rin_iffah

Semalam pas mampir sebentar di lesehan dekat rumah, tiba-tiba ada yang menyodorkan selebaran kampanye salah satu capres, ada kalimat menarik yang tertulis di bait-bait akhir, 5 MENIT DI TPS MENENTUKAN 5 TAHUN KEHIDUPAN BANGSA. Yah, kesempatan baik yang harusnya termanfaatkan, oleh kebanyakan kita justru bingung buat menentukan pilihan bahkan ada yang berputus asa dan memilih mengambil langkah diam di tempat tidak memilih karena berbagai alasan; salah satunya belum ada calon pemimpin yang sesuai harapan.

Tiba-tiba teringat dengan kepemimpinan yang dijalankan oleh manusia termulia sepanjang sejarah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam, juga kepemimpinan para sahabat setelahnya. Sungguh, kisah kepemimpinan sejati mereka terlukis indah di atas kanvas peradaban dunia berbingkai emas dan mutiara oleh akhlak dan kemuliaan jiwa.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, yatim seketika sejak lahirnya, lalu hidup di pedesaan Bani Sa’d yang penuh kesegaran dan kesantunan. Persusuan itu member makna yang lebih dari sekedarnya. Lalu ia kembali ke asuhan ibunda. Hanya sesaat, lalu ia piatu. Sang kakek membawa kanak-kanak ini ke inner circle pemerintahan Quraisy. Itupun,lagi-lagi tak lama. Hingga ia dibawa berkenalan oleh paman termiskinnya ke dunia nyata; menggembala kambing untuk melanjutkan hidup. Jauh dari hingar bingar politik, tapi imajinasinya membangun sebuah kepemimpinan pada kambing-kambingnya seperti yang ia saksikan saat kakeknya mengelola Makkah.

Di usia dua belas tahun ia menjadi manajer unit usaha internasional Abu Thalib sampai ke Syam, dan dialah sales yang menjadi kunci sukses kafilah dengan kejujurannya. Usia dua puluhan dia menjadi pengelola utama bisnis besar yang diinvestasikan Khadijah. Dia, interpreneur dengan sifat nabawi : shiddiq (jujur), amanah (kapabel), fathanah (smart), dan tabligh (informatif); sifat-sifat yang kini dirujuk teori enterpreneurship modern.

Beliau seorang panglima, administrator militer yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Sepuluh tahun di Madinah, 30-an ghazwah beliau pimpin sendiri di samping 300-an sariyah (detasemen) yang beliau bentuk dan berangkatkan. Dari segi jumlah ini saja, Napoleon Bonaparte kebanggaan Eropa, George Washington ataupun Simon Bolivar-nya Amerika Latin tak ada seujung kukunya.

Adakah orator dengan daya tahan sekaligus daya mempertahankan massa seperti beliau? Menjelang wafat, beliau pernah berkhutbah setelah subuh sampai dzuhur, dilanjutkan lagi sampai ashar, lalu dilanjutkan lagi sampai maghrib tanpa seorangpun bosan, tertidur, mengantuk, ataupun bersuara kecuali untuk memenuhi seruan beliau. Bahkan sebagaimana dituturkan Tsauban dalam haditsnya, para sahabat begitu terbawa suasana sendu, semua mencucurkan air mata, seolah khutbah itu merupakan salam perpisahan dari sang kekasih tercinta.

Beliau seorang pemimpin besar, namun tak pernah merasakan nikmatnya berbaring di atas kasur empuk layaknya para pemimpin di zamannya. Alas tidurnya hanyalah sebuah tikar yang terbuat dari jalinan rumput yang meninggalkan bulir merah di sekujur tubuhnya. Padahal jika beliau mau semua kenikmatan dunia dapat beliau raih dengan sangat mudah, tapi bayangan kenikmatan akhirat membuat beliau mampu untuk bersabar. Manusia mulia ini, bahkan pada detik-detik kematiannya masih begitu merisaukan ummatnya. ‘ummati.... ummati... ummati...’.

Kepemimpinan sejati beliau tertular kepada sahabat-sahabatnya. Siapa tak kenal dengan Umar bin Khattab, kepemimpinnanya mendecak kagum siapa saja yang pernah menelusuri sirahnya. Adalah Faiz, seorang anak kecil yang terinspirasi dengan kekhalifaan beliau, menyatakan perasaannya lewat selembar surat yang dipersembahkan kepada pemimpin negeri ini yang saat itu di jabat oleh Megawati. Mencoba mengajak bu presiden untuk bersama meneladani kepemimpinan Umar bin Khattab lewat bahasanya yang lugu, apa adanya.

Keteladanan itupun tak berhenti sampai pada khulafaur Rasyidin. Adalah Umar bin Abdul Azis, beliau hidup jauh setelah wafatnya Rasulullah. Tapi sungguh kepemimpinan beliau adalah satu diantara begitu banyak kisah yang menyejarah. Di masa pemerintahannya, keadilan merata di seluruh penjuru negeri. Satu keteladanan yang patut ditiru adalah kisah di suatu malam bersama anaknya. ketika itu datang anaknya ingin membicarakan hal pribadi dengan sang ayah. Saat itu Umar bin Abdul Azis sedang menulis sesuatu yang merupakan bagian dari tugas Negara. Mengetahui kehadiran anaknya beliaupun bertanya, “ dalam rangka apa engkau datang kepadaku? Apakah untuk membicarakan masalah rakyat ataukah pribadi?” anaknya menjawab bahwa apa yang ingin dia bicarakan dengan ayahnya sehubungan dengan masalah pribadi. Maka sang khalifah langsung memadamkan lampu yang dipakainya untuk menulis tadi dengan alasan yang bagi sebagian orang adalah hal sepele, minyak yang dipakai untuk menyalakan lampu tersebut adalah milik Negara. Karena prinsip kepemimpinannya inilah goresan sejarah dengan tinta emas mengiringi pemerintahannya, bahkan dikisahkan selama kepemimpinannya serigala dan domba minum dari satu bejana yang sama.

Ah, akankah kepemimpinan dan keteladanan itu terwariskan sampai ke kita??? Ataukah kita tetap terbelenggu dengan ikatan yang telah disimpul kuat oleh kepemimpinan dunia barat lewat teori-teori yang dicecoki selama bertahun-tahun di kepala kita, menggantikan sirah rasulullah dan sahabat-sahabatnya sebagai buku panduan kepemimpinan kita. Mudah-mudahan tidak.......!!!
Share

0 Responses

Posting Komentar