lengan bawah pasien dan sruuut, kurang dari 30 detik infus berhasil terpasang. “Guyur dulu cairannya, sementara pasang monitor EKG, siapkan alat bagging dan adrenalin” “baik dok” ujar beberapa perawat yang membantu saya melakukan penangan pada pasien ini. Sementara di bed 3 seorang pasien yang lain berteriak-teriak kesakitan. “Dok, pasien di bed 3 sesak” teriak perawat yang sementara mengobservasi pasien yang lain. “Pasang dulu oksigen 3 liter” instruksi saya tanpa sedikitpun mengalihkan perhatian dari pasien bed 4 “Maaf dok ada pasien baru dengan luka tusuk di bahu, pasien inpartu dan pasien anak dok” beruntun yang lainnya melapor. Saya melirik sejenak ke jam dinding. Jam 20.45. lima menit lagi harusnya saya sudah bersiap untuk pulang. Tapi dokter jaga untuk shift malam belum tiba. Kenapa rame-nya pas di saat jelang pergantian jaga. Saya tersadar dari lamunan dan buru-buru berujar “Kalo pasiennya stabil pasang infus dulu. Bentar saya liat.” 

Di bed 4 kesibukan masih berlangsung. Lima menit berlalu, namun belum ada respon dari pasien yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Layar monitor EKG menunjukkan garis lurus asistole, pasien mengalami henti jantung. “Siap RJP!” saya berbisik pelan kepada perawat yang berada tepat di samping. Dengan sigap seorang perawat wanita mengambil tempat di sisi kiri pasien dan langsung melakukan pijat jantung luar. Sementara yang lainnya memberikan napas buatan lewat bagging. Bergantian kami melakukan pijat jantung. Sepuluh menit, limabelas menit belum ada respon. Dan tiba-tiba layar monitor berubah menjadi Ventrikel Fibrilasi. “Siapkan DC Shock!” Di sekeliling semakin banyak orang yang menyaksikan apa yang sedang berlangsung, antara debar penasaran dan cemas akan keselamatan pasien ini. “Maaf pak, ibu tolong di luar dulu, biarkan kami bekerja dengan leluasa menangani pasien ini” ujar seorang perawat membuyarkan kerumunan orang-orang yang ada. Hampir saja saya lupa untuk menjelaskan ke keluarga pasien tentang apa yang terjadi. Sementara perawat melanjutkan tindakan saya mencoba untuk menjelaskan secara singkat dan jelas tentang kondisi pasien serta tindakan yang sedang kami lakukan. Keluarga pun telah pasrah dan menyerahkan semuanya sama Allah dan juga ikhtiar kami. Saya kembali untuk melakukan DC shock. Namun tak ada perkembangan yang berarti. Layar monitor kembali menunjukkan garis lurus asistole. Tanpa patah semangat pijat jantung tetap dilakukan. Melihat petugas yang sudah kehabisan tenaga, saya pun bertanya. “Sudah berapa lama sejak RJP dilakukan?” “kira-kira 45 menit dok” “Stop dulu dan evaluasi Nadi carotis." Perintah saya untuk mengehentikan tindakan “Negatif dok” saya pun memastikan dengan meraba arteri carotis pasien serta memeriksa pupil. Midriasis total, refleks cahaya negatif. Bagian tersulit dari hidup saya salah satunya adalah saat ini. Saat dimana saya harus menyampaikan kabar buruk seperti ini pada keluarga pasien. “Innalillaahi wa innailaihi raajiuun, waktu kematian pukul 21.35 WIT” Lirih saya pelan tak berharap yang lain mendengar apa yang saya ucapkan. Semua tertunduk lemas, saya melempar pandangan sejenak kepada keluarga pasien yang berdiri tak jauh dari tempat kami, hanya terdengar desahan. Tampak jelas isak yang tertahan. Pasien kedua yang harus saya saksikan meninggal di depan mata hari ini.

