rin_iffah


Ternate, 04 Desember 2011 M
Pukul 11.00 a.m
Terik memanggang kota Ternate. Panas yang kian menyengat ini tak kunjung beranjak. Pemandangan yang kontras tampak di bagian barat. Kabut tebal menutupi hampir seluruh permukaan gunung Gamalama. Pagi menjelang siang itu, saya, sebagaimana penduduk yang lain melakukan aktivitas seperti biasa. Setiap ahad, jika tak ada jadwal jaga UGD, maka saya akan menghabiskan sisa hari di mushalla rumah sakit. Menghadiri ta’lim kemudian dilanjutkan dengan tarbiyah dan musyawarah.

Pukul 08.00 p.m
Ba’da shalat isya, penat mulai menjalar setelah seharian tenaga terkuras. Ingin rasanya bersegera merebahkan tubuh di atas kasur yang siap mengantar ke alam mimpi. Tapi rasa itu harus ditepis sejenak mengingat tumpukan tugas yang harus diselesaikan malam itu juga. Status resume pasien, tugas hafalan tarbiyah, proposal kegiatan daurah akhir tahun semuanya harus dituntaskan sebelum beranjak tidur. Sementara di luar kamar, hujan yang dinantikan sejak siang tadi pun turun. Rintiknya menyebar aroma khas kehidupan. Semoga hujan ini menjadi rahmat bagi semesta........ terselip doa di tengah gerimis yang mulai menderas.

Pukul 11.00 p.m
Mata ini sudah tak bisa dipaksa lagi bertahan.... saya pun tertidur hingga terlupa akan janji kepada seorang teman nun jauh di sana untuk menunggu telpon darinya... hujan kian lebat, dingin pun ikut merayap mendukung suasana untuk semakin lelap. Kami tak sadar bahwa hujan di malam itu turut menyertai petaka yang datang tiba-tiba tanpa tanda atau peringatan sebelumnya....
Apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang di malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang merugi” (al a’raf 97-99)

Senin 5 Desember 2011 M
Pukul 03.00 a.m
Saya terjaga, masih ada tugas tersisa untuk membangunkan seisi rumah buat sahur. Di luar, hujan masih turun meski tak sederas semalam. Ada yang aneh subuh itu... bau belerang terhidu sangat menyengat.... saya mencoba membuka pintu dan beranjak ke teras belakang. Ah, ini dia sumbernya... seluruh lantai teras tertutup debu setebal lima senti. Saya belum menyadari jika semalam telah terjadi peristiwa yang membangunkan seisi kota Ternate. Saya bersegera ke teras depan, beberapa motor yang terparkir di depan rumah telah tertutup debu hingga tak berbentuk. Saya beranjak ke kamar, menghidupkan gadget mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Dari situs nya metro tv terpajang berita: “Gunung gamalama ternate meletus...” di kabar yang lain: “2000 penduduk ternate mengungsi”. Subhanallaah, saya bahkan tidak menyadari jika semalam tiap jiwa dicekam ketakutan, semalam jalanan tersesak penduduk yang mencari pertolongan. Suara berisik dari dalam rumah semalam pun tak mengganggu tidur saya.

Pukul 03.30
Di sujud panjang malam itu, saya meminta sebentuk kekuatan untuk semua penduduk Ternate. Betapapun musibah adalah bentuk kasih sayang Allah. Kadang ianya terasa ketika berwujud tamparan yang mendarat tepat di pipi kita. Tak setiap kebaikan harus semanis madu, kadang ia harus berwujud empedu, terkadang pahit tapi menyembuhkan. Tiba-tiba, bayangan akhwat memenuhi ruang pikir saya. Bergegas saya mengambil hp dan mencoba menghubungi mereka terutama yang tinggal di bagian utara. Tapi tak ada jawaban. “Rabb, lindungi mereka.........”

Pukul 09.00 a.m
Di luar hujan debu mulai mengganas, namun tak lama berselang, rintik hujan mendinginkan panasnya hawa. Bau belerang semakin menyengat, jalanan sepi dan kian mencekam. Tak ada seorang pun yang berani keluar rumah. Semua memilih menutup rapat pintu dan jendela menghindari kemungkinan terburuk dari erupsi gunung gamalama ini.

