rin_iffah


Peserta Jelajah Pusaka Ternate saat menyimak penjelasan dari Ka Maulana di Sigi Lamo
Tak banyak dari penduduk Ternate yang tahu bahwa Goheba (burung laut berkepala dua) yang menjadi lambang kesultanan Ternate pertama kali dijadikan lambang resmi kesultanan oleh Sultan Ternate ke-48; Sultan Mudaffar Sjah. Tak banyak yang memperhatikan dengan teliti bahwa di samping kiri kadaton Sultan Ternate, terdapat runtuhan bebatuan yang adalah bekas benteng kecil serupa pos penjagaan yang dibangun Belanda demi mengawasi gerak-gerik kadaton. Tak banyak pula yang menduga, sesiapa yang bediri tepat di depan Ngara Lamo (gerbang utama menuju kadaton sultan Ternate yang bangunannya saat ini dimanfaatkan sebagai sekretariat festival legu gam) maka dijumpai satu garis lurus ke arah Sigi Lamo (masjid sultan) yang artinya bahwa dahulu jalan utama yang sebenarnya adalah ketika kita berjalan lurus dari arah Ngara Lamo menuju Sigi Lamo sebelum akhirnya jalan tersebut diubah arahnya dengan pertimbangan tertentu. Dan tak banyak yang begitu memperhatikan, sekiranya kita melepas pandang dari Sunyie Lamo (lapangan salero) ke arah kadaton, maka akan tampak arsitektur kadaton menyerupai sosok manusia sedang bertafakur sembari duduk bersila menghadap ke arah dodoku ali yang menjadi tempat terbaik terbitnya mentari pagi (sebagian besar menafsirkan bahwa kadaton sultan ternate menyerupai singa yang sedang duduk). Sosok manusia ini juga bermakna filosofis bagi penduduk Ternate. “Salah satu tradisi orang Ternate ketika selesai shalat subuh maka pintu rumah di buka lebar dan kita akan mendengar lantunan ayat-ayat al qur’an dibacakan oleh penghuni rumah sebagai bentuk zikir kepada Alah. Bukankah nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menganjuran kepada ummatnya untuk tidak tidur setelah shalat subuh hingga terbit matahari? Demikian pula syariat tersebut mengakar, menjadi tradisi yang dijalankan turun temurun oleh penduduk Ternate hingga saat ini” Terang Ka Maulana Ibrahim dari Ternate Heritage Society kepada peserta Ternate Heritage Trail saat langkah-langkah kecil mereka ayunkan perlahan menapaki ibu kota Kesultanan Ternate; Soa Sio ahad kemarin.

Ternate Heritage Trail atau Jelajah Pusaka Ternate adalah salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Ternate Heritage Society (THS) dengan maksud untuk memperkenalkan kembali pusaka/warisan budaya Ternate kepada masyarakat terutama generasi muda melalui kegiatan jalan kaki sambil mengenal sejarah dan kondisi terkini pusaka Ternate. Jelajah Pusaka Ternate kali ini dimulai dengan menikmati suasana matahari terbit dari Dodoku Mari (saat ini dikenal sebagai dodoku ali), menyusuri Sunyie Lamo dan Sunyie Ici , menyaksikan eksistensi kesultanan Ternate lewat kadaton yang dibangun sejak abad ke-18, merekam jejak-jejak islam di Ternate lewat Sigi Lamo (masjid sultan) yang menyatu indah dengan tradisi dan budaya masyarakat Ternate meski tradisi dan budaya ini masih menjadi perihal tabu untuk dibagikan secara luas kepada masyarakat Ternate di luar kesultanan. Peserta jelajah juga menyempatkan diri mengunjungi salah satu Kadato Ici yang pernah menjadi tempat tinggal seorang ilmuwan penulis surat fenomenal ‘Letter from Ternate’ dan penemu burung bidadari Halmahera; Alfred Russel Wallace.