Satu jam sebelumnya. Seorang bapak datang mencari dokter jaga “ Maaf dok, saya mau konsultasi, bapak saya di rumah sudah terpasang kateter selama sepekan karena susah kencing, dan hari ini harusnya sudah dilepas tapi karena hari libur jadi saya ke UGD sekalian bertanya apakah bisa dilepas di UGD karena beliau merasa kesakitan. Biar nanti dikasih obat buat rawat jalan saja. Kontrolnya sekalian besok di poliklinik” Bapak itu mencoba menjelaskan dengan hati-hati “Ya udah, dibawa dulu pasiennya ke sini biar saya liat kondisinya yah” jelas saya singkat “Baik dok, terimakasih” bapak itu kemudian pamit pulang untuk menjemput pasien yang dimaksud. Setengah jam kemudian seorang bapak tua berusia sekitar 60 tahun dengan kateter yang masih terpasang datang ke UGD di antar keluarganya yang sebelumnya sudah konsultasi ke saya. Sepintas pasien ini kelihatan biasa-biasa saja. Tidak ada indikasi untuk rawat inap. Saya mendekat dan mulai bertanya “Maaf pak, gimana kabarnya” “baik dok” ujar bapak paruh baya ini dengan senyum lebar. “Ada keluhan lain selain sakit di tempat yang terpasang kateter?” lanjut saya bertanya “Tidak dok, Cuma tadi sempat menggigil kedinginan” jawabnya masih dengan senyuman. Tapi ada yang aneh yang sempat saya tangkap dari pasien ini (insting seorang dokter). Bicaranya sedikit terbata dengan nafas yang agak cepat. “Bapak ada riwayat Darah tinggi atau sakit gula?” sambil melakukan pemeriksaan fisik saya lanjut bertanya. “Hanya Hipertensi ringan, tapi pernah sebelumnya diperiksa dan kata dokter ada sedikit gangguan di jantung” Nah ini dia, pandangan saya terhenti pada kedua tungkai pasien; bengkak. Keluarga yang melihat mata saya tertuju kea rah tungkai buru-buru menyela. “kakinya bengkak semenjak di pasang kateter dok, mungkin karena pengaruh kateter” “Sepertinya tidak ada hubungan bu antara pasang kateter dengan bengkak di kaki” ujar saya meyakinkan. “Kemungkinan ini karena pengaruh gangguan jantung yang sempat diceritakan bapak tadi. Kondisi bapak juga kurang stabil karena agak sesak. Saran saya sebaiknya jangan dulu buru-buru dibawa pulang. Di opname saja dulu satu dua hari sambil melihat perkembangannya. Ada obat yang akan saya kasih untuk menurunkan tekanan darah sekaligus bengkak di kaki tapi efek sampingnya akan bikin bapak sering kencing. Jadi sebaiknya kateter ini jangan dulu dilepas. Kasihan juga bapak jika harus bolak balik kamar mandi dengan kondisi seperti ini. Kami juga akan melakukan pemeriksaan rekam jantung untuk memastikan kalo jantungnya baik-baik saja, jika bapak merasa sesaknya bertambah kami akan kasih bantuan oksigen” jelas saya panjang lebar. Dari raut wajahnya keluarga ni pasien keliatannya kurang setuju jika harus dirawat inap. Pikirnya mungkin keluhannnya hanya nyeri karena terpasang kateter tapi kok malah harus dirawat inap. Kesannya tidak nyambung. “Kalo bisa dikasih obat buat di rumah saja dok, biar dilepas saja kateternya. Bapak kelihatan baik-baik saja kok” Seorang keluarga pasien mencoba meyakinkan. “Saya tidak masalah pak, tapi saya sangat anjurkan untuk dirawat dulu. Karena keluhan sebenarnya bukan pada kateternya tapi sesaknya. Apalagi tadi bapak sudah mengeluh merasa kedinginan walopun hanya sesaat. Semua terserah pada keluarga.” Beberapa saat mereka terdiam dan saling berbisik pelan “Kami terserah dokter saja, kalo menurut dokter harus dirawat saya setuju.” Ujar seorang ibu yang ternyata anak kandung dari pasien. “Baik bu, kalo gitu saya buatkan resep dulu buat dipasang infus sambil menunggu hasil rekam jantungnya.” Saya pun mengakhiri debat kecil dengan keluarga pasien ini.

Dua jam kemudian, saya dan beberapa perawat yang baru saja mencoba memberikan pertolongan pada pasien di bed 4 terduduk lemas. Kami hanya bisa saling memandang dengan berbagai pertanyaan di benak yang sulit terlisankan. “Kok bisa ya dok, padahal bapaknya tadi kelihatan sehat dan kuat. Datang ke sini juga bukan karena keluhan apa-apa hanya mo lepas kateter” ujar seorang perawat wanita memecah kebisuan sesaat di ruang jaga. “Iya dok, saya khawatir jangan sampe keluarga pasien menyalahkan kita karena ngotot mau merawat pasien itu. Bisa-bisa gagal pasang infus dianggap sebagai penyebab kematian” imbuh yang lain. “Ini yang dinamakan Sudden Death, kematian tiba-tiba akibat serangan jantung pada pasien dengan riwayat keluhan jantung sebelumnya. Andaikan kita sempat merekam jantungnya sebelum berhenti mungkin kita bisa tahu detil penyebab kematiannya. Apa yang sudah kita lakukan tadi tidak ada yang keliru. Semuanya sudah sesuai prosedur penanganan pasien emergensi” Saya mencoba menghibur mereka, yang sebenarnya ditujukan buat diri sendiri. Bagaimanapun kematian tiba-tiba seperti ini selalu menyisakan tanya dan sesal di dada atas ketidakmampuan menyelamtkan nyawa pasien. “Hmmp.. sebenarnya Kateter yang mau dilepas hanya salah satu sebab pasien ini masuk ke UGD biar kita bisa mengambil pelajaran dari kematiannya. Seseorang yang awalnya kelihatan sehat tak ada yang menduga pada detik, menit atau jam berikutnya terbujur kaku tak bernyawa. Persis kayak pasien pertama yang meninggal tadi. Usianya terbilang masih belia, baru 20 tahun. Usia yang bagi kita masih punya banyak waktu untuk hidup. Bisa jadi kemarin dia masih tertawa bahagia bersama keluarga merayakan Idul adha, tapi siapa sangka hari ini dengan sebab kecelakaan motor, Ia harus mendahului orang-orang yang usianya jauh lebih tua darinya. Kematian senantiasa mengintai tiap yang bernyawa, siap atau tidak” Lanjut saya. “Oke, sudah waktunya untuk pulang. Nanti kalo dipersoalkan di pihak berwajib kita ke persidangan rame-rame ya!” Tutup saya setengah bercanda memecah keheningan yang sempat timbul. Belum lagi saya mengangkat kaki beranjak, tiba-tiba seorang perempuan paruh baya menghampiri kami dengan raut wajah yang kurang bersahabat “kenapa tidak ada dokter yang melihat anak saya, dari tadi kami menunggu tapi tidak diberikan penanganan apa-apa” teriak ibu ini sambil menatap tajam ke arah kami. Wah pasien yang mana lagi ini?? Sambil mengingat-ngingat pasien yang telah saya tangani. Bakalan panjang urusannya nih kalo diladenin. Belum lagi saya bersuara, tiba-tiba ada suara lain yang memotong “Maaf bu, pasiennya udah saya periksa dan saya juga udah buatin resep, tapi dari tadi saya mencari-cari keluarga pasien yang bertanggung jawab buat menebus obat tapi tidak ada siapa-siapa, ibu ga bisa donk langsung marah-marah kayak gitu, apalagi ibu bisa lihat sendiri gimana kondisi UGD sekarang. Ada beberapa pasien gawat yang harus kami tangani, jadi tolong pengertiannya.” Syukurlah, saya terselamatkan. Ternyata dokter opie (yang terkenal super cuek dan blak-blakan) yang malam itu bertugas jaga sudah ada dari tadi dan sudah menangani beberapa pasien baru yang masuknya berbarengan dengan pasien gawat yang sementara saya tangani. Ada pelajaran penting juga dari kejadian barusan, bahwa pasien beserta keluarganya selalu ingin dipahami, mereka tak pernah mau tahu, tak pernah peduli seberapa sibuknya seorang dokter atau perawat, seberapa cape’nya, sebanyak apa masalah pribadinya. Maka memberikan pelayanan sebaik dan semaksimal mungkin harus diprioritaskan.

