rin_iffah

Sudah hampir sebulan saya berada dalam lingkungan kerja baru setelah sebelumnya berada di ruang perawatan interna wanita dan ruang anak. Peraturan baru rumah sakit lah yang membuat kami _dokter umum_ harus mengecap rasa yang berbeda di tiap SMF (Staf Medis Fungsional) di rumah sakit daerah ini tiap tiga bulan. Tidak sekedar berkutat dengan pasien kegawat daruratan yang sering dijumpai di IGD, tidak sekedar mendiagnosa awal pasien-pasien di IGD tapi kami juga dituntut untuk turut melewati hari bersama para pesakit di ruang perawatan, mengikuti perjalanan penyembuhan penyakit yang mereka derita bahkan turut menjadi saksi ketakberdayaan kami melawan takdir yang Kuasa dimana kami harus terbiasa menyaksikan mereka meregang nyawa di depan mata sementara kami tak kuasa berkata.


Berada di SMF neurologi atau lebih dikenal dengan ruang perawatan saraf, ada sentuhan lain yang saya rasakan. Di sini, saya tak sekedar berperan sebagai seorang dokter umum yang membantu tugas dokter spesialis saraf; visite bersama perawat, visite ke dua kalinya bersama dokter spesialis saraf, visite lagi bersama dokter spesialis lain jika ada pasien rawat sama, nulis resep, menerima keluhan dan pulang begitu semua pekerjaan tuntas sebagaimana halnya ketika bertugas di beberapa SMF sebelumnya. Tetapi di sini, ada amanah baru yang kini saya jalani sebagai bentuk tanggung jawab yang lain, bukan sebagai seorang dokter tetapi sebagai seorang muslimah yang telah berislam semenjak lahir, muslimah yang telah diberikan kesempatan mengecap ilmu syar’i yang saya yakini kebenarannya. Dan inilah jawaban atas do’a saya, mewarnai mereka yang berada di sekitar saya (terutama di lingkungan rumah sakit ini) dengan ilmu ad dien sesuai pemahaman yang benar.

Rasa syukur tak hentinya saya panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menitipkan amanah ini lewat lisan kepala SMF yang juga seorang dokter spesialis saraf. Amanah untuk membimbing belajar baca tulis al-qur’an kepada beberapa pegawai rumah sakit yang muallaf. Belajar dilakukan setelah visite pasien dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya di ruangan. Awalnya saya berpikir bukanlah hal yang sulit untuk membimbing mereka membaca al-qur’an karena usia mereka yang jauh lebih matang dibanding usia saya dahulu ketika pertama kali belajar membaca al-qur’an. Tapi ternyata saya keliru, Meskipun Di antara mereka ada yang sudah 5 tahun ber islam, ada yang hampir 10 tahun, bahkan ada yang sudah lebih dari 20 tahun mengikrarkan syahadatain, namun ternyata tak satupun dari mereka kuasa melafalkan a ba ta tsa.... subhanallaah... maka bersyukurlah atas ni’mat Islam yang Allah anugerahkan kepada kita. Ni’mat bisa membaca al-qur’an dengan baik dan benar meskipun harus diiringi pukulan dari kedua orang tua kita di saat kecil dulu. Dekap ni’mat itu sekuat kita berusaha mendekap cita tertinggi kita.

Hampir Sebulan berlalu, dan penantian dalam sabar perlahan mulai menampakkan hasilnya. mereka akhirnya mampu menaklukkan huruf-huruf yang awalnya asing, merangkainya dengan lisan yang tertatih tentunya Atas izin Allah kemudian usaha dan azzam mereka yang begitu kuat, walhamdulillah. Saya mencoba menyemangati mereka dengan hadis Rasulullah tentang pahala berlipat atas usaha mereka di atas bacaan terbata-bata, satu pahala untuk bacaan alqur’annya dan 1 pahala lagi untuk kerja keras mereka, insya Allah. Saya tak kuasa menahan haru ketika salah seorang di antara mereka berujar bahwa ia akan dengan bangga menunjukkan bacaannya kepada anaknya, menunjukkan bahwa ia selaku orang tua meskipun adalah seorang muallaf juga mampu membaca al-qur’an dengan baik dan benar.

Berita tentang majelis baca tulis al-qur’an kami menjalar begitu cepat. Kepala perawat di ruangan VIP meminta kesediaan saya untuk membimbing mereka belajar membaca al-qur’an dengan benar. Mereka tanpa malu mengungkapkan betapa mereka meskipun sudah ber-islam semenjak lahir, membaca al-qur’an pun masih terbata. Bahkan ada seorang perawat yang dengan semangat menyampaikan mimpinya; “dok, siapa tau setelah kami bisa membaca al-qur’an dengan baik kami juga bisa mengajarkan ke perawat yang lain sampai nantinya kita bisa bikin majelis ta’lim Rumah Sakit, biar nanit kalo pas ada acara aqiqah anak-anak kita, kita semua yang nanti datang buat ngaji, baca yasin.....” subhanallaah, meskipun ada muatan yang keliru dari mimpi sederhananya, tetapi saya begitu terkesan.... belum tentu kami yang telah lama mengkaji begitu banyak kitab-kitab para ulama, yang telah menghabiskan waktu duduk berjam-jam bersama para thalabul ‘ilm, yang secara sulukiyah maupun fikriyah dikenal sebagai orang yang paham akan ilmu addiin, terpikir untuk memiliki mimpi ini. Mimpi untuk berbagi kebaikan bersama orang-orang di sekitar kita, mimpi untuk merangkul saudari-saudari kita bersama ke jannahNya. Ah, jangan sampai justru langkah kita terhalang ke pintu surga karena tertahan oleh aduan mereka kepada Allah, mengadu atas ketakpedulian kita terhadap ketidakpahaman mereka akan agama ini yang membuat mereka ingin di seret bersama kita ke neraka. Wal yaudzu billah...
Maka gemuruhlah ruang perawatan saraf dengan lantunan ayat-ayat Allah... walau tertatih, walau berpayah... kalimat-kalimat itu menggema ke sudut-sudut ruangan menyusupi hati tiap perindu hidayah... dan semoga hidayah ini kan terus menjalar menyentuh tiap hati yang masih tertutupi kabut kejahilan....

-di penghujung kebersamaan with neurology crew-
Share

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar