Ayat ini begitu berkesan di hati sejak pertama kali mendengarnya dengan seksama. Kesan pertama muncul saat tabligh akbar yang dibawakan oleh seorang Syaikh dari Arab Saudi yang saat itu berkunjung ke kampus kami sekitar tujuh tahun yang lalu, beliau terugugu, kehilangan kata ketika membacakan ayat ini yang diikuti dengan tangis serempak oleh peserta. Kesan yang lain saat ayat ini atau lebih tepatnya surat at Tahrim ini menjadi wasilah doa dari sang murabbiyah di majelis tarbiyah kala itu, agar saya bisa menjadi seorang thabiibah yang juga hafidzah, sebuah titik awal keinginan besar untuk menjaga ayat-ayat Al-qur’an. Bahkan saking berkesannya, sempat terpikirkan meminta kepada calon suami (suatu saat nanti) untuk mencukupkan maharnya dengan surah ini.
Lupakan sejenak dan mari kita beranjak kepada topik yang ingin saya bahas. Da’wah keluarga terkadang menjadi prioritas yang kita letakkan pada nomor sekian di antara prioritas da’wah kita. Maka tidak heran banyak aktivis da’wah yang terkenal tangguh dan memiliki kontribusi besar di luar rumah namun tak mampu berbuat banyak atas pelanggaran syari’at yang terjadi di dalam rumahnya. Ia bisa berteriak lantang atas masalah yang menimpa kaum muslimin di negerinya bahkan di seluruh penjuru dunia, namun hanya bisa menangis perih tak mampu bersuara ketika mendapati adiknya masih belum menutup aurat dengan sempurna, kakaknya masih disibukkan dengan pacaran, dan orang tuanya masih tebelenggu oleh adat mistik yang kian menggerogoti akidah. Bahkan ia tak mampu berbuat banyak ketika pernikahan yang ia impikan justru disesaki oleh nilai-nilai jahili. Idealisme-nya terpasung hanya karena ia lupa untuk memprioritaskan berda’wah pada orang-orang terdekatnya, pada keluarganya.
Ada yang juga menarik disimak pada sebuah keluarga kecil yang suami isterinya adalah aktivis da’wah. Mereka bersatu karena niat mulia mendirikan keluarga yang tersemai benih-benih kebaikan, yang setiap nafas dalam kehidupan rumah tangganya dipenuhi ruh da’wah Ilallaah. Tapi apa yang didapati anak-anaknya dengan kondisi mereka, bisa jadi si kecil yang setiap hari membersamai abi-nya saat mengisi ta’lim, mendampingi ummi-nya dalam berbagai majelis syuraa, melakukan aktivitas sosial dan lain sebagainya justru mengeluh kepada teman sebayanya “Nanti kalau sudah besar, ga mau ah jadi kayak Abi sama Ummi. Sibuk terus... capek, ngurusin orang melulu...” Kalimat polos itu mengalir dengan ringan karena seringnya mereka menyeksamai aktivitas orang tuanya. Mereka melihat betapa orang tuanya kehabisan energi bahkan uring-uringan terhadap aktivitas da’wah yang mereka jalani. Mungkin abi dan umminya selalu menyemangati mereka dengan surga, tentang kecintaan kepada da’wah. Tapi mereka jauh lebih percaya terhadap tatapan orang tuanya, tutur kata, sorot mata dan sinar wajahnya yang seolah berkata “Nak, ummi tuh capek seharian, jangan bikin ummi marah ya..”
Tidak mudah memang menjadi orang tua. Tak semudah menyusun kalimat dalam visi pernikahan “Menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji Islam” atau tidakkah kita mendengar teguran Allah dalam KalamNya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisaa 9)
Persepsi kita tentang aktivitas da’wah yang kita jalani juga akan mempengaruhi ruh dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Maka tak heran jika seorang akhwat di’boikot’ oleh orang tuanya dari aktivitas da’wah dan tarbiyah karena nilai ujiannya yang anjlok atau tak bisa menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, bertahun-tahun menjadi penghuni kampus dengan alasan sibuk dengan aktivitas da’wahnya. Ataukah seorang suami yang tidak mengizinkan isterinya menghadiri tarbiyah, mengikuti kegiatan da’wah karena tak mampu membereskan rumah dan anak-anaknya. Yang ketika bidadarinya itu terlalu sibuk di luar rumah justru membuat segalanya terbengkalai.