Di perjalanan pulang ke rumah, wajah dua pasien yang meninggal tadi kembali terlintas. Bagaimana mereka melewati detik-detik sekarat di depan mata. Berbagai gejolak rasa menyesak dada. Rabb, Ampuni mereka, Rahmati dan Maafkan khilaf yang pernah mereka perbuat. Sungguh kami pun sedang berjalan menuju ke sana, berjalan menuju detik-detik kami harus mengehentikan semua ambisi dunia. Semoga saat tiba di detik itu, kami pun siap menghadapinya.
Selengkapnya...

rin_iffah

Hari gini masih ada yang belum tahu apa Golongan darahnya? Seharusnya sudah tidak ada lagi. Apalagi bagi mereka yang sering melakukan donor darah. Pemeriksaan golongan darah penting saat kita ingin mendonorkan darah atau menerima darah dari orang lain ketika membutuhkan. Saat ini kita mengenal empat golongan darah; Tipe O, A, B dan AB. Masing-masing golongan punya dua jenis Rhesus, Rh+ dan Rh-. Penentuan darah ke dalam empat golongan ini didasarkan atas ada tidaknya antigen pada sel darah merah seseorang. Sedangkan penentuan darah ke dalam dua jenis Rhesus (+/-), berdasarkan ada tidaknya antigen-D pada sel darah merah. Golongan darah A hanya memiliki antigen A pada sel darah merah mereka. Golongan darah B hanya memiliki antigen-B pada sel darah mereka. Sedangkan Golongan darah AB memiliki antigen –A sekaligus antigen-B pada sel darah merah. Golongan darah O tidak memiliki antigen-A dan B pada sel darah merah, maka itu golongan ini sering juga disebut tipe 0 (nol). Mereka yang tidak memiliki antigen-D pada sel darah merahnya disebut Rhesus Negatif (Rh-), sedangkan yang memiliki disebut Rh+. Banyak yang bertanya apakah golongan darah seseorang bisa berubah? Jawabannya tidak bisa karena golongan darah ini terbentuk secara genetik semasa kita masih dalam rahim bunda.

Tujuan awal dan utama pengelompokkan darah ke dalam beberapa golongan adalah masalah kompatibilitas, kecocokan. Adakalanya kita butuh transfusi darah dari orang lain, pengelompokkan tadilah yang menentukan suatu transfusi dapat dilakukan atau tidak. Saat ini banyak penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki hubungan antara golongan darah dengan kesehatan kepribadian. Beberapa penelitian yang dilakukan saat ini mencari efek atau manfaat lain dari pengelompokkan golongan darah selain manfaat transfusi tadi. Dr. Peter D’Adamo meneliti korelasi antara golongan darah seseorang dengan kesehatan dan makanan, sehingga lahir teori diet golongan darah. Dengan meneliti kemampuan mengikat zat nutrisi dari masing-masing tipe darah, ditentukan makanan atau minuman apa saja yang berefek baik atau buruk. Peter d’Adamo meneliti hubungan antara nutrisi (diet) berdasarkan golongan darah sedangkan Furukawa T dan Masahiko Nomi meneliti kepribadian. Dari penelitian Furukawa Takeji dan Masahiko Nomi ingin diketahui sejauh mana korelasi antara golongan darah dengan kepribadian. Hasil penelitian mereka begitu popular di Jepang dan Korea. Sampai-sampai urusan pekerjaan, bahkan jodohpun dipengaruhi golongan darah.

Benar ataukah tidak? Berikut penjelasan tentang golongan darah tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jepang. Golongan darah A: terorganisasi, konsisten, jiwa kerja-sama tinggi, tapi selalu cemas (karena perfeksionis). Golongan darah B: santai, easy going, bebas, dan paling menikmati hidup. Golongan darah O: berjiwa besar, supel, tidak mau mengalah, alergi pada yang detail. Golongan darah AB: unik, suka hal aneh, banyak akal, berkepribadian ganda. Seseorang yang mempunyai golongan darah A karakternya perfeksionis, orang dengan golongan darah B cenderung mempunyai sifat individualis, golongan darah O berbakat memimpin, sedangkan pemilik golongan darah AB cenderung berkarakter rasional. Menurut penelitian di Jepang, tidak semua golongan darah bisa bekerja sama baiknya untuk semua bidang. Begitu juga golongan darah tertentu, tidak akan sebaik golongan darah lainnya bila bekerja di bidang tertentu. Ada orang dengan golongan darah tertentu menjadikannya jago bicara, bisa bekerja sama, dan sebagainya. "Beberapa perusahaan di Jepang memasukkan golongan darah tertentu sebagai syarat untuk melamar sebuah lowongan pekerjaan", ungkap Furukawa. Misalnya, pemilik golongan darah A adalah sekretaris, bagian administrasi, atau akuntan yang membutuhkan ketelitian, detail kecil, dan keteraturan. Pemilik golongan darah B cocok menjadi ilmuwan, seniman, atau petualang yang sesuai karakternya, yaitu individualis, pemikir, dan mencintai kebebasan. Untuk golongan darah O cocok di posisi pemimpin, pada umumnya, tentara, karena karakternya yang ambisius, terbuka dan kuat. Sedangkan untuk golongan darah AB sangat unik karena mempunyai gabungan tipe darah A dan B, seperti memiliki dua kepribadian. Pemilik golongan darah AB cocok menjadi penulis atau teknisi karena mempunyai juga karakter kritis, kreatif, sensitif, dan bisa mengerjakan banyak hal, tetapi cenderung pemilik golongan darah ini lebih tertutup daripada pemilik golongan darah lain.

