Sebuah sms masuk ke inbox ku : “dok bisa minta obat flu yang ‘maut’ ?” aku hanya tersenyum, beberapa saat kemudian membalas sms tersebut : “obat flu yg paling maut; banyak minum air putih n istirahat yang cukup” dugaanku tidak meleset, selang beberapa detik sms balasan masuk : “sudah dok, tapi masih belum sembuh nih” tanpa berpikir lama aku membalas sms nya: “tunggu sampe seminggu, kalo belum sembuh baru ta kasih obat”.
Beberapa bulan sebelumnya, di tempat praktek : “masak anak saya cuma dikasih obat penurun panas dok, kalo bisa resepkan antibiotik yang paling bagus. Biasanya kalo berobat ke dokter _____________ dikasih antibiotik plus 3 macam obat lain, dan begitu diminum besoknya langsung sembuh” protes seorang ibu ketika mengetahui anaknya yang semalaman panas tinggi hanya ku resepkan satu macam obat yang itupun kalau mau bisa dibeli bebas di apotek.
Di sebuah tempat praktek, sebut saja dr. G, ketika menggantikan praktek salah seorang dokter senior yang tiap malam rata-rata kunjungan pasiennya di atas 30 orang dengan jam praktek berkisar 3-4 jam mengeluhkan rewelnya pasien yang ia periksa disaat ia tidak memberikan obat, ataupun obat tertentu yang dirasa tidak perlu diberikan, bahkan ketika obat tersebut adalah obat generik yang relatif murah ia justru diprotes sama pasien “maaf dok, biasanya saya dikasih obat harganya di atas seratus ribu, saya jadi ragu apakah saya bisa sembuh dengan dua macam obat generik ini”. Nih pasien entah semakin cerdas atau justru semakin tersesat... keluh dokter G dalam hati. Ingin sekali ia menjelaskan panjang lebar kepada pasien alasan ia memberikan obat murah meriah tersebut, tetapi begitu ia melihat arlojinya sudah menunjukkan pukul 9 malam sedang di luar pasien masih berjubel terpaksa diurungkan niatnya, mengalah.... dan kemudian menulis kembali resep sejumlah obat ‘bermerk’. Pasien pun keluar dengan senyum lebar dan perasaan puas.
Kejadian-kejadian seperti di atas bukanlah hal baru yang dialami oleh dokter ketika berhadapan dengan pasien. Ada hal menarik yang patut dicermati terkait hubungan dokter-pasien ini. Asumsi hampir sebagian besar masyarakat khususnya di Indonesia, begitu sakit segera ke dokter dan wajib hukumnya pulang dengan sekantong obat-obatan. Semakin mahal suatu obat maka semakin manjur pula obat tersebut. Itulah mengapa ketika kutegaskan kepada para mahasiswa untuk tidak ke dokter dan tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan jika panas atau batuk baru 3 hari, mereka hanya melongo bingung setengah terheran bahkan sempat ada mahasiswa yang bertanya “kok bisa-bisanya dokter tidak menganjurkan pasien minum obat??”
Saat ini telah merebak pemahaman yang keliru pada kebanyakan masyarakat kita tentang konsep sehat-sakit serta perlunya berobat ke dokter. Hal ini biasa muncul karena kondisi panik serta tidak tega ketika melihat anak sakit, atau tidak sabar dengan sedikit penderitaan yang dialami saat terserang penyakit atau juga kuatnya keyakinan bahwa semua penyakit membutuhkan obat. Oleh karenanya menurut WHO ‘faktor pasien’ juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Irrational Use of Medicine (IRUM). Menurut WHO, lebih dari 50% obat yang beredar di dunia (baik melalui peresepan maupun yang dijual bebas) telah digunakan dengan tidak semestinya. Nah, ketika kesalahan berpikir pasien dengan ‘memaksa’ dokter untuk meresepkan obat yang tidak perlu, justru kita akan semakin menambah presentase di atas.
Pertanyaannya apakah wajib hukumnya ketika ke dokter harus mendapatkan obat? Dalam bukunya Smart Patient, dokter Agnes menyebutkan bahwa ada dua alasan utama mengapa paradigma ‘ke dokter= dapat obat’ dikatakan tidak tepat.
Alasan pertama, obat sejatinya seperti pisau bermata dua. Bila digunakan dengan tepat dan baik, obat tersebut bisa menjadi kawan. Tapi bila tidak, ia bisa menjadi lawan atau racun dalam tubuh kita. Misalnya saja ketika kita membeli obat anti-nyeri yang bebas di jual di apotek, di kemasan obat tersebut telah tertera efek samping, jika diminum terlalu sering bisa menyebabkan perdarahan lambung dan gangguan liver. Artinya, setiap obat, sesederhana apapun ia; memiliki efek samping yang bisa berbahaya bagi tubuh kita. Namun tidak serta merta berarti kita tidak perlu minum obat ketika sakit. Ada penyakit tertentu seperti TBC yang justru tertolong penyebarannya yang sangat menular dengan mengkonsumsi antibiotik, obat-obat anestesi sangat dibutuhkan untuk menghilangkan nyeri pada saat operasi, ataukah penyakit kronis tertentu yang membutuhkan terapi obat-obatan.
Alasan kedua mengapa paradigma ‘ke dokter = dapat obat’ tidak tepat. Mungkin kita sudah sering mendengar bahwa tidak semua penyakit membutuhkan obat. Tidak ada istilah ‘a pill for every ill’ (sebutir pil untuk setiap penyakit). Kenapa? Karena dari beragam jenis penyakit, ada penyakit yang memang bisa sembuh sendiri melalui sistem pertahanan tubuh kita tanpa perlu obat. Penyakit yang disebabkan oleh virus salah satunya. Penyakit pada otot dan sendi, kegemukan, stres serta beberapa penyakit lain juga tidak memerlukan obat-obatan. Dokter biasanya hanya menyarankan untuk olahraga, membiasakan pola hidup dan makan sehat. Pemberian obat-obatan semestinya mempertimbangkan untung dan rugi. Jadi kalau memang tidak perlu dan hanya menimbulkan efek samping, buat apa minum obat???
Selain faktor pasien yang menyebabkan timbulnya penggunaan obat yang irasional, sistem praktik kedokteran di negara kita juga menjadi faktor lain. Dokter Nadesul dalam artikelnya pernah menulis bahwa di dunia ini tidak ada dokter yang dalam seharinya memeriksa ratusan pasien seperti di Indonesia. “meski dengan undang-undang kedokteran baru, jumlah klinik tempat praktik sudah mulai dibatasi, tapi kalau jumlah pasien yang diperbolehkan diperiksa masih melebihi kemampuan fisik, mental, maupun rasa sosial sang dokter, tetap saja bakal berdampak buruk pada pasien,” tulis dokter Nadesul.
Mari kita bandingkan praktik kedokteran kita dengan negara luar. Tak perlu jauh-jauh, di Singapura seorang dokter praktik dibatasi jumlah pasien nya dengan jam konsultasi rata-rata 30 menit sampai 1 jam dan hebatnya para dokter ini digaji oleh pemerintah dengan sangat layak. Dokter tidak terburu-buru melakukan pemeriksaan sehingga kemungkinan pemberian obat yang tidak rasional jauh lebih rendah, pasien pun merasa dihargai, serta puas berkonsultasi tentang penyakit yang diderita.
Di negeri tercinta ini, saking membludaknya pasien di tempat praktik, seorang dokter bahkan sudah tidak sempat memeriksa pasien dengan teliti, diagnosa penyakit yang sering tidak sempat disampaikan ke pasien, bahkan sampai penggunaan obat yang irasional sangat rentan terjadi. Masih dalam tulisan yang sama dokter Nadesul juga menyebutkan kemungkinan dokter yang melakukan tindakan seperti itu. “Di semua negara, jumlah pasien yang boleh diperiksa dalam sehari dibatasi oleh undang-undang. Itu dimungkinkan karena sistem kesehatan di negara maju dokter digaji penuh oleh pemerintah untuk bisa hidup memadai hanya dengan berpraktik di satu institusi. Dokter kita harus cari tambahan sendiri dan praktik sore hari, sebab gajinya tak memadai untuk standar profesinya. Dokter kita rela menjadi kutu loncat dari klinik ke klinik lain agar banyak meraih sabetan tambahan.”
Rasa khawatir kehilangan pasien juga menjadi faktor lain seorang dokter rela mengkombinasikan berbagai jenis obat yang tidak perlu. Akhirnya dokter meresepkan sejumlah obat yang dikenal dengan ‘obat dewa’. Beberapa jenis antibiotik, ditambah antihistamin, kortikosteroid dan vitamin menjadi senjata terampuh dari dokter yang seperti ini. Yang justru hanya akan semakin melemahkan sistem pertahanan tubuh seseorang.
Sudah saatnya kita merubah paradigma yang salah selama ini tentang dokter, pasien dan obat. Seharusnya, ketika ke dokter yang perlu kita ketahui adalah sebetulnya kita sakit apa serta cara penanganan terbaik seperti apa. Tidak mengapa kita menjadi pasien yang ‘cerewet’ karena sudah menjadi hak seorang pasien untuk bertanya sejelas mungkin tentang penyakitnya dan menjadi kewajiban seorang dokter untuk menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya. Maka ketika ke Dokter tak selamanya harus pulang membawa setumpuk obat. Dan tak perlu kecewa jika kita tidak diberikan obat saat ke dokter. Bukankah ketika kita bisa berdiskusi dengan dokter dan membawa pulang ilmu, sesungguhnya hal itupun sangat berharga???