Di akhir kegiatan jelajah, peserta yang berasal dari berbagai disiplin ilmu ini dikumpulkan di Sunyie Lamo. Oleh ka Maulana, para peserta diminta untuk menghadapkan wajah sejenak ke barat, ke arah kadaton sultan Ternate yang berdiri kokoh di atas bukit yang dikenal dengan sebutan Kaimaja dengan gunung Gamalama sebagai latar yang sebagian besar penduduk meyakini bahwa kadaton sultan Ternate adalah perwujudan dari titisan kayangan di bumi. “Kadaton Sultan Ternate adalah simbol keberadaan dan kejayaan Islam masa lalu di Ternate. Bahkan sejarah mencatat puncak kejayaan Islam Ternate berada pada masa kepemimpinan Sultan Baabullah yang terkenal dengan julukan penguasa 72 pulau. Penerapan syariat Islam oleh kesultanan juga terlihat dari prasasti tulisan arab melayu yang terukir indah di pintu balkon kadaton; 'Gedung ini adalah tempat orang-orang tertinggi dan termulia yaitu tempat bersemayam sultan-sultan yang digelarkan di atas pundaknya beliau-beliau itu sirajul quluub cahaya hati. Sultan-sultan Islam yang digelarkan menurut adat istiadat Iskandar Dzulkarnain keturunan sultan-sultan yang adil bahkan shaleh yaitu sultan Muhammad Ali ibn Sultan Sirajurrahman beserta menteri-menterinya dan semua orang besar bermusyawarah mencari suatu tempat yang layaknya untuk mendirikan Kedaton sebagai tanda kenang-kenangan bagi keturunan beliau yang menjadi Sultan pada akhir zaman...'” Tutup ka Maulana yang diikuti tatapan penuh perhatian dari seluruh peserta. Jelajah pusaka yang berlangsung sekitar 4 jam ini berakhir dengan menikmati sepiring nasi kuning dan pecel pisang khas Ternate di sebuah warung makan sederhana di pertigaan Sunyie Lamo. Peserta mengaku banyak mendapatkan ilmu dari jelajah pusaka kali ini. Bahkan mereka tak sabar menanti kegiatan jelajah pusaka berikutnya.
Selengkapnya...

rin_iffah

Suasana dodoku mari di hari ke-21 ramadan pagi tadi setelah sepekan Ternate diguyur hujan
Kapal ramadan; demikian ibu kami menamainya. Menjadikannya dongeng jelang pejam setiap kali ramadan kian dekat menghampiri dan beberapa hari sebelum ramadan beranjak pergi. Setiap hari, adik bungsu kami dengan sangat antusias mengajak mama dan papa menuju pelabuhan menanti kedatangan kapal ramadan ini. Kapal yang konon datang dengan banyak perbekalan, dan akan pulang membawa amalan-amalan kami selama ramadan. Maka di setiap sepuluh hari terakhir ramadan, mama dan papa akan selalu menyemangati kami untuk memperbanyak amalan agar kapal-kapal ramadan ini bisa terisi muatan yang banyak sebelum ia bertolak meninggalkan dermaga di akhir ramadan. Karena menurut cerita mama kala itu, setelah pergi, kitapun belum pasti akan bisa dikunjungi kembali oleh kapal ramadan.

Ketika dewasa barulah kami pahami, kapal ramadan ini hanyalah perumpamaan yang dibuat oleh kedua orang tua kami demi memotivasi anak-anaknya dalam beribadah di bulan ramadan. (Semoga Allah merahmati keduanya) Selengkapnya...

rin_iffah

Momen kebersamaan kami dengan papa di idul fitri setahun yang lalu

Menjelang Fajar di 15 Ramadan 1437 H/20 Juni 2016 M

Di waktu sahur kemarin, sayup-sayup tilawah al-qur'an mu masih setia membangunkan kami sebagaimana hari-hari sebelumnya. Langkah kecilmu menuju tempat wudhu, lirih istighfar yang terlantun tiada henti dari lisanmu, adalah warna tersendiri yang menghiasi rumah ini. Rumah sederahana yang dipenuhi oleh cahaya ibadah yang rutin engkau hidupkan di tiap pergantian hari.