Selain masalah pekerjaan, urusan jodoh pun sering dilihat dari golongan darah yang dimiliki. Pria dengan golongan darah B enggan dijadikan jodoh bagi perempuan karena karakternya yang individualis dan tidak mau terikat karena menyenangi kebebasan. Demikian juga dengan perempuan bergolongan darah AB enggan dipilih pria karena sikapnya yang berubah-ubah. Apa jadinya yah kalo pria dengan golongan darah B menikah dengan perempuan ber golongan darah AB di Jepang? Padahal yang harus diperhatikan mengenai golongan darah dalam memilih pasangan hidup lebih ditekankan pada rhesus dari tiap golongan darah. Wanita dengan rhesus negatif (Rh-) sangat dianjurkan menikah dengan pria dengan rhesus negatif pula. Ini dilakukan demi mencegah terjadi hemolytic disease newborn pada bayi jika wanita rhesus negatif menikah dengan pria rhesus positif (Rh+). Jika ibu (sang wanita) memiliki rhesus negatif sedangkan sang janin bayi ternyata rhesus positif, maka timbul suatu masalah. Tubuh ibu akan bereaksi alamiah merangsang sel darah merah yaitu zat antibody/antirhesus untuk melindungi diri dari benda asing. Siapa benda asing itu? Tidak lain adalah janin yang dikandungnya sendiri. Fenomena inilah yang memunculkan antirhesus, dengan penghancuran sel darah merah, atau dikenal dengan hemolytic. Salah satu dampak buruk akibat dari fenomena ini adalah kematian janin dalam rahim. Atau jika bayi terlahir hidup, ia akan memiliki hati bengkak, anemia, kuning (jaundice) atau gagal jantung.

Dari sisi psikologi, kepribadian atau karakter seseorang tentunya tidak mutlak seratus persen ditentukan oleh apa golongan darahnya. Banyak faktor lain yang turut berperan atas pembentukan kepribadian di luar apa golongan darah mereka, baik faktor internal maupun eksternal. Adapun kepribadian berdasarkan golongan darah ini kebanyakan sebatas kecenderungan saja. Wallahu a'lam

Dari berbagai sumber
Selengkapnya...

rin_iffah

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” [Silsilah Shahihah, no. 1802] 

IGD siang itu cukup lengang. Tak banyak pasien yang datang meminta pertolongan atas rasa sakit yang mereka derita. Saya hari itu mendapat ‘jatah’ jaga IGD mulai dari jam dua siang hingga jam sembilan malam. Karena keterbatasan jumlah dokter umum di rumah sakit, tiap shift jaga hanya digawangi oleh satu dokter dan tiga perawat, termasuk seorang bidan untuk menangani kasus persalinan normal yang tidak memungkinkan jika harus dipindahkan ke ruangan kebidanan. Untuk sebuah rumah sakit daerah yang menjadi pusat rujukan dengan jumlah kunjungan rata-rata per-hari 50-60 pasien, tentu jumlah petugas kesehatan tidaklah mencukupi. Meskipun demikian, kami tetap berusaha berbuat semampu daya demi kesembuhan pasien yang kami rawat. Namun ada hal yang perlu dicatat, bahwa seberapapun hebatnya kita dalam menangani pasien, seberapa banyaknya pengalaman kita dalam memberikan pengobatan. Yang menyembuhkan, yang memegang kendali nyawa seseorang hanyalah Allah. Sebagaimana yang saya alami hari itu.

Jelang sore, dua pasien beruntun masuk ke IGD. Setelah dianamnesis oleh perawat, saya kemudian mencoba menggali informasi tentang kedua pasien baru ini. Keduanya datang dalam kondisi tidak sadar. Yang satunya dengan tekanan darah yang sangat tinggi yang saya simpulkan sementara mengalami penurunan kesadaran akibat stroke hemorargik (tidak sadar akibat pecahnya pembuluh darah di otak). Sedang yang lainnya, setelah melakukan pemeriksaan kadar Gula Darah , didapati kadar GDSnya hanya 62 gr/dl jauh di bawah batas normal untuk seorang penderita diabetes. Maka penurunan kesadarannya itu bisa jadi karena intake gula yang minim dan kami sebut sebagai kondisi hipoglikemia. Saya pun mencoba memberikan penanganan sesuai prosedur standar kasus-kasus dimaksud. Pada keluarga pasien saya pastikan bahwa pada kebanyakan kasus pasien diabetes dengan kadar gula yang rendah, pemberian terapi Dekstrose 40% melalui intravena akan segera memperbaiki keadaan pasien dan biasanya kadar gula darahnya bisa segera kembali normal dalam waktu 15 menit sampai 30 menit, dan pasien akan kembali sadar. Mendengar penjelasan saya tersebut, keluarga si pasien akhirnya tenang. Setengah jam kemudian, saya meminta perawat jaga untuk kembali memeriksa kadar gula darah pasien tadi. Dan betapa kagetnya saya ketika mendapati hasil kadar gula darahnya meningkat tajam. Hasil yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya yaitu 483 gr/dl. Jauh dari prediksi yang seharusnya terjadi. Keadaan yang membuat pasien ini justru ‘tertidur’ semakin dalam. Padahal saya sangat yakin dengan terapi yang saya berikan. Tidak mungkin saya sampai bisa melakukan kesalahan pada kasus seperti ini. Saya kemudian  mencari penyebab lainnya, mungkinkah terjadi sepsis (infeksi sistemik melalui pembuluh darah) pada pasien ini, atau adakah penyakit lain yang memperberat kondisinya. Hasil laboratorium, pemeriksaan rekam jantung serta pemeriksaan penunjang lainnya coba saya teliti dan saya tidak mendapatkan penyebab lain selain penurunan kesadaran akibat kadar gula darah yang rendah (koma hipoglikemik) yang berubah statusnya menjadi penurunan kesadaran akibat kadar gula darah yang meningkat tinggi (koma hiperglikemik) karena terapi yang saya berikan??