Mari menjadi pasien cerdas. Pasien cerdas adalah pasien yang proaktif, mengetahui hak dan kewajibannya, berani bicara, bertanya, berkomunikasi efektif, mau belajar, memahami bahwa dokter bukanlah dewa yang tahu segalanya dan harus memberikan obat, mau membangun kemitraan secara aktif dengan dokter, berperan aktif dalam urusan kesehatan, berhati-hati serta teliti sebelum membeli dan meminum obat-obatan, serta bersedia menerima keputusan dan konsekuensi yang telah diputuskan.
Pasien cerdas justru sangat dibutuhkan oleh seorang dokter. Karena pasien yang cerdas dapat membuat para dokter bekerja dengan lebih baik dan profesional. Pasien cerdas dapat menjadi pengingat dan pengontrol kerja dokter, sehingga terjalin kerja sama dengan pasien untuk memutuskan terapi terbaik serta mengurangi kesalahan yang tak perlu. Bagaimanapun, dokter juga manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Wallaahul musta’an.
Share
Kejadian-kejadian seperti di atas bukanlah hal baru yang dialami oleh dokter ketika berhadapan dengan pasien. Ada hal menarik yang patut dicermati terkait hubungan dokter-pasien ini. Asumsi hampir sebagian besar masyarakat khususnya di Indonesia, begitu sakit segera ke dokter dan wajib hukumnya pulang dengan sekantong obat-obatan. Semakin mahal suatu obat maka semakin manjur pula obat tersebut. Itulah mengapa ketika kutegaskan kepada para mahasiswa untuk tidak ke dokter dan tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan jika panas atau batuk baru 3 hari, mereka hanya melongo bingung setengah terheran bahkan sempat ada mahasiswa yang bertanya “kok bisa-bisanya dokter tidak menganjurkan pasien minum obat??”
Saat ini telah merebak pemahaman yang keliru pada kebanyakan masyarakat kita tentang konsep sehat-sakit serta perlunya berobat ke dokter. Hal ini biasa muncul karena kondisi panik serta tidak tega ketika melihat anak sakit, atau tidak sabar dengan sedikit penderitaan yang dialami saat terserang penyakit atau juga kuatnya keyakinan bahwa semua penyakit membutuhkan obat. Oleh karenanya menurut WHO ‘faktor pasien’ juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Irrational Use of Medicine (IRUM). Menurut WHO, lebih dari 50% obat yang beredar di dunia (baik melalui peresepan maupun yang dijual bebas) telah digunakan dengan tidak semestinya. Nah, ketika kesalahan berpikir pasien dengan ‘memaksa’ dokter untuk meresepkan obat yang tidak perlu, justru kita akan semakin menambah presentase di atas.
Pertanyaannya apakah wajib hukumnya ketika ke dokter harus mendapatkan obat? Dalam bukunya Smart Patient, dokter Agnes menyebutkan bahwa ada dua alasan utama mengapa paradigma ‘ke dokter= dapat obat’ dikatakan tidak tepat.
Alasan pertama, obat sejatinya seperti pisau bermata dua. Bila digunakan dengan tepat dan baik, obat tersebut bisa menjadi kawan. Tapi bila tidak, ia bisa menjadi lawan atau racun dalam tubuh kita. Misalnya saja ketika kita membeli obat anti-nyeri yang bebas di jual di apotek, di kemasan obat tersebut telah tertera efek samping, jika diminum terlalu sering bisa menyebabkan perdarahan lambung dan gangguan liver. Artinya, setiap obat, sesederhana apapun ia; memiliki efek samping yang bisa berbahaya bagi tubuh kita. Namun tidak serta merta berarti kita tidak perlu minum obat ketika sakit. Ada penyakit tertentu seperti TBC yang justru tertolong penyebarannya yang sangat menular dengan mengkonsumsi antibiotik, obat-obat anestesi sangat dibutuhkan untuk menghilangkan nyeri pada saat operasi, ataukah penyakit kronis tertentu yang membutuhkan terapi obat-obatan.
Alasan kedua mengapa paradigma ‘ke dokter = dapat obat’ tidak tepat. Mungkin kita sudah sering mendengar bahwa tidak semua penyakit membutuhkan obat. Tidak ada istilah ‘a pill for every ill’ (sebutir pil untuk setiap penyakit). Kenapa? Karena dari beragam jenis penyakit, ada penyakit yang memang bisa sembuh sendiri melalui sistem pertahanan tubuh kita tanpa perlu obat. Penyakit yang disebabkan oleh virus salah satunya. Penyakit pada otot dan sendi, kegemukan, stres serta beberapa penyakit lain juga tidak memerlukan obat-obatan. Dokter biasanya hanya menyarankan untuk olahraga, membiasakan pola hidup dan makan sehat. Pemberian obat-obatan semestinya mempertimbangkan untung dan rugi. Jadi kalau memang tidak perlu dan hanya menimbulkan efek samping, buat apa minum obat???
