rin_iffah

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” [Silsilah Shahihah, no. 1802] 

IGD siang itu cukup lengang. Tak banyak pasien yang datang meminta pertolongan atas rasa sakit yang mereka derita. Saya hari itu mendapat ‘jatah’ jaga IGD mulai dari jam dua siang hingga jam sembilan malam. Karena keterbatasan jumlah dokter umum di rumah sakit, tiap shift jaga hanya digawangi oleh satu dokter dan tiga perawat, termasuk seorang bidan untuk menangani kasus persalinan normal yang tidak memungkinkan jika harus dipindahkan ke ruangan kebidanan. Untuk sebuah rumah sakit daerah yang menjadi pusat rujukan dengan jumlah kunjungan rata-rata per-hari 50-60 pasien, tentu jumlah petugas kesehatan tidaklah mencukupi. Meskipun demikian, kami tetap berusaha berbuat semampu daya demi kesembuhan pasien yang kami rawat. Namun ada hal yang perlu dicatat, bahwa seberapapun hebatnya kita dalam menangani pasien, seberapa banyaknya pengalaman kita dalam memberikan pengobatan. Yang menyembuhkan, yang memegang kendali nyawa seseorang hanyalah Allah. Sebagaimana yang saya alami hari itu.

Jelang sore, dua pasien beruntun masuk ke IGD. Setelah dianamnesis oleh perawat, saya kemudian mencoba menggali informasi tentang kedua pasien baru ini. Keduanya datang dalam kondisi tidak sadar. Yang satunya dengan tekanan darah yang sangat tinggi yang saya simpulkan sementara mengalami penurunan kesadaran akibat stroke hemorargik (tidak sadar akibat pecahnya pembuluh darah di otak). Sedang yang lainnya, setelah melakukan pemeriksaan kadar Gula Darah , didapati kadar GDSnya hanya 62 gr/dl jauh di bawah batas normal untuk seorang penderita diabetes. Maka penurunan kesadarannya itu bisa jadi karena intake gula yang minim dan kami sebut sebagai kondisi hipoglikemia. Saya pun mencoba memberikan penanganan sesuai prosedur standar kasus-kasus dimaksud. Pada keluarga pasien saya pastikan bahwa pada kebanyakan kasus pasien diabetes dengan kadar gula yang rendah, pemberian terapi Dekstrose 40% melalui intravena akan segera memperbaiki keadaan pasien dan biasanya kadar gula darahnya bisa segera kembali normal dalam waktu 15 menit sampai 30 menit, dan pasien akan kembali sadar. Mendengar penjelasan saya tersebut, keluarga si pasien akhirnya tenang. Setengah jam kemudian, saya meminta perawat jaga untuk kembali memeriksa kadar gula darah pasien tadi. Dan betapa kagetnya saya ketika mendapati hasil kadar gula darahnya meningkat tajam. Hasil yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya yaitu 483 gr/dl. Jauh dari prediksi yang seharusnya terjadi. Keadaan yang membuat pasien ini justru ‘tertidur’ semakin dalam. Padahal saya sangat yakin dengan terapi yang saya berikan. Tidak mungkin saya sampai bisa melakukan kesalahan pada kasus seperti ini. Saya kemudian  mencari penyebab lainnya, mungkinkah terjadi sepsis (infeksi sistemik melalui pembuluh darah) pada pasien ini, atau adakah penyakit lain yang memperberat kondisinya. Hasil laboratorium, pemeriksaan rekam jantung serta pemeriksaan penunjang lainnya coba saya teliti dan saya tidak mendapatkan penyebab lain selain penurunan kesadaran akibat kadar gula darah yang rendah (koma hipoglikemik) yang berubah statusnya menjadi penurunan kesadaran akibat kadar gula darah yang meningkat tinggi (koma hiperglikemik) karena terapi yang saya berikan??

Setelah kondisi agak tenang, saya mencoba kembali menilai kesalahan apa yang telah saya perbuat sehingga pasien ini tak mampu saya tolong. Ah Itu dia.... saya tersentak. Tersadar bahwa ada sebuah kesalahan (yang menurut saya cukup) fatal yang tanpa sengaja telah saya lakukan kepada pasien. Ini tentang sebuah rasa. Rasa yang membengkakkan hati tersebab merasa mampu dan mumpuni menolong pasien ini dengan mudah. Saya dengan begitu percaya diri (berpijak pada pengalaman menangani puluhan kasus serupa yang telah berhasil) memastikan kepada keluarga pasien bahwa setelah mendapatkan obat yang saya resepkan, maka pasien akan segera sadar kembali. Yang ada dibenak maupun hati saya saat itu bukan lagi mengandalkan pertolongan Allah sebagai satu-satunya penyembuh, tapi mengandalkan kemampuan saya sebagai seorang dokter (Astaghfirullah). Rasa itu, meskipun sepintas ternyata telah ‘mencederai’ pasien yang saya tangani.

Maka hari itu, saya merasa seperti di’tampar’ oleh pasien. Tamparan yang tak sekedar meninggalkan bekas memerah di pipi, tapi menusuk tajam, melukai hati. Duuh, saya telah menyandarkan hidup-mati yang merupakan hak Allah ke atas pundak saya selaku makhluk yang lemah. Saya pandangi lekat-lekat pasien yang masih terbaring tak sadarkan diri, kemudian saya alihkan pandangan kepada keluarga pasien ini yang dengan wajah cemas menanti orang yang mereka sayangi memberikan sinyal perbaikan walau hanya melalui erangan. Tapi ia masih saja tertidur... ada rasa sesal di hati atas kelalaian ini. Semoga saja, sesal ini bisa meninggalkan jejak perbaikan niat di tiap amal. Agar tak terselip ujub, agar kian tawadhu, agar amal tak menjadi debu... habis tak bersisa.

Kamar Jaga IGD, 5 Syawwal 1433 H *Kembali meraba hati*
Share

0 Responses

Posting Komentar