Setelah kondisi agak tenang, saya mencoba kembali menilai kesalahan apa yang telah saya perbuat sehingga pasien ini tak mampu saya tolong. Ah Itu dia.... saya tersentak. Tersadar bahwa ada sebuah kesalahan (yang menurut saya cukup) fatal yang tanpa sengaja telah saya lakukan kepada pasien. Ini tentang sebuah rasa. Rasa yang membengkakkan hati tersebab merasa mampu dan mumpuni menolong pasien ini dengan mudah. Saya dengan begitu percaya diri (berpijak pada pengalaman menangani puluhan kasus serupa yang telah berhasil) memastikan kepada keluarga pasien bahwa setelah mendapatkan obat yang saya resepkan, maka pasien akan segera sadar kembali. Yang ada dibenak maupun hati saya saat itu bukan lagi mengandalkan pertolongan Allah sebagai satu-satunya penyembuh, tapi mengandalkan kemampuan saya sebagai seorang dokter (Astaghfirullah). Rasa itu, meskipun sepintas ternyata telah ‘mencederai’ pasien yang saya tangani.

Maka hari itu, saya merasa seperti di’tampar’ oleh pasien. Tamparan yang tak sekedar meninggalkan bekas memerah di pipi, tapi menusuk tajam, melukai hati. Duuh, saya telah menyandarkan hidup-mati yang merupakan hak Allah ke atas pundak saya selaku makhluk yang lemah. Saya pandangi lekat-lekat pasien yang masih terbaring tak sadarkan diri, kemudian saya alihkan pandangan kepada keluarga pasien ini yang dengan wajah cemas menanti orang yang mereka sayangi memberikan sinyal perbaikan walau hanya melalui erangan. Tapi ia masih saja tertidur... ada rasa sesal di hati atas kelalaian ini. Semoga saja, sesal ini bisa meninggalkan jejak perbaikan niat di tiap amal. Agar tak terselip ujub, agar kian tawadhu, agar amal tak menjadi debu... habis tak bersisa.

Kamar Jaga IGD, 5 Syawwal 1433 H *Kembali meraba hati*
Selengkapnya...

rin_iffah

Ada rindu di tiap pagi menyapa
Rindu hangat mentarinya, rindu sejuk embunnya 
Rindu dua raka’at pelempang rezki , pengawal hari 
Ada rindu di gerimis membasuh... 
Rindu tiap tetesnya, rindu aroma hidup yang menyertainya 
Rindu do’a mustajab di rintik derasnya 
Ada rindu di terik memanggang 
Rindu langit membiru, rindu arakan awan memutih 
Rindu rehat di termin pertama penghambaan, rindu lapar dahaga di puncak taat berpuasa 
Ada rindu di senja menghampiri 
Rindu lembayung jingganya, rindu lantunan zikir alamnya 
Rindu merdu suara muadzin tuk kembali menghamba padaNya 
Ada rindu di gelap yang menyelimut malam 
Rindu dinginnya, rindu bersepi, bermesra, mengadu, mengeluh padaNya 
Rindu seberkas cahaya fajar yang menanti di penghujung malam

Ada rindu untuk saudari seiman, 
Rindu suara, senyum manis, tawa renyah, marah, gelisah, semangat jihadnya 
Rindu menangis bersama di pinta paling tulus serta harapan paling tinggi untuk dienNya, 
rindu ukhuwah fillaah 
Ada rindu di titik terlemah kala asa tak bersambut nyata 
Rindu mendekap pahala juga janji surga atas ikhlas yang mengalahkan hawa 
Ada rindu di tepian sabar dan penantian tak berujung 
Rindu lelahnya, rindu ujian serta prasangkaan yang terselip di antaranya 
Rindu menghias diri, menempa jiwa untuk masa yang telah pasti adanya 

Di atas semuanya... Ada rindu yang kian membuncah, menyesak dada, 
mengalir bening yang tak kunjung reda 
Rindu berjumpa denganNya, rindu menatap wajahNya 
Rindu membersamai para perindu di firdausNya 



*Kutitip rindu ini untuk-mu lewat Sang Pemilik Rindu, semoga selalu dalam penjagaanNya*
Selengkapnya...

rin_iffah

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (At Tahriim 6) 

Ayat ini begitu berkesan di hati sejak pertama kali mendengarnya dengan seksama. Kesan pertama muncul saat tabligh akbar yang dibawakan oleh seorang Syaikh dari Arab Saudi yang saat itu berkunjung ke kampus kami sekitar tujuh tahun yang lalu, beliau terugugu, kehilangan kata ketika membacakan ayat ini yang diikuti dengan tangis serempak oleh peserta. Kesan yang lain saat ayat ini atau lebih tepatnya surat at Tahrim ini menjadi wasilah doa dari sang murabbiyah di majelis tarbiyah kala itu, agar saya bisa menjadi seorang thabiibah yang juga hafidzah, sebuah titik awal keinginan besar untuk menjaga ayat-ayat Al-qur’an. Bahkan saking berkesannya, sempat terpikirkan meminta kepada calon suami (suatu saat nanti) untuk mencukupkan maharnya dengan surah ini. 

Lupakan sejenak dan mari kita beranjak kepada topik yang ingin saya bahas. Da’wah keluarga terkadang menjadi prioritas yang kita letakkan pada nomor sekian di antara prioritas da’wah kita. Maka tidak heran banyak aktivis da’wah yang terkenal tangguh dan memiliki kontribusi besar di luar rumah namun tak mampu berbuat banyak atas pelanggaran syari’at yang terjadi di dalam rumahnya. Ia bisa berteriak lantang atas masalah yang menimpa kaum muslimin di negerinya bahkan di seluruh penjuru dunia, namun hanya bisa menangis perih tak mampu bersuara ketika mendapati adiknya masih belum menutup aurat dengan sempurna, kakaknya masih disibukkan dengan pacaran, dan orang tuanya masih tebelenggu oleh adat mistik yang kian menggerogoti akidah. Bahkan ia tak mampu berbuat banyak ketika pernikahan yang ia impikan justru disesaki oleh nilai-nilai jahili. Idealisme-nya terpasung hanya karena ia lupa untuk memprioritaskan berda’wah pada orang-orang terdekatnya, pada keluarganya.

