Sore itu cuaca kurang bersahabat, hujan deras mengguyur Ternate sejak siang. Padahal malamnya saya dan ibu sudah berencana akan berangkat ke Kayoa. Perjalanan ke Kayoa harus kami tempuh menggunakan transportasi laut sehingga harus mempertimbangkan keadaan alam saat itu. Syukurlah selepas maghrib hujan pun mulai reda. Saya kembali mengemas barang-barang yang akan dibawa selama tiga hari di sana. Persiapan kali ini lumayan banyak, mulai dari pakaian layak pakai yang akan kami bagikan ke seisi kampung nanti, ransel emergensi yang penuh dengan obat-obatan, beras sekarung, kamera kesayangan beserta tripod, Charger, modem, power bank -yang ternyata tidak banyak manfaatnya setelah tiba di sana-
Tepat jam sepuluh malam, kapal yang kami tumpangi bertolak dari pelabuhan Bastiong menuju Kayoa. Tempat di mana saya akan kembali merangkai kenangan masa lalu. Di luar purnama menggantung indah dengan bayang-bayangnya yang memesona memantul dari lautan yang teduh malam itu. Sekitar empat atau lima jam lagi, kapal ini akan tiba di pelabuhan Guruapin, ibu kota kecamatan Kayoa.
Pukul satu malam, saya terbangun karena suara ribut. Rupanya kapal kami mampir sebentar di pulau Makean untuk menurunkan sejumlah penumpang. Makean, pulau dengan suku yang paling banyak menyebar di Propinsi Maluku Utara ini tak juga berubah wajahnya. Makean yang terkenal dengan generasi ‘cerdas’nya, yang kesuksesan mereka menjadi buah bibir di penjuru tanah al Mulk ternyata tak mampu merias kampung halaman mereka menjadi sedikit lebih baik. Makean masih saja gelap seperti hari-hari sebelumnya. Jaringan mulai melemah saat kapal mulai bertolak dari Makean menuju Kayoa. Sebelum akhirnya tiba di Guruapin sebagai tempat berlabuh terakhir, kami akan mampir sebentar di Desa Modayama. Semoga prediksi saya meleset kalo di Kayoa nanti bakalan kehilangan signal.
|
Salah satu rumah penduduk di Guruapin |
Pukul tiga dini hari, kami tiba di pelabuhan Guruapin. Sebagian penumpang turun dan pulang ke rumahnya masing-masing. Saya, ibu dan beberapa penumpang tersisa memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu subuh, karena kami masih harus melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya menggunakan *perahu katinting saat fajar menyingsing nanti. Saya melirik sejenak ke layar Handphone. Whattt??? Tidak ada signal??!! Bagaimana bisa?? Bagaimana bisa saya akan berbagi cerita dengan teman-teman di luar sana yang sudah menanti serunya perjalanan ‘pulang kampung’ saya ini? Bagaimana caranya saya berkirim kabar atau berbagi rindu yang mungkin saja akan semakin menggebu kepada mereka yang saya sayangi?? Bagaimana bisa?? It’s really confused me!!!
Saya terhentak dari lamunan saat azan subuh berkumandang dari salah satu masjid yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Masjid penuh kenangan itu bagaimana kabarnya? Adakah secara fisik tlah direnovasi menjadi sebuah bangunan masjid modern layaknya masjid-masjid megah saat ini? Akankah semakin banyak jama’ah yang memenuhi tiap shafnya? Masihkah terdengar muraja’ah hafalan surah-surah pendek dari lisan bocah-bocah seusia saya dua puluhan tahun lalu ba’da sholat subuh ditemani tatapan awas ustadz sembari memukul-mukulkan sebilah rotan ke tangannya sendiri? Atau masihkah ada adegan nakal anak-anak yang saling menarik sarung temannya saat imam sholat mulai melafazkan takbiratul ihram, dan berakhir dengan tubuh-tubuh mungil itu di lempar keluar jendela tanpa ampun oleh bapak tua penjaga masjid. Membayangkan semua itu, rasanya tak sabar mempercepat langkah menuju masjid dan mengulang semua kenangan itu. Saya terpaku menatap bagunan masjid tua yang ada di depan saya ini, sebelum akhirnya ibu memegang bahu saya lembut sembari berujar
“ayo masuk, kita shalat subuh dulu”
|
Masjid Guruapin yang menyimpan sejuta kenangan |
Suasana sekitar masjid begitu sepi. Tak ada suara ribut para bocah yang saling berebutan wudhu, atau tawa anak-anak gadis yang saling membantu merapikan rambut yang terselip keluar dari balik mukena. Di dalam masjid, seorang bapak paruh bayah tengah bersujud menyempurnakan shalat sunnah fajar. Awalnya saya mengira bahwa shalat subuh telah usai ditunaikan jika tak melihat satu dua orang jama’ah mulai berdatangan memasuki halaman masjid.
“Imam masjid itu dari dulu masih sama. Beliau hanya seorang penjual ikan yang akhirnya mampu berangkat haji karena ketekunannya” bisik ibu pelan sembari mengarahkan pandangannya ke seorang kakek yang baru saja masuk ke dalam masjid. Tak berapa lama kemudian, shalat subuhpun ditunaikan dengan jumlah jama’ah laki-laki yang tak sampai satu shaf penuh. Allahumma….. Apa yang terjadi dengan penduduk negri ini? Bahkan dua rakaat pembuka hari pun tak sanggup mereka jalankan. Ataukah tak ada lagi di antar hamba-hambaMu yang shalih hadir tuk member peringatan?? Sudahkah?? Ada yang menyesak memenuhi relung dada saat tersungkur di hadapanNya subuh itu.....