Saya begitu terkesan kepada sebagian akhwat semasa kuliah dulu yang walaupun amanahnya menggunung; pagi kuliah, siang tarbiyah, sore mengisi tarbiyah, malamnya harus mabit bermusyawarah tapi nilai-nya tak pernah di bawah A atau B dan wisuda pada waktu yang semestinya. Orang tua merekapun begitu mendukung, tak sungkan ketika diajak melihat secara langsung aktivitas da’wah anaknya dengan ikut menghadiri ta’lim, tabligh akbar dan kegiatan sejenisnya. Juga sebagian ummahat yang walaupun memiliki banyak anak, banyak amanah da’wah tetapi tetap mendapat izin dari suami-suami mereka untuk menghadiri majelis-majelis ilmu dan syuraa. Suami mereka pun dengan setianya mengantar jemput tanpa merasa terbebani. Bahkan anak-anak mereka dengan bangganya berujar dengan lantang dan begitu tegasnya “Pokoknya pengen jadi kayak abi dan ummi kalo udah gede nanti!” Semua itu setelah mereka melihat semangat positif yang terpancar dari wajah abi dan umminya. Anak-anak itu benar-benar melihat ruh jihad yang menyala dan ghirah perjuangan yang terpancar dahsyat dari sorot mata abi dan umminya. Cahaya yang sebegitu kuatnya hingga merekapun melepas abi dan umminya dengan tatapan yang menyejukkan. Dan tatapan sang putra semakin menyalakan semangat di dada abi dan umminya. Semangat untuk menyelesaikan amanah-amanahnya dengan puncak ihsan. Semangat untuk semakin banyak berkontribusi bagi ummat. Semangat untuk segera kembali dan menemukan kembali penguat nyalanya di sorot mata dan mimik wajah sang mujahid kecil. Maka disitulah da’wahnya.....
Barometer keberhasilan da’wah kita tak sekedar terukur dari banyaknya kader da’wah yang mengikuti seruan kita, suksesnya kegiatan-kegiatan akbar dengan banyak peserta dan bertabur pujian. Tapi lebih dari itu, ketika rumah kita menjadi tempat yang paling nyaman di saat letih menyapa di sela-sela aktivitas da’wah yang menguras energi, yang ketika berada di luar kita selalu rindu akan suasananya yang dipenuhi lantunan ayat-ayat Allah bukan suara musik dan ribut televisi yang menyesakkan dada atau cacian serta umpatan yang menghiasi hari para penghuninya. Rumah yang kian mensurgakan peran kita sebagai mu’min sejati bukan yang menjerumuskan kita bersama penghuni lainnya ke dasar neraka. Juga (mengutip tulisan-nya ustad Salim A. Fillah) agar semangat memperbaiki negeri tidak berubah menjadi nafsu yang mengharuskan diri berkuasa, hingga lupa bahwa dari kamar tidur anak-anak, pemimpin sejati negeri ini 30 tahun mendatang sedang menanti bimbingan seorang ayah dan seorang ibunda.
Yah, karena sudah seharusnya da’wah kita berawal dari rumah. Meski tak mudah, tapi tak ada salahnya mencoba. Mari benahi. Allaahul muwaffiq.
Share
Ada yang juga menarik disimak pada sebuah keluarga kecil yang suami isterinya adalah aktivis da’wah. Mereka bersatu karena niat mulia mendirikan keluarga yang tersemai benih-benih kebaikan, yang setiap nafas dalam kehidupan rumah tangganya dipenuhi ruh da’wah Ilallaah. Tapi apa yang didapati anak-anaknya dengan kondisi mereka, bisa jadi si kecil yang setiap hari membersamai abi-nya saat mengisi ta’lim, mendampingi ummi-nya dalam berbagai majelis syuraa, melakukan aktivitas sosial dan lain sebagainya justru mengeluh kepada teman sebayanya “Nanti kalau sudah besar, ga mau ah jadi kayak Abi sama Ummi. Sibuk terus... capek, ngurusin orang melulu...” Kalimat polos itu mengalir dengan ringan karena seringnya mereka menyeksamai aktivitas orang tuanya. Mereka melihat betapa orang tuanya kehabisan energi bahkan uring-uringan terhadap aktivitas da’wah yang mereka jalani. Mungkin abi dan umminya selalu menyemangati mereka dengan surga, tentang kecintaan kepada da’wah. Tapi mereka jauh lebih percaya terhadap tatapan orang tuanya, tutur kata, sorot mata dan sinar wajahnya yang seolah berkata “Nak, ummi tuh capek seharian, jangan bikin ummi marah ya..”
Tidak mudah memang menjadi orang tua. Tak semudah menyusun kalimat dalam visi pernikahan “Menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji Islam” atau tidakkah kita mendengar teguran Allah dalam KalamNya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisaa 9)
Persepsi kita tentang aktivitas da’wah yang kita jalani juga akan mempengaruhi ruh dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Maka tak heran jika seorang akhwat di’boikot’ oleh orang tuanya dari aktivitas da’wah dan tarbiyah karena nilai ujiannya yang anjlok atau tak bisa menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, bertahun-tahun menjadi penghuni kampus dengan alasan sibuk dengan aktivitas da’wahnya. Ataukah seorang suami yang tidak mengizinkan isterinya menghadiri tarbiyah, mengikuti kegiatan da’wah karena tak mampu membereskan rumah dan anak-anaknya. Yang ketika bidadarinya itu terlalu sibuk di luar rumah justru membuat segalanya terbengkalai.
Saya begitu terkesan kepada sebagian akhwat semasa kuliah dulu yang walaupun amanahnya menggunung; pagi kuliah, siang tarbiyah, sore mengisi tarbiyah, malamnya harus mabit bermusyawarah tapi nilai-nya tak pernah di bawah A atau B dan wisuda pada waktu yang semestinya. Orang tua merekapun begitu mendukung, tak sungkan ketika diajak melihat secara langsung aktivitas da’wah anaknya dengan ikut menghadiri ta’lim, tabligh akbar dan kegiatan sejenisnya. Juga sebagian ummahat yang walaupun memiliki banyak anak, banyak amanah da’wah tetapi tetap mendapat izin dari suami-suami mereka untuk menghadiri majelis-majelis ilmu dan syuraa. Suami mereka pun dengan setianya mengantar jemput tanpa merasa terbebani. Bahkan anak-anak mereka dengan bangganya berujar dengan lantang dan begitu tegasnya “Pokoknya pengen jadi kayak abi dan ummi kalo udah gede nanti!” Semua itu setelah mereka melihat semangat positif yang terpancar dari wajah abi dan umminya. Anak-anak itu benar-benar melihat ruh jihad yang menyala dan ghirah perjuangan yang terpancar dahsyat dari sorot mata abi dan umminya. Cahaya yang sebegitu kuatnya hingga merekapun melepas abi dan umminya dengan tatapan yang menyejukkan. Dan tatapan sang putra semakin menyalakan semangat di dada abi dan umminya. Semangat untuk menyelesaikan amanah-amanahnya dengan puncak ihsan. Semangat untuk semakin banyak berkontribusi bagi ummat. Semangat untuk segera kembali dan menemukan kembali penguat nyalanya di sorot mata dan mimik wajah sang mujahid kecil. Maka disitulah da’wahnya.....
Barometer keberhasilan da’wah kita tak sekedar terukur dari banyaknya kader da’wah yang mengikuti seruan kita, suksesnya kegiatan-kegiatan akbar dengan banyak peserta dan bertabur pujian. Tapi lebih dari itu, ketika rumah kita menjadi tempat yang paling nyaman di saat letih menyapa di sela-sela aktivitas da’wah yang menguras energi, yang ketika berada di luar kita selalu rindu akan suasananya yang dipenuhi lantunan ayat-ayat Allah bukan suara musik dan ribut televisi yang menyesakkan dada atau cacian serta umpatan yang menghiasi hari para penghuninya. Rumah yang kian mensurgakan peran kita sebagai mu’min sejati bukan yang menjerumuskan kita bersama penghuni lainnya ke dasar neraka. Juga (mengutip tulisan-nya ustad Salim A. Fillah) agar semangat memperbaiki negeri tidak berubah menjadi nafsu yang mengharuskan diri berkuasa, hingga lupa bahwa dari kamar tidur anak-anak, pemimpin sejati negeri ini 30 tahun mendatang sedang menanti bimbingan seorang ayah dan seorang ibunda.
Yah, karena sudah seharusnya da’wah kita berawal dari rumah. Meski tak mudah, tapi tak ada salahnya mencoba. Mari benahi. Allaahul muwaffiq.
Posting Komentar