Ada yang juga menarik disimak pada sebuah keluarga kecil yang suami isterinya adalah aktivis da’wah. Mereka bersatu karena niat mulia mendirikan keluarga yang tersemai benih-benih kebaikan, yang setiap nafas dalam kehidupan rumah tangganya dipenuhi ruh da’wah Ilallaah. Tapi apa yang didapati anak-anaknya dengan kondisi mereka, bisa jadi si kecil yang setiap hari membersamai abi-nya saat mengisi ta’lim, mendampingi ummi-nya dalam berbagai majelis syuraa, melakukan aktivitas sosial dan lain sebagainya justru mengeluh kepada teman sebayanya “Nanti kalau sudah besar, ga mau ah jadi kayak Abi sama Ummi. Sibuk terus... capek, ngurusin orang melulu...” Kalimat polos itu mengalir dengan ringan karena seringnya mereka menyeksamai aktivitas orang tuanya. Mereka melihat betapa orang tuanya kehabisan energi bahkan uring-uringan terhadap aktivitas da’wah yang mereka jalani. Mungkin abi dan umminya selalu menyemangati mereka dengan surga, tentang kecintaan kepada da’wah. Tapi mereka jauh lebih percaya terhadap tatapan orang tuanya, tutur kata, sorot mata dan sinar wajahnya yang seolah berkata “Nak, ummi tuh capek seharian, jangan bikin ummi marah ya..”

Tidak mudah memang menjadi orang tua. Tak semudah menyusun kalimat dalam visi pernikahan “Menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji Islam” atau tidakkah kita mendengar teguran Allah dalam KalamNya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisaa 9)

Persepsi kita tentang aktivitas da’wah yang kita jalani juga akan mempengaruhi ruh dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Maka tak heran jika seorang akhwat di’boikot’ oleh orang tuanya dari aktivitas da’wah dan tarbiyah karena nilai ujiannya yang anjlok atau tak bisa menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, bertahun-tahun menjadi penghuni kampus dengan alasan sibuk dengan aktivitas da’wahnya. Ataukah seorang suami yang tidak mengizinkan isterinya menghadiri tarbiyah, mengikuti kegiatan da’wah karena tak mampu membereskan rumah dan anak-anaknya. Yang ketika bidadarinya itu terlalu sibuk di luar rumah justru membuat segalanya terbengkalai.

Saya begitu terkesan kepada sebagian akhwat semasa kuliah dulu yang walaupun amanahnya menggunung; pagi kuliah, siang tarbiyah, sore mengisi tarbiyah, malamnya harus mabit bermusyawarah tapi nilai-nya tak pernah di bawah A atau B dan wisuda pada waktu yang semestinya. Orang tua merekapun begitu mendukung, tak sungkan ketika diajak melihat secara langsung aktivitas da’wah anaknya dengan ikut menghadiri ta’lim, tabligh akbar dan kegiatan sejenisnya. Juga sebagian ummahat yang walaupun memiliki banyak anak, banyak amanah da’wah tetapi tetap mendapat izin dari suami-suami mereka untuk menghadiri majelis-majelis ilmu dan syuraa. Suami mereka pun dengan setianya mengantar jemput tanpa merasa terbebani. Bahkan anak-anak mereka dengan bangganya berujar dengan lantang dan begitu tegasnya “Pokoknya pengen jadi kayak abi dan ummi kalo udah gede nanti!” Semua itu setelah mereka melihat semangat positif yang terpancar dari wajah abi dan umminya. Anak-anak itu benar-benar melihat ruh jihad yang menyala dan ghirah perjuangan yang terpancar dahsyat dari sorot mata abi dan umminya. Cahaya yang sebegitu kuatnya hingga merekapun melepas abi dan umminya dengan tatapan yang menyejukkan. Dan tatapan sang putra semakin menyalakan semangat di dada abi dan umminya. Semangat untuk menyelesaikan amanah-amanahnya dengan puncak ihsan. Semangat untuk semakin banyak berkontribusi bagi ummat. Semangat untuk segera kembali dan menemukan kembali penguat nyalanya di sorot mata dan mimik wajah sang mujahid kecil. Maka disitulah da’wahnya.....

Barometer keberhasilan da’wah kita tak sekedar terukur dari banyaknya kader da’wah yang mengikuti seruan kita, suksesnya kegiatan-kegiatan akbar dengan banyak peserta dan bertabur pujian. Tapi lebih dari itu, ketika rumah kita menjadi tempat yang paling nyaman di saat letih menyapa di sela-sela aktivitas da’wah yang menguras energi, yang ketika berada di luar kita selalu rindu akan suasananya yang dipenuhi lantunan ayat-ayat Allah bukan suara musik dan ribut televisi yang menyesakkan dada atau cacian serta umpatan yang menghiasi hari para penghuninya. Rumah yang kian mensurgakan peran kita sebagai mu’min sejati bukan yang menjerumuskan kita bersama penghuni lainnya ke dasar neraka. Juga (mengutip tulisan-nya ustad Salim A. Fillah) agar semangat memperbaiki negeri tidak berubah menjadi nafsu yang mengharuskan diri berkuasa, hingga lupa bahwa dari kamar tidur anak-anak, pemimpin sejati negeri ini 30 tahun mendatang sedang menanti bimbingan seorang ayah dan seorang ibunda.

Yah, karena sudah seharusnya da’wah kita berawal dari rumah. Meski tak mudah, tapi tak ada salahnya mencoba. Mari benahi. Allaahul muwaffiq.
Selengkapnya...

rin_iffah


Banyak yang mempertanyakan foto profil yang terpampang di salah satu sosial network saya. “Tu foto udah boleh diganti, sejak pertama kali nge-fb sampe skarang fotonya itu mulu, bosen ah !” tulis salah seorang teman “Kok fotonya cuman kursi kosong, gelap pula latarnya. Mana wajahnya?”. Belum lagi gambar seekor ulat yang numpang berpose di atas daun menambah deretan komentar bernada protes. “Fotonya menggambarkan sifatmu yang tertutup dan suka menyendiri, bisanya cerewet di blog doank” keluh yang lain. Sepintas jika diamati memang seperti itu adanya. Memajang foto diri?? sudah jelas tidak mungkin. Karena saya seorang muslimah yang tidak ingin memamerkan kecantikan (-sebenarnya sih ngaku-ngaku cantik- meskipun semua wanita memang cantik karena tidak mungkin ganteng) kepada begitu banyak orang yang berada di deretan frenlist. Pernah terlintas untuk mengganti dengan foto flowers atau yang full color, but it’s not me. Saya bukan penggemar bunga, dan tidak suka sesuatu yang “terlalu feminim” apalagi yang cerah ceria. Tapi ada juga teman-teman yang justru berpandangan sebaliknya. Walaupun hasil tes MMPI (tes psikologi buat menilai kondisi psikis seseorang) pas masih internship dulu, pun ketika seorang teman psikolog mencoba menilai kepribadian saya lewat tulisan tangan dan gambar yang saya buat pas lagi dalam masa diklat prajabatan memberikan kesimpulan yang sama, saya dikategorikan dalam makhluk ‘introvert’

Anyway, tulisan ini tidak ada hubungannya dengan siapa saya, tapi lebih kepada tipikal kita selaku manusia. Karakter khas atau kepribadian yang melekat kepada diri kita sering menjadi penilaian orang lain apakah seseorang bisa dikatakan orang ‘baik’ atau ‘tidak baik’ meskipun standar itu tetap relatif dan subyektif. 

Banyak versi serta teori-teori tentang kepribadian seseorang yang dipelajari oleh para pakar kepribadian. Mulai dari teori psikoanalisa hingga yang menyinggung sisi humanistik. Pernah dengar kepribadian ekstrovert dan introvert? Yup, dua jenis kepribadian ini pertama kali digagas oleh seorang pakar psikologi yakni Carl Gustav Jung. Menurut Jung, sikap ini biasanya sudah ditemukan semenjak kecil. Bisa saja dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan atau keyakinannya. Lanjutnya lagi, seseorang dengan kepribadian ekstrovert cenderung tertarik dengan dunia luar. Jiwa sosial mereka cukup tinggi dan lebih banyak berbuat daripada berpikir. Mereka lebih suka tantangan serta berani menempuh resiko besar sekalipun. Orang-orang ekstrovert suka diperhatikan dan bakalan melakukan berbagai cara agar mereka bisa mendapat perhatian dari orang lain. Yang lebih ekstrim, pada keadaan yang berlebihan, mereka akan mudah terserang histeria. Cara ini biasa dilakukan untu mencari perhatian biasanya juga dengan banyak bercerita yang terkadang mengaburkan sisi kebenaran dari cerita tersebut.

Kepribadian introvert justru sebaliknya. Mereka lebih memilih menarik diri dari lingkungan sosial. Kita mungkin akan temukan manusia jenis ini lebih banyak diam dibanding berbicara yang tidak penting. Itu karena mereka biasanya memikirkan apa yang harus dikatakan. Apakah pantas atau tidak, perlu atau tidak. Orang introvert juga suka memendam masalahnya sendiri, jarang ia mau berbagi masalah atau menceritakan kehidupan pribadinya kepada orang lain. Ia akan terbuka kecuali kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya karena perasaan rendah dirinya, namun begitu ada orang yang dekat dengannya ia akan tetap setia sampai kapanpun. Self blaming-nya juga cukup tinggi sehingga gampang mengalami gangguan cemas, emosi dan depresi.

Islam sendiri memandang manusia tidak secara deterministik. Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari seluruh makhlukNya dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri kondisi dirinya. Olehnya jenis kepribadian apapun dengan segala sisi negatif dan positifnya akan tampak baik ketika tercelup dalam satu warna yang sama yakni celupan warna Ilahi. “Celupan (warna) Allah, dan siapakah yang lebih baik celupan warnanya daripada Allah? Dan hanya kepadaNyalah kami menyembah.” (Al Baqarah 138)

Islam tidak menghapus karakter yang tersifati ke atas pribadi pemeluknya yang tak bertentangan dengan akidah, tetapi Islam justru membingkainya menjadi karakter mulia yang menyejarah. Sebut saja para sahabat yang mewarnai perjalanan dakwah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar merupakan dua sosok yang begitu kontras. Abu Bakar adalah sahabat yang berbadan kurus, saking kurusnya sampai sarungnya selalu mengulur ke bawah sehingga beliau dikecualikan oleh Rasulullah dalam hadis tentang larangan isbal. Sedangkan Umar, beliau pernah membuat empat makmum jatuh terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shaf shalat. Ada Usman bin Affan yang mewakili karakter pemalu, pemurah, dan penuh kelembutan. Malunya tak hanya pada manusia tapi juga kepada Allah. Ada juga sosok low profile seperti salah seorang sahabat di antara sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga yakni Sa’id ibn Zaid yang namanya jarang terekam sirah selain dalam kisah keislaman Umar dan kisah sengketa tanahnya dengan seorang wanita tua. Atau pernahkah kita mendengar nama Tsabit ibn Qais? Sang orator besar ini pernah mengurung dirinya berhari-hari dalam rumahnya ketika turun surah Al Hujurat ayat 2 yang berisi larangan meninggikan dan mengeraskan suara kepada Nabi. Ia mengira ayat itu ditujukan kepadanya karena pembawaannya yang sering bersuara tinggi dan keras melengking. Juga Khalid, pedang Allah yang senantiasa terhunus yang tiga belas kali ganti pedang di perang Mu’tah. Ada Hudzaifah sang pemegang rahasia Rasulullah. Intelijen yang lisannya tak bisa dipaksa berbicara meski oleh Umar sahabatnya. Ataukah sebagian saudari-saudari saya yang karakteristik mereka tergambar di postingan saya sebelumnya "Ketidaksempurnaanmu adalah penggerak keshalihanku"

Maka sekali lagi, Islam hadir bukan untuk merubah karakter yang tersifati ke atas masing-masing pribadi. Kehadirannya untuk menenggelamkan pemeluknya ke dalam celupan warna Ilahi. Celupan yang membuat warna-warni itu seindah pelangi.
Selengkapnya...

rin_iffah

Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga. 