Tapi... kebiasaan yang harusnya berulang di waktu sahur hari ini tak lagi kami temui. Engkau masih saja terbaring kaku di tempat tidur dengan senyum yang masih tersungging indah di wajahmu. Senyuman yang ketika sahabat serta karib kerabat yang menjengukmu untuk terakhir kalinya dikala memandang wajahmu hanya bisa ikut tersenyum dan menangis bersamaan. Tersenyum melihatmu yang seolah tuntas kerinduan hendak berjumpa Rabbmu, dan menangis karena kehilangan sosok tawadhumu juga menangis akan diri-diri kami yang entah akankah sanggup mengakhiri hidup di dunia yang fana ini dalam keadaan ridha dan diridhai, sedang begitu banyak cacat dalam tiap amalan kami.

Engkau masih saja tertidur. Engkau masih enggan terjaga. Panggilan sayangmu kepada kami saat mengajak kami bersujud kepadaNya tak lagi kami dengar. Tak ada yang menyangka jika tidurmu kali ini jauh lebih panjang dibanding sebelumnya. Tak ada yang menyangka jika jelang berbuka kemarin ucapan "tinggal tiga menit" adalah kata-kata terakhirmu. Tiga menit menjelang berbuka dan tiga menit jelang engkau bertemu Rabbmu. Yah, tak ada dari kami bahkan siapapun yang bisa menduga, yang bisa mengetahui dengan pasti kapan malaikat maut datang menghampiri.

Innalillahi wa innailahi rajiuun... Selamat jalan papa... Kami bersaksi engkau adalah orang baik. Engkau meninggal dalam waktu dan kondisi terbaik, insyaAllah... Akan tiba masanya kami pun menyusulmu. Semoga Allah mempertemukan kita kembali di jannahNya. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi, wa'fu anhu...


*Di atas kesedihan mendalam tersebab kehilangan sosok teladan yang sangat kami sayangi
Selengkapnya...

rin_iffah


Ternate, 14 Ramadan 1437 H/19 Juni 2016 M

Senja mulai merekah, mentari perlahan beranjak menuju peraduan sedang gelap telah bersiap meneruskan titah Sang Penguasa alam, menjaga bumi agar tetap berada dalam keseimbangan. Sementara penduduk bumi yang beriman berada dalam penantian akan kumandang azan maghrib yang mengantarkan mereka pada kegembiraan yang tersebut oleh baginda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya sebagai satu di antara dua kegembiraan yang dimiliki oleh setiap mukmin yang berpuasa; kegembiraan ketika seteguk air dan sebutir kurma mengalahkan segala nikmat yang ada di dunia yakni kegembiraan saat berbuka puasa dan kegembiraan saat berjumpa dengan Allah di akhirat kelak.

Setiap mu’min petang itu, tenggelam dalam rapal doa yang khusyuk menanti saat berbuka. Saat di mana segala macam doa kebaikan yang naik ke langit lewat lisan-lisan orang berpuasa takkan ada penghalang menuju ArsyNya. Tak terkecuali kami di senja itu pun sedang bersiap menanti saat berbuka puasa di sebuah rumah sederhana. Seperti biasa, ibu, adik, kakak dan isterinya telah duduk manis di meja makan dengan hidangan buka puasa yang tersaji di atasnya, sementara papa yang terbiasa berbuka dengan seteguk air sebelum ke masjid karena terlampau khawatir tak mendapatkan shaf pertama, telah tersaji pula sepiring pisang goreng kesukaan beliau, 3 butir kurma serta segelas air putih di atas meja di ruang tamu untuk memudahkan papa bisa bersegera ke masjid melalui pintu depan begitu azan bergema sesaat setelah berbuka. Saya yang baru saja mandi setelah sore itu bersepeda, memilih berada di ruang tamu menemani papa dan keponakan yang sedang asik bermain. Padahal biasanya saya lebih memilih berkumpul bersama yang lain di meja makan. Papa di sore itu sebagaimana hari-hari yang lalu, sebelum ke masjid beliau sudah berada dalam kondisi fisik yang terbaik; berwudhu, menggunakan gamis kesukaan berwarna coklat susu, peci putih yang selalu tersemat di kepala dan tak lupa harum wewangian yang terhidu dari tubuhnya. Satu hal yang membuat saya salut sama papa adalah waktunya tak pernah terisi oleh hal yang sia-sia. Jika tak sedang membaca al-qur’an atau tidur, lisan beliau selalu basah dengan kalimat-kalimat dalam rangka mengingat Allah. Momen berkumpul bersama keluargapun lebih dimanfaatkan papa dengan memberikan nasihat kepada kami. Meskipun sore itu, Fatih; keponakan saya menggoda papa dengan tingkahnya yang lucu, papa hanya menanggapi dengan tersenyum sembari lisannya tak luput dari zikir kepada Allah. Sesuatu yang sangat sulit saya amalkan di kehidupan saya saat ini.

Pukul 18.36 WIT jelang berbuka di hari ke 14 Ramadan…
Papa menoleh ke saya sembari berujar dengan senyumnya yang khas “3 menit lagi yah!” saya hanya menanggapinya dengan anggukan kepala dan membalas senyumnya. Kebiasaan papa di setiap jelang berbuka adalah mengingatkan kami akan waktu berbuka puasa yang tersisa beberapa menit lagi. Tak lama setelah berkata demikian, sepintas saya melihat papa bersandar di sofa sambil menarik napas, sementara Fatih tertawa menatap kakeknya dalam kondisi demikian. Awalnya saya menduga bahwa papa hanya menggoda Fatih, tapi berikutnya saya merasa ada yang aneh dari ekspresi yang ditunjukkan papa. Saya mendekati papa, menatap wajahnya lekat-lekat yang tampak kesakitan. Saya memanggil beliau sambil meminta untuk tetap beristighfar. Tak ada sesiapa di ruang tamu, hanya saya, papa dan Fatih. Entah kenapa tiba-tiba jantung saya berdebar tak karuan, meskipun papa dalam kondisi sehat sebelumnya, sebagai seorang dokter terlebih sebagai seorang anak perempuan satu-satunya yang dekat dengan papa, firasat saya teramat kuat bahwa saat itu adalah saat di mana papa sedang dijenguk malaikat rahmah (insyaAllah), saat di mana telah ditampakkan seluruh amal perbuatan papa semasa di dunia, saat dimana malaikat maut perlahan mengeluarkan ruh papa dari jasadnya. Meskipun singkat, hati saya teriris, merintih melihat papa yang kesakitan menahan pedihnya kematian; Dan setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian……

Saya tersadar dari kondisi sebelumnya yang hanya bisa terpaku menatap papa. Bergegas saya memanggil mama dan yang lainnya di ruang makan. Melihat kondisi papa, kakak laki-laki saya dan isterinya yang juga adalah seorang perawat, berusaha melakukan pertolongan pertama kepada papa, sedang adik saya berlari keluar memacu motornya mencari mobil untuk membawa papa ke rumah sakit. Saat papa dibaringkan, napasnya mulai terdengar lemah, kakak saya masih sibuk melakukan resusitasi jantung paru. Ibu, hanya bisa mematung, terdiam menatap papa dalam kondisi demikian dengan air mata yang terus mengalir tak henti-hentinya. Saya yang berada tepat di kepala papa berusaha membantu papa dengan talqin, saya bisikkan kalimat ‘Laa ilaha illallaah’ berulang kali tepat di telinga papa. Tak lama adik saya tiba dan meminta papa segera dibawah ke IGD. Meskipun saya sadar saya adalah seorang dokter, seharusnya saya berusaha melakukan tindakan pertolongan terbaik buat papa, menyelamatkan nyawa papa, tapi naluri saya sebagai seorang anak membuat saya meminta kepada mama, kakak dan adik saya untuk tak perlu membawa papa ke rumah sakit. Saya tidak ingin detik-detik berharga papa dalam menjalani sakarat dilewati di perjalanan. Sayapun meminta kakak dan adik untuk sama-sama memindahkan papa ke tempat tidur di kamar saya.

