rin_iffah

Subuh.... di antara bekas dinginnya malam yang merayap dan merayu tubuh untuk tetap berpelukan dengan hangatnya mimpi. Perlahan coba kutepis naluri kemalasan dengan menyebut namaNya sebagai bentuk syukur tlah hidup kembali setelah semalam dimatikan olehNya. “Alhamdulillaahillazii ahyaana ba’da ma amaatana wailayhinnusyuur”. Satu ikatan syetan tlah lepas. Ikatan kedua kulepaskan dengan sentuhan air wudhu. Grrrhhh.... kesejukan tiba-tiba merasuk, tidak saja pada anggota tubuh yang terbasuh, tapi juga melingkupi seluruh pori-pori kulit membangkitkan rasa dan raga tuk segera bersujud di hadapanNya. Satu ikatan terakhir tertebus dengan 2 rakaat sholat..... terijabah kah sholatku??? Tetap berharap!!!

Masih ada 1 jam lebih sebelum memulai aktivitas. Kunikmati pagi ini dengan mengukir kenangan di jalan sekitar rumah. Sepi... sesekali terlihat beberapa orang bapak2 paruh baya pulang ke rumah setelah sholat subuh di masjid sebelah diikuti bayangan panjang yang tersoroti lampu jalanan yang remang-remang. Langit di sebelah barat masih gelap berhiaskan bintang ,menanti kehadiran sang surya tuk gantikan tugasnya setelah semalaman begadang. Rintihan panjang jangkrik diiringi kokok ayam dan lolongan anjing bersahut-sahutan mencoba membangunkan jiwa-jiwa yang masih berselimut kemalasan. Di jalanan aspal yang mulai berlubang di sana-sini tergenang air kecoklatan, tampak satu dua orang yang berlari-lari kecil. Tanah yang semalaman terbilas oleh curahan air dari balik awan yang sekian lama dinanti serta embun dari rerumputan sepanjang jalanan memberikan aroma yang begitu menusuk menghadirkan simfoni pagi yang menyejukkan jiwa.


Sekitar lima ratus meter perjalanan, setelah melewati Pilla Mart yang menjadi shopping centre warga sekitar, kucoba nikmati alunan zikir alam yang begitu memikat. Di sisi kiri kanan terhampar sawah dengan hijaunya di antara tanaman enceng gondok liar yang mulai mengusik, kicauan burung pipit, perbukitan hijau yang perlahan tertutupi oleh bangunan-bangunan baru seakan mencoba bersaing dengan maha karya teragung Sang Pencipta, serta siluet jingga di ufuk timur petanda terbangunnya sang surya dari tidur panjang. Toh, Semuanya tlah dikalahkan oleh pemandangan yang jauh lebih menarik pagi ini. Di seberang jalanan, dibalik gundukan sampah yang hampir setinggi perbukitan di belakangnya, dua orang bocah sedang mengais-ngais gundukan itu seperti ada yang dicari. Di atas gundukan itu tertancap sebuah papan pengumuman yang jelas terbaca DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI. Keduanya sibuk memilah-milah sesuatu, sebagian dikumpulkan menjadi gundukan yang lebih kecil disamping gundukan yang besar, sebagian lagi dibuang sambil sesekali terdengar suara ribut dua bocah ini memperebutkan apa yang ada di tangannya seolah enggan kehilangan barang berharga. Ah, barang yang mereka anggap berharga tak lebih dari sebuah panci peot dengan lubang besar di tengahnya dan sebuah sapu ijuk yang kusam dan rontok. Setelah mereka merasa puas bermain-main dengan sesuatu yang menurutku menjijikan, saatnya barang2 hasil pencariannya dipindahkan ke sebuah gerobak. Gerobak besar bercat putih kecoklatan yang mulai memudar warnanya dengan sepeda tua sebagai pengayuh itu jauh lebih besar dari tubuh kedua bocah ini. Gerobak besar itu nyaris menenggelamkan keduanya. Salah seorang dari mereka naik ke atas gerobak, dan dengan gaya bak kenek angkot ia berteriak ke temannya yang lain. ‘Ayo jalan.... ‘ dan gerobak pun mulai meninggalkan tempat dimana mereka mencari harta karun. Kulirik sejenak jam tanganku, baru pukul 05.45.... hmmm, mereka berpagi-pagi ke tempat ini untuk berebutan barang-barang bekas penduduk sekitar yang lebih dikenal dengan sebutan SAMPAH. Sesuatu yang identik dengan kotor, menjijikkan dan tempat bersarangnya penyakit justru bagi kedua bocah ini adalah barang berharga sumber kehidupan mereka sehari-hari. Mengais sampah bagi mereka adalah mengais rezki mereka di hari itu. Ikhtiar sederhana menjemput rezki dariNya. Padahal anak seumuran mereka lebih pantas berada di dalam ruang kelas menikmati lezatnya hidangan ilmu untuk masa depan.