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaknya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu. 

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itupun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama. Maka ditulisnyalah surat itu memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban “Ya”, katanya.

Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya. “Maha suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, “Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.” Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. “Andai saja kau lihat aku”, katanya, “Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.” “Betapa inginnya aku”, kata si gadis, “Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.” Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. “Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit. Dan penyesalan yang tak berkesudahan. Si gadis ikut tertunduk. “Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, “Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegub. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.” “Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. “Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertakwa.”

Kita cukupkan sampai di sini kisahnya. Mari kita dengar komentar Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan tentangnya. “Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”, demikian beliau bertanya. “Sebuah kisah yang indah. Sarat dengan ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketakwaan kepada Allah.” “Tapi”, kata beliau memberi catatan. “Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari’at. Bahwa sang pemuda mencampur adukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; sang gadis sama sekali tak mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syariat Allah.”

Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah, bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas waktu? “Kesalahan itu”, kata Syaikh Abdullah Nashih Ulwan memungkasi, “Telah terjadi sejak awal.” Apa itu? “Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini.” Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi berduaan. Sang pemuda memang sedang berda’wah. Tapi ini adalah da’wah dusta!

Maka berhati-hatilah terhadap jebakan syaithan. Karena yang tampak indah selalu harus diperiksa dengan ukuran kebenaran.

Sumber : Buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A Fillah
Selengkapnya...

rin_iffah


Betapa seringnya, kita para penempuh jalan dakwah yang mulia ini menjadi resah sendiri. Di banyak tempat, kita sering menyaksikan fenomena ketidaksabaran dalam menjalani dan melewati aral, onak dan duri dalam kisah kemuliaan dakwah ini. Suatu saat, kita mendengar dan menyaksikan para pemuda Islam melakukan penghancuran dan pengrusakan atas nama jihad. Di kali yang lain, kita melihat ketidaksabaran itu mewujud dalam berbagai vonis kesesatan dan pengkafiran yang begitu mudah terucapkan atau tertuliskan. Dan di waktu yang lain, ketergesaan itu diwujudkan dalam bentuk kepercayaan diri yang berlebihan untuk memasuki dunia politik praktis; seolah itu menjadi sebuah jaminan (satu-satunya jalan) untuk mewujudkan Islam dengan seluruh perangkat komprehensifnya.

...Sekadar mengingatkan, jalan dakwah ini adalah jalan yang sangat panjang. Para penempuhnya harus memiliki persediaan kesabaran yang berlimpah untuk melewati jejak-jejaknya. Harus ada azzam yang teguh layaknya para ulul azmi dari kalangan rasul. Kelak di ujung jalan usia kita menempuh jalan dakwah itu, mungkin kita berpulang pada Allah dengan 100 pengikut, 50, 20, 5, 1, atau tanpa pengikut sama sekali. Tidak masalah. Sebab di jalan ini, yang terpenting adalah sudahkah kita menyampaikannya. Ada yang ikut atau tidak semua itu di Tangan Allah Ta'ala.

Sebaliknya, seorang penempuh jalan dakwah harus terus menjaga keikhlasan hatinya, terutama dari penyakit ghurur. Jangan tertipu dengan ramainya khalayak pengikut yang terpesona dengan dakwah anda. Jika kelak Allah menakdirkan ada puluhan ribu, bahkan jutaan kaum Muslimin hadir dalam tabligh akbar anda, maka itu adalah saat yang tepat untuk beristighfar dan berlindung dari penyakit ghurur. Yah, karena itu akan mengekang hasrat ketergesaan anda untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya belum saatnya untuk dilakukan.

... Maka lagi-lagi, kita harus berhenti sejenak untuk merenungkan skala prioritas dakwah kita. Teringatlah kita pada ungkapan hikmah yang mengatakan: "Tegakkan Negara Islam dalam dirimu, niscaya ia akan tertegak di tanah airmu." Maka seluruh upaya dakwah saat ini berpusar pada penegakan 'negara Islam' dalam pribadi-pribadi muslimin. Melahirkan pribadi yang memiliki tauhid yang murni, tanpa noda syirik dan bid'ah, sesuai jejak as-Salaf as-Shalih. Melahirkan jiwa-jiwa yang merindukan perjumpaan dengan Allah. Dan perjalanan untuk itu, sungguh masih terlalu panjang untuk sebuah negeri berpenduduk lebih dari 200 jiwa ini...

Maka sekali lagi, jangan pernah tergesa-gesa....

sumber: Majalah al bashirah

Selengkapnya...

rin_iffah


Indonesia adalah surga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.
Di sawah, petani merokok, di pabrik, pekerja merokok,di kantor pegawai merokok, di rese parlemen anggota DPR merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebinan, pemetik buah merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pekuburan, sebelum masuk kubur orang merokok

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kulaih, dosen merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.
Di angkot Kijang, penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk, orang bertanding merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyebrangan antar pulau, penumpang merokok, Di andong Yogya, kusirnya merokok,sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Di pasar orang merokok, di warung tegal pengunjung merokok, di restoran, di toko buku orang merokok, di kafe di diskotil para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
Bayangkan isteri-isteri kita yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
Ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok

Duduk kita di tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita di sebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakkan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekalipun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-‘ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
Tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasibih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, Cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhinn, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, Ya ustadz. Wa yuharrimu’alayhimul khabaaith.

Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh makruhkna, jangan.
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu mulai pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah ada 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.
Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, Cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negeri kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celanan, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Selengkapnya...