Pukul 10.00 a.m
Beberapa pesan masuk di inbox, sebagian dari teman-teman di sekitaran yang sempat tak membalas pesan semalam dan beberapa lainnya dari mereka yang berada di luar Ternate, menanyakan kabar saudara-saudaranya yang mengalami musibah di sini, tak lupa memberikan kekuatan dengan doa. Mereka, meskipun jauh tetap terasa begitu dekat. Ah, indahnya ukhuwah fillaah.

Pukul 14.00
Siang ini bertepatan dengan giliran saya untuk stand by di UGD. Baru saja tiba di UGD saya disambut oleh seorang pasien yang mengalami trauma listrik akibat lampu yang bergilir dipadamkan sejak dini hari sampai siang tadi. Syukurlah tak ada luka bakar meskipun kondisinya agak lemah. Selang tak berapa lama seorang pasien, laki-laki muda berusia dua puluhan tahun masuk UGD dengan mengamuk dan bicara meracau. Kejadian baru dialaminya semalam setelah mendengar kabar letusan gunung merapi. Trauma itu begitu mengguncang jiwanya sehingga psikisnya pun menjadi tak stabil. Disusul seorang gadis kecil ditemani ibunya, muntah-muntah hebat dari semalam setelah dibangunkan dengan paksa oleh kedua orang tuanya berlari menuju daerah kota untuk menyelamatkan diri dari ancaman keganasan gamalama. Mereka tinggal di perkampungan dekat kaki gunung gamalama, daerah yang paling mengalami dampak dari letusan semalam. Raut ketakutan tergambar jelas di wajahnya, dengan setengah berbisik dan hati-hati saya bertanya “dek, kenapa??” “saya takuut dok!!” gemetar sekujur tubuhnya menjawab. Melihat gadis ini tiba-tiba terlintas berbagai musibah yang terjadi di negeri ini beberapa tahun terakhir, apa yang dialami kami tak sebanding dengan trauma kehilangan yang dialami para bocah korban tsunami di Aceh ataupun Gempa bumi di Jogja. Bagaimanapun, bencana selalu menyisakan luka.....
“Rabb, kuatkan kami dan mereka...”


Pukul 04.00 p.m
Sebuah mobil sedan berplat merah berhenti tepat di depan UGD. Beberapa laki-laki berbadan tegap berpakaian safari rapi bergegas turun disusul seorang bapak tua berusia sekitar 50 an tahun menggenggam sebuah kantong plastik besar berwarna merah berisi setumpuk baju. Di sampingnya seorang laki-laki lain berpenampilan sederhana dengan celana jingkraknya yang basah hingga setinggi betis dan menggunakan sendal jepit, berusaha menenangkan bapak tua tadi. Beliau adalah wakil gubernur kami, bersama bapak yang menjadi korban letusan gunung gamalama. Mereka datang mencari seorang gadis kecil yang adalah anak dari bapak tua tadi. Mereka terpisah sejak semalam. Syukurlah anak perempuan itu tak lain adalah gadis yang sebelumnya masuk dengan muntah-muntah dan trauma akut pasca bencana.

Malamnya, ibu negara kami (isteri dari pak walikota) datang berkunjung ke UGD mencari tahu apakah masih ada korban yang kami rawat. Ada yang menarik dari kejadian tadi. Kami jarang bertemu dengan pemimpin kami jika tak ada momen-momen khusus, salah satunya hari ini. Meskipun demikian, tetap ada rasa kagum atas kesediaan mereka menghampiri kami. Saya Jadi teringat dengan kepemimpinan sahabat mulia Umar bin Khattab yang setiap malam meronda memeriksa kondisi rakyatnya. Yang memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang kesulitan mendiamkan tangis lapar anaknya. Atau seperti Ummu Kultsum binti Ali yang di tengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara suami tercinta Umar Radiyallaahu anhu memasak roti dan menghangatkan susu sambil menghibur gelisah seorang calon ayah. Betapapun, mereka bukanlah sahabat nabi tapi kami tetap merindu sosok teladan itu.

Pukul 09.00 p.m
Saatnya pulang... Jalanan masih sepi, hujan tak lagi mengguyur tapi debu masih menghalangi jarak pandang. Berkendaraan seorang diri di situasi seperti ini tak mengurangi rasa khawatir. Setiba di rumah saya baru menyadari bahwa kondisi tubuh saya seperti pekerja galian pasir yang bermandikan debu galiannya sendiri.

09.45 p.m
Beberapa sms memenuhi inbox, pesan dengan isi yang sama cukup mengganggu hati, isinya tentang ramalan angka keramat 26 yang dikait-kaitkan dengan beberapa peristiwa bencana di waktu lampau yang terjadi di angka 26, yang ujung-ujungnya dihubungkan dengan QS ke 26 dan diminta dikirimkan ke 10 orang agar selamat. Duuh, Di saat ujian datang bukannya kita semakin mendekatkan diri kepadaNya dengan menguatkan keimanan, meneguhkan keyakinan kita akan kehendak Allah, tapi justru dikeruhkan dengan pesan yang justru mengandung kesyirikan. Beginikah cara kita saling mengingatkan di tengah musibah yang menimpa?
“setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam lauhul mahfuz sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS Al Hadiid:22)
“Rabb, ampuni kebodohan kami....”


Selasa, 6 Desember 2011 M
Pukul 11.00 a.m
Di luar UGD debu berterbangan di tiup angin disertai hawa panas menyengat. Sementara di dalam ruang dokter terdengar diskusi hangat tentang kemungkinan terburuk jika cuaca panas bertahan beberapa hari ke depan. Infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan akan menjadi langganan rumah sakit belum lagi persediaan masker yang menipis. Tapi yang menarik dari perbincangan siang itu adalah ketika ada yang mengatakan bahwa cuaca panas seperti ini bisa disiasati agar turun hujan dengan meminta bantuan ‘pawang hujan’. Ah, lagi-lagi musibah ini belum mampu menarik kita untuk kembali sepenuhnya kepadaNya. Padahal orang-orang musyrik terdahulu meskipun tetap dalam kemusyrikan mereka, ketika musibah menghampiri mereka kembali kepada fitrahnya, mentauhidkan Allah.
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepadaNya, tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Al Ankabut:65)

Pukul 09.00 p.m
Sebuah pesan singkat lagi-lagi menghias layar Hp. Semenjak kejadian ini banyak pesan yang tak putus-putusnya. “Rin, dapet ga broadcast kalo akan terjadi ledakan gunung jam 22.00 nanti..?” tak tanggung-tanggung isi broadcastnya memakai kata yang terkesan sangat menakutkan ‘meledak’!!!. Sayangnya sumber broadcast tersebut tidak jelas dari mana sehingga hanya menimbulkan prasangka, menambah kekhawatiran berkepanjangan meskipun intinya mengajak kita untuk lebih waspada.

Rabu, 7 desember 2011 M
Pukul 06.30 a.m
Saat saya membuat tulisan ini, Ternate mulai pulih. Tak ada letusan, tidak pula kabut tebal yang menutup pandangan ke arah gunung Gamalama sebagaimana Senin dini hari kemarin. Pagi ini, dari balik jendela kamar, saya menatap keindahan gunung yang berdiri kokoh 1700 meter di atas permukaan laut itu dengan takjub. Meskipun diselimuti kabut tipis di puncaknya, namun tetap indah seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Gamalama, dengan sejuta pesonanya, juga adalah makhluk Allah. Dan hari ini, gamalama mengajarkan kepada kami lewat 'kejutan' kecilnya, bahwa ia pun tunduk di atas perintah Sang Maha Pencipta.
“Tidaklah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Barang siapa dihinakan Allah, tidak seorangpun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” (Al hajj:18)

“Robb... izinkan kami mengambil ibrah atas tiap kehendakMu....”


*Teruntuk saudari-saudariku yang tak henti mendoakan kami di sini, Jazaakunallaahu khairan
Share

0 Responses

Posting Komentar