rin_iffah


Bismillah... risalah ini terluapkan di tengah kerinduan mengenang sosok-sosok yang dahulu pernah membersamai diri di tiap derap perbaikan, di saat kuat maupun lemah.
Ketika anda bersua dengan mereka dalam lingkaran di sudut-sudut masjid, penuh kekhusyu’an, ketundukan, terhanyut dalam tiap lantunan ayat yang mengalun lembut menggetarkan serta melembabkan hati-hati mereka. Maka Janganlah dulu terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah jelmaan malaikat berjasad manusia, selalu suci dan tak pernah terjatuh dalam dosa.

Perhatikanlah mereka lebih dekat. Di sana ada akhwat berkaca mata yang ternyata agak perfeksionis. Mudah tersulut emosi ketika membiarkannya sedikit menunggu. Kemarahannya bisa terlampiaskan dengan kata-kata, memukul tembok atau justru diam seribu basa. Dan aku pernah merasakan luapan emosinya yang begitu lama. Yah, aku pernah didiamkan ber hari-hari dengan alasan yang aku tak pernah tahu. Tapi sungguh, dibalik sosok ‘keras’nya, ia pernah menangis di saat melihat dakwah di fakultasnya berjalan di tempat. Tangan kreatifnya pernah menghasilkan sebuah majalah mungil yang tak pernah terlupa sepanjang sejarah perjuangan dakwah di kampusnya. Bahkan dibalik sifatnya itu tersimpan sisi kelembutan seorang murobbiyah.... melihatnya, aku terbayang sosok sahabat Rasulullah yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallaahu anhu.


Anda tak akan pernah membayangkan bagaimana ia mampu mengakrabi sosok lemah lembut yang ada di sampingnya. Akhwat berjilbab coklat berkulit sawo matang yang tengah tertunduk khusyuk menilai kedalaman dirinya. Ia lebih banyak diam, berbicara seperlunya. Sering sakit-sakitan menjadikan fisiknya begitu lemah, tapi tidak dengan semangat juangnya. Kadang ia bisa jauh lebih kuat menahan kantuk dalam musyawarah yang menyita waktu tidurnya di malam hari. Ia begitu menikmati tiap detik begadang syar’i yang dijalaninya. Sosok lemah itu begitu panjang ketika sujud, suaranya yang merdu menjadikannya selalu diminta menjadi imam ketika sholat berjama’ah.

Sekarang, lemparkan pandangan anda lebih jauh lagi. Apakah anda melihat akhwat berjilbab hitam berkacamata dengan frame hitam agak tebal yang perawakannya jauh lebih besar dibanding akhwat yang lain??? Suaranya agak besar, terkadang menggelegar, sebesar harapannya mengembangkan dakwah di fakultasnya. Sosok tangguh yang tergambar lewat fisiknya ternyata dikarunia kepolosan di tiap harapan dan keinginannya.

Di sana ada juga sosok yang tak bisa diam, keras kepala, ada yang begitu jujur mengekspresikan tiap rasa yang dialaminya yang tanpa sengaja rasa itu mampu melukai sesosok makhluk yang hatinya begitu rapuh, mudah terbawa perasaan ketika tersakiti dalam sebuah musyawarah pun dalam interaksi amal jama’i. Ada sosok pemalu yang di tiap kali jumpa tak ada kata yang bisa dinikmati dari lisannya, ia justru lebih banyak bergerak, berbuat di saat yang lain mulai terkulai lemah. Anda juga akan menjumpai sosok yang penuh semangat sepanjang hari, yang dengan mudahnya ia tularkan semangat itu kepada orang-orang disekitarnya.

Sosok-sosok yang secara inderawi terlihat begitu anggun, begitu tangguh, adalah juga manusia biasa yang tetap berbalut karakter khusus. Hijrahnya tak serta merta menjadikan mereka memiliki karakter yang sama yang sering tergambarkan oleh mata awam sebagai seorang akhwat dengan kesempurnaan ke’akhwatan’nya. Maka jangan pula anda melempar vonis bahwa mereka hanyalah sosok penuh dosa yang tak pantas diqudwah. Justru karakter ini terbingkai indah setelah hijrah dibawah naungan al-qur’an dan sunnah, dalam wujud yang lebih mulia, dalam dakwah dan tarbiyah.

Mereka, manusia-manusia biasa yang istiqomah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Karakter khas masing-masing tak menjadikan mereka semakin terjarakkan, tetapi kecenderungan-kecenderungan yang berbeda itu menjadikan dakwah mereka penuh warna. Ada kalanya mereka lepas dalam canda, saling berbagi dalam tawa, bebas tanpa beban. Terkadang mereka bisa begitu serius dalam tiap majelis syuro. Mereka pun sering menangis bersama, mengingatkan tentang beratnya amanah, dosa, dan neraka. Di majelis kebersamaan mereka, atau di sela rehat sesaat, pun dalam lintasan perjumpaan yang singkat, mereka tetap saling mengingatkan, selalu berucap kepada sesama : “saudariku... mari sejenak kita beriman”.

Mereka, sosok-sosok tak sempurna yang tlah menjadi penggerak keshalihan, penyulut cahaya perbaikan. Mereka, yang dengan ketaksempurnaan serta segala sifat kemanusiaannya mencoba berbuat untuk diin ini. Ada sederet kata yang tak pernah mereka ucapkan kepada penerus setelahnya, tapi ketahuilah mereka tetap bersuara dalam diam, ingin berpesan dalam tiap gerak amal bahwa sungguh saat ini dan kapanpun tetaplah melihat sisi kemanusiaan mereka tanpa harus menghinakan, telusuri tiap semangat mereka tanpa sanjungan berlebihan. Merekapun kadang mengalami titik jenuh di saat berjuang, ada fragmen dimana mereka sedikit menjauh... dan ketika saat itu tiba mendekatlah, rangkul mereka dalam indahnya kebersamaan. Karena ketika anda memutuskan untuk berjuang bersama mereka, maka andapun telah siap untuk menelisik dan menikmati detail ketidaksempurnaan mereka setiap waktu.

Ketahuilah, islam memuliakan semua posisi, semua potensi.... Jikalau tak memungkinkan menjadi karang yang kokoh di tengah lautan, menjadi rumput nan lembut di tengah padang yang tak tergoyahkan dihempas angin pun tetap agung nilainya. Maka demi Allah, tidak ada halangan menjadi mulia dengan alasan tak sempurna serta potensi yang tak tersalurkan. Karena ketaksempurnaan-mu adalah penggerak keshalihan diriku, dirinya dan tiap jiwa yang merindukan cahaya surga. Wallaahul musta’an...

Share

0 Responses

Posting Komentar