Selain faktor pasien yang menyebabkan timbulnya penggunaan obat yang irasional, sistem praktik kedokteran di negara kita juga menjadi faktor lain. Dokter Nadesul dalam artikelnya pernah menulis bahwa di dunia ini tidak ada dokter yang dalam seharinya memeriksa ratusan pasien seperti di Indonesia. “meski dengan undang-undang kedokteran baru, jumlah klinik tempat praktik sudah mulai dibatasi, tapi kalau jumlah pasien yang diperbolehkan diperiksa masih melebihi kemampuan fisik, mental, maupun rasa sosial sang dokter, tetap saja bakal berdampak buruk pada pasien,” tulis dokter Nadesul.
Mari kita bandingkan praktik kedokteran kita dengan negara luar. Tak perlu jauh-jauh, di Singapura seorang dokter praktik dibatasi jumlah pasien nya dengan jam konsultasi rata-rata 30 menit sampai 1 jam dan hebatnya para dokter ini digaji oleh pemerintah dengan sangat layak. Dokter tidak terburu-buru melakukan pemeriksaan sehingga kemungkinan pemberian obat yang tidak rasional jauh lebih rendah, pasien pun merasa dihargai, serta puas berkonsultasi tentang penyakit yang diderita.
Di negeri tercinta ini, saking membludaknya pasien di tempat praktik, seorang dokter bahkan sudah tidak sempat memeriksa pasien dengan teliti, diagnosa penyakit yang sering tidak sempat disampaikan ke pasien, bahkan sampai penggunaan obat yang irasional sangat rentan terjadi. Masih dalam tulisan yang sama dokter Nadesul juga menyebutkan kemungkinan dokter yang melakukan tindakan seperti itu. “Di semua negara, jumlah pasien yang boleh diperiksa dalam sehari dibatasi oleh undang-undang. Itu dimungkinkan karena sistem kesehatan di negara maju dokter digaji penuh oleh pemerintah untuk bisa hidup memadai hanya dengan berpraktik di satu institusi. Dokter kita harus cari tambahan sendiri dan praktik sore hari, sebab gajinya tak memadai untuk standar profesinya. Dokter kita rela menjadi kutu loncat dari klinik ke klinik lain agar banyak meraih sabetan tambahan.”
Rasa khawatir kehilangan pasien juga menjadi faktor lain seorang dokter rela mengkombinasikan berbagai jenis obat yang tidak perlu. Akhirnya dokter meresepkan sejumlah obat yang dikenal dengan ‘obat dewa’. Beberapa jenis antibiotik, ditambah antihistamin, kortikosteroid dan vitamin menjadi senjata terampuh dari dokter yang seperti ini. Yang justru hanya akan semakin melemahkan sistem pertahanan tubuh seseorang.
Sudah saatnya kita merubah paradigma yang salah selama ini tentang dokter, pasien dan obat. Seharusnya, ketika ke dokter yang perlu kita ketahui adalah sebetulnya kita sakit apa serta cara penanganan terbaik seperti apa. Tidak mengapa kita menjadi pasien yang ‘cerewet’ karena sudah menjadi hak seorang pasien untuk bertanya sejelas mungkin tentang penyakitnya dan menjadi kewajiban seorang dokter untuk menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya. Maka ketika ke Dokter tak selamanya harus pulang membawa setumpuk obat. Dan tak perlu kecewa jika kita tidak diberikan obat saat ke dokter. Bukankah ketika kita bisa berdiskusi dengan dokter dan membawa pulang ilmu, sesungguhnya hal itupun sangat berharga???
Mari menjadi pasien cerdas. Pasien cerdas adalah pasien yang proaktif, mengetahui hak dan kewajibannya, berani bicara, bertanya, berkomunikasi efektif, mau belajar, memahami bahwa dokter bukanlah dewa yang tahu segalanya dan harus memberikan obat, mau membangun kemitraan secara aktif dengan dokter, berperan aktif dalam urusan kesehatan, berhati-hati serta teliti sebelum membeli dan meminum obat-obatan, serta bersedia menerima keputusan dan konsekuensi yang telah diputuskan.
Pasien cerdas justru sangat dibutuhkan oleh seorang dokter. Karena pasien yang cerdas dapat membuat para dokter bekerja dengan lebih baik dan profesional. Pasien cerdas dapat menjadi pengingat dan pengontrol kerja dokter, sehingga terjalin kerja sama dengan pasien untuk memutuskan terapi terbaik serta mengurangi kesalahan yang tak perlu. Bagaimanapun, dokter juga manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Wallaahul musta’an.
Posting Komentar