Dan pukul 18.39 WIT memasuki hari ke 15 ramadan, di tempat tidur itulah, setelah satu tarikan napas panjang yang teramat lemah,diikuti kumandang azan yang bersahutan dari beberapa masjid sekitar, tepat di saat orang-orang beriman di wilayah kami berbuka puasa, ruh papapun keluar menuju illiyiin, menuju lapis langit ke tujuh tempat bersemayam ruh orang-orang beriman (InsyaAllah). Beliau dipanggil menujunya masih dalam keadaan berpuasa. Ibu yang tak siap melihat kepergian papa yang begitu tiba-tiba sempat berucap sambil terisak “mengapa tidak menunggu berbuka puasa dulu?” saya berusaha menguatkan ibu kala itu, meminta beliau beristighfar karena seakan-akan tidak menerima ketetapan Allah kemudian sayapun berujar lirih “Papa tadi masih Allah takdirkan sahur bersama kita di dunia, tapi semoga papa saat ini telah berbuka bersama para malaikatNya yang mulia…”

Innalillaahi wa innailahi raajiuun…. Setiap kita akan diwafatkan sebagaimana kebiasaan kita; demikian perkataan para salaf. Dan hari ini, saya, ibu dan saudara-saudara saya sendiri menjadi saksinya. Papa yang tak pernah meninggalkan puasa sunnah senin-kamis, yaumul bidh serta puasa-puasa sunnah lainnya. Papa yang selalu menjaga wudhunya… papa yang tak pernah kering lisannya dari berdzikir kepada Allah, hari ini dipanggil dalam kondisi sebagaimana kesehariannya. Semoga dengannya Allah menjadikan akhir beliau adalah akhir yang baik (husnul khatimah), insyaAllah. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa afihi, wa’fu anhu.
Selengkapnya...

rin_iffah




"Waktu makan sahur tersisa satu menit." Demikian pengumuman yang disampaikan lewat radio maupun masjid dekat rumah. Dan satu menit setelah itu terdengarlah bunyi sirine tanda waktu imsak tiba. Pada kondisi tersebut, seluruh aktivitas makan minum pun dihentikan meskipun azan subuh masih akan berkumandang sepuluh hingga lima belas menit kemudian. Kebiasaan ini sudah berlangsung entah sejak kapan di Ternate bahkan mungkin hampir merata di seluruh Indonesia. Karena semenjak pertama kali kami mulai belajar berpuasa, bunyi sirine yang cukup menakutkan bagi mereka yang belum sempat sahur di belasan menit sebelum subuh ini sudah lazim terdengar. Sayangnya... menahan diri dari makan sahur (imsak) seperti ini (sependek pemahaman kami) malah tidak sesuai dengan tuntunan syariat meskipun (konon) tujuannya baik; untuk lebih berhati-hati. Padahal jelas dalam al qur'an disebutkan “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al Baqarah: 187)

Fajar yang dimaksud adalah fajar shadiq penanda masuknya waktu subuh yang saat ini lebih kita ketahui lewat kumandang azan subuh. Nabi pun sangat menganjurkan ummatnya untuk mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Namun dalil tersebut tidak serta merta menjadikan kita bermalas-malasan untuk bersahur. Karena ada sebagian dari kita yang malah masih dengan tenangnya bersantap sahur di saat azan subuh telah dikumandangkan lalu berdalih belum terbit fajar atau azan subuhnya terlalu cepat dari waktu terbit fajar. Olehnya, meng-ilmui perkara terkait penyempurna ibadah shaum juga adalah bagian dari kebutuhan masing-masing diri agar tak sampai keliru dalam beramal. -CMIIW-

Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita dalam bergiat menjalankan ibadah di hari-hari ramadan yang semakin bergulir cepat
Selengkapnya...