Belum sempat kulepaskan pandangan, terdengar suara ribut dari sebuah mobil yang perlahan mendekat. Di dalam mobil ada beberapa anak berseragam putih merah yang riang gembira. Tiba-tiba ada sesuatu yang dibuang dari dalam mobil, spontan bocah pengayuh gerobak menghentikan gerobaknya dan berlari kencang berlomba bersama temannya ke arah benda yang dibuang. Tak berapa lama bocah pengayuh gerobak berteriak keras menyebutkan kata-kata yang tak jelas terdengar, melompat-lompat kegirangan sambil mengacungkan benda yang baru dipungutnya. Hoo..oh... benda itu hanyalah dua buah kaleng bekas minuman yang dibuang oleh anak-anak yang berada di dalam mobil tadi.


Begitu asyiknya kuperhatikan adegan di depanku, tak terasa semburat sinar mentari dari balik bukit mulai menghangatkan wajah, itu berarti saatnya aku kembali tuk mulai aktivitas. Kulangkahkan kaki, pulang mengikuti irama langkah kedua bocah pemungut sampah. Ingin rasanya cepat menyusul mereka dan mencoba menikmati kebahagiaan yang terlihat jelas di mata mereka. Tapi, ah... aku didahului oleh seorang wanita tua yang berjalan cepat meninggalkanku di belakangnya. Aku tersentak, terdiam sejenak menyaksikan pemandangan yang barusan kulihat. Lagi-lagi aku dibuat terpaku di tempatku.... Seorang wanita tua berusia hampir 60 tahun yang dipundaknya bertengger sepotong bambu berdiameter dua kepalan orang dewasa dan kira-kira 5 meter panjangnya, melaju meninggalkanku yang kebingungan hanya mengucap masyaAllah berulang kali. Begitu wanita ‘perkasa’itu melewati kedua bocah di depannya, dengan sigap sang bocah yang berada di atas gerobak yang sementara di dorong oleh temannya melompat dari dalam gerobak, dan tanpa dikomando ataupun menawarkan bantuan ia sudah berdiri di belakang wanita tua itu membantu memikul bambu yang lebih pantas dipikul oleh orang dewasa laki-laki yang bertenaga.


Aku baru tersadar setelah mereka jauh meninggalkanku, punggung-punggung yang tersisa dalam pandanganku itu begitu kokohnya. Kokoh menopang jasad agar bertahan terhadap kerasnya hidup. Kokoh menopang orang-orang di sekitar mereka dengan ikhtiar menjemput rezki yang halal. (aku kalaaaah jauuuh dari mereka... bahkan ikhtiarku pun tak nampak, ikhtiar menjemput rezki yang kulakukan selama ini adalah dengan menengadahkan kedua tangan sambil mengemis di depan kedua orang tua.... bahkan pengemispun masih punya ikhtiar. Yah.... ikhtiar dengan sebuah kaleng bekas dan baju compang-campingnya).


” Ya Allah, Engkau hidupkan kembali HambaMu hari ini tuk belajar dari mereka. Belajar ‘malu’ untuk selalu bergantung pada makhlukMu”.
Share

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar