Hal yang paling tidak menyenangkan -jika tidak mau dianggap menyebalkan- dari jaga malam IGD yaitu ketika menemukan pasien yang datang dini hari dengan keluhan sepele ataukah pasien dan keluarga yang menunjukkan sikap kurang bersahabat. Keadaan semacam ini yang paling sering menguji keikhlasan juga kesabaran seorang tenaga medis untuk tetap bersikap santun dalam melayani. Seperti seorang ibu malam itu yang datang ke IGD di saat jarum jam tepat berada di angka satu dini hari. “Sakit giginya sejak kapan?” Tanya saya dengan setengah mengantuk “Dari tadi sore dok, sakitnya sih sudah berkurang karena sudah minum obat penahan nyeri tapi saya tidak bisa tidur di rumah. Jadi boleh malam ini saya tidur di sini dok?” You’ve got to be kidding me! Datang ke IGD jam segini hanya karena tidak bisa tidur di rumah dan pengen tidur di IGD? Padahal di sini jauh lebih berisik dibanding jika ibu ini memilih istirahat di rumahnya. Saya hanya bisa mengeluh dalam hati dengan tetap berusaha menunjukkan senyum yang sebenarnya sedikit dipaksakan. Terkadang, kita memutuskan merawat inapkan pasien bukan atas indikasi medis, tapi lebih karena permintaan pasien atau terlanjur tidak tegaan saat melihat pasien dan keluarganya datang jauh-jauh ke IGD membawa bantal, guling, kasur juga kipas angin dan peralatan makan seolah hendak kemping di rumah sakit. Padahal belum tentu juga setelah diperiksa, dokter akan menganjurkan pasien untuk rawat inap.
Setelah selesai menangani pasien ini, saya menuju kamar jaga bermaksud hendak beristirahat meluruskan punggung sejenak, namun tak berapa lama masuk pasien lainnya. Kali ini seorang bapak tua datang dengan meronta kesakitan memegang perutnya sambil berdiri memeluk tiang infus di samping tempat tidur. Saat saya bertanya keluhannya, si bapak malah mengomel “Dokter tidak lihat kalo saya kesakitan kayak gini?? Aduuuh dokter tolong dong pasang infus atau kasih obat apa kek. Saya ini sudah kesakitan dan tidak bisa istirahat sejak tadi pagi?” “Lah, gimana saya mau ngasih penanganan kalo saya sendiri tidak diijinkan untuk memeriksa bapak” saya menimpali dengan sedikit kesal. Bukan apa-apa, tapi sangat sulit menjaga fisik dan pikiran bisa tetap jernih saat harus melayani pasien baru di jam segini. Setelah dibujuk keluarganya beberapa saat, akhirnya bapak ini pun menyerah juga. Dia terpaksa berbaring sambil gelisah menahan sakit. Ternyata rasa sakitnya disebabkan kandung kemihnya yang penuh, biasanya dialami oleh pasien dengan hipertrofi prostat atau penyumbatan lain di saluran kemih…. “Bapak harus dipasangin kateter karena yang bikin sakit perut ini akibat kandung kemih yang penuh” saya mencoba menjelaskan. “terserah dokter saja yang penting saya bisa tidur….” Jawabnya pasrah masih dengan erangan kesakitan. Benar saja, urin yang keluar lebih dari satu liter setelah kateter terpasang. Dan tidak sampai lima menit setelahnya, pasien ini sudah mendengkur hebat. Ah, Ada-ada saja nih bapak…..
Dan ternyata, kejadian tidak menyenangkan ini tak berakhir sampai di pasien hipertrofi prostat yang sudah tertidur pulas ini. Belum sampai setengah jam saya merebahkan diri di tempat tidur, azan subuh pun berkumandang. Dengan mata yang dipaksa bertahan saya menuju kamar mandi untuk bersiap melaksanakan shalat subuh. Tiba-tiba pintu kamar jaga diketuk seseorang. Ketukannya begitu keras. Dari dalam saya berusaha menjawab dengan setengah berteriak “tunggu sebentar!” namun suara ketukan semakin keras. Lebih mirip ditendang dari luar. Cara mengetuk yang tidak biasanya. Jika perawat, mereka akan mengetuk dengan sangat hati-hati, dan kalaupun tidak ada jawaban mereka tidak akan mengetuk berulang kali. Dengan wajah yang masih mengantuk, saya terpaksa keluar dari kamar untuk membukakan pintu dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Saat pintu dibuka, di depan saya berdiri seorang bapak berusia pertengahan empat puluhan dengan postur tinggi besar, barambut acak-acakan membelalakkan mata menatap saya tajam dengan air muka yang merah padam seolah-olah ingin menelan saya hidup-hidup. Telunjukknya diarahkan tepat di wajah saya sambil berteriak keras “Dokter macam apa ini!!! Ada pasien gawat kok malah asik tidur!! Saya laporkan dokter ke direktur rumah sakit, bila perlu ke gubernur dan akan saya masukkan dokter di M***t Pos” suasana IGD yang sepi membuat suaranya menggema menghantam tiap sudut ruangan menambah tegang keadaan. Ditodong seperti itu rasa kantuk hebat yang menyerang seketika hilang entah kemana…. “Maaf pak, boleh bicaranya agak sopan? Saya ini dari semalam belum istirahat, dan barusan juga saya mau sholat subuh. Kenapa tiba2 bapak datang, gedor2 pintu dan membentak saya seperti ini” saya menjawab dengan setenang mungkin. Berusaha menjaga intonasi suara agak tidak terbawa emosi. Nyali juga sebenarnya… terlintas dipikiran hal-hal menakutkan seperti di film-film thriller. Bagaimana jika tiba-tiba bapak ini melakukan tindak kekerasan. Mana suasana sepi “Halaaaaah sholat subuh…. Tidak penting itu yang namanya hablum minallaah…. Yang penting hablum minannaaas… Tuhan juga tahu. Masak ada pasien gawat dokternya malah tidur di kamar. Anak saya di depan sudah berdarah-darah dan belum dapat obat. Saya akan laporkan dokter. Saya ini kerja di pemerintahan!” ia masih membentak dengan intonasi suara yang semakin meninggi sambil kembali mengancam “Silahkan pak, laporkan saja saya ke atasan bapak atau siapapun. Bila perlu pasang nama saya di headline semua surat kabar yang ada di kota ini, Saya tidak takut!” Saya menantang tatapan matanya kemudian berlalu menuju ruang tindakan tempat pasien yang dimaksud berada. Pikirnya mungkin saya hanya seorang perempuan, bertubuh mungil pula sehingga dengan seenaknya dibentak dan diperlakukan kasar. Duuh, sekiranya tadi tangannya sempat menyentuh saya….
Di ruang tindakan sudah ada dua orang perawat yang sibuk melakukan penanganan awal kepada pasien ini. “Maaf dok, kami sudah hecting situasi untuk mengurangi perdarahan, sepertinya arteri radialisnya mengalami rupture” seorang perawat menjelaskan apa yang sedang dilakukan begitu melihat saya sudah berdiri di depan mereka. Saya pandangi anak remaja laki-laki yang terbaring dengan luka robek di pergelangan tangannya. Usianya sekitar tujuh belas tahun. “Kenapa tangannya bisa robek kayak gini?” Tanya saya “Saya pukul kaca dok” jawabnya sambil terisak “Kok bisa?” “Saya berkelahi…. sama bapak” “Kamu habis minum yah?” pertanyaan saya malah dijawab dengan tangisannya yang semakin kencang. Hadeuh, ternyata masalah rumah dibawa-bawa sampai ke IGD, pake adegan ‘sinetron’ pula bapak sama anak ini. Sayapun keluar dari ruang tindakan bermaksud menuliskan resep. Sementara si bapak aneh ini masih terus mengejar saya sambil meracau tidak jelas. Kok ada yah orang seperti ini. Sudah datang meminta pertolongan malah dianya yang ngamuk-ngamuk. Ngakunya intelek, kerja di pemerintahan tapi bersikap seperti preman. Jadi teringat sama orang-orang berdasi dengan penampilan rapi di ibu kota negara sana yang konon adalah wakil rakyat tapi bermental preman yang hobinya gontok-gontokkan, banting meja-lempar kursi dan dipertontonkan di hadapan rakyat. Seketika terlintas ide ‘jahil’ untuk bikin ‘kapok’ bapak ini, yang tindakan ini saya sesalkan kemudian. Yah, masih dengan perasaan emosi, saya meresepkan obat-obatan ber’merek’ yang ditebusnya dengan harga hampir mencapai satu juta rupiah padahal obat-obatan dalam sediaan generik harganya tak seberapa.
Sejak saat itu, bapak ini tidak lagi menunjukkan batang hidungnya di IGD hingga anaknya dipindahkan ke kamar operasi untuk dilakukan tindakan lebih lanjut terhadap pembuluh darah di pergelangan tangannya yang nyaris putus.
Pagi itu, sebelum keluar dari IGD menuju tempat parkir, seorang ibu datang menghampiri saya yang ternyata adalah ibu dari pasien ‘tragedi’ subuh tadi. Ia meminta maaf atas tindakan suaminya yang tidak beretika dan berterima kasih karena bersedia menangani anaknya sehingga nyawanya bisa diselamatkan. Saya hanya bisa tersenyum, yang terlintas di pikiran saya saat itu hanya kasur empuk dan si ngengemon; bantal doraemon kesayangan yang siap menemani saya menghabiskan sisa hari di kamar sepulang nanti. Sambil mengangguk pelan sayapun berlalu meninggalkan IGD juga semua rasa sesal yang sempat menyelimuti hati. Ah, bukankah melupakan hal-hal yang menyakitkan jauh lebih menenangkan…..
Selengkapnya...
"Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah
ia dibunuh" (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
Tiba-tiba saya merasa familiar dengan wajah pasien yang satu ini. Mungkinkah karena pasien post SC yang pernah dirawat di bangsal? Ataukah saya pernah bertemu dengannya sebelumnya? senyumnya... tatapannya... siapa dia?
Saya baru tersentak begitu pasien ini berjalan meninggalkan poliklinik obgin. Subhanallah.... ibu ini pernah datang konsultasi ke saya sekitar sepuluh bulan yang lalu mengeluh mual muntah dan pusing. Saat saya menganjurkannya untuk diperiksa urin untuk mengetahui apakah keluhannya tersebut dikarenakan sedang hamil atau karena penyebab lain "Saya tidak mungkin hamil dok, saya kan lagi ikut KB spiral" ujarnya kala itu. Ketika selesai pemeriksaan dan saya sampaikan bahwa hasilnya positif ia pun menangis. Bukan karena perasaan haru akan memiliki anak lagi tapi karena ketakutannya yang lain. Kejadian hamil pada akseptor KB memang sangat mungkin, karena sampai saat ini belum ada satupun jenis KB yang tingkat pencegah kehamilannya mencapai 100%. "Saya malu dok dengan usia yang sudah kepala empat, mana anak saya yang terakhir sudah berusia 13 tahun. Apa kata orang-orang nanti?" tuturnya pelan "Dok, tolong saya dibikin mens lagi. Dikeluarkan saja dok" Pintanya dengan wajah memelas. Saya hanya bisa menarik napas panjang kemudian berujar "Saya minta maaf bu, tapi saya tidak bisa penuhi permintaan ibu. Saya sudah disumpah saat menyandang gelar sebagai dokter bahwa saya akan menjaga hidup seseorang mulai dari masa pembuahan. Selain itu bukankah anak adalah amanah yang Allah titipkan bagi siapa saja yang menurutNya sanggup untuk memikul amanah tersebut? " "Aduh dok kalau amanah yang lain saya mungkin masih bisa pikul, tapi amanah yang ini saya tidak sanggup dok, saya sudah capek hamil, belum lagi harus mengurus anak bayi. saya mohon bantu saya dok kali ini saja. Saya tidak siap hamil lagi" tangisnya mulai pecah. Duh, saya kasihan melihat ibu ini. Saya memang belum pernah merasakan sulitnya mengandung, sakitnya melahirkan ataupun repotnya mengurus anak, tapi saya juga tidak ingin melakukan tindakan yang mencederai profesi saya terlebih tanggung jawab saya di hadapan Allah. Satu hal yang terpikirkan saat itu, saya harus mampu meyakinkan ibu ini agar mau mempertahankan kehamilannya. "Bu, di luar sana banyak ibu-ibu lain yang sangat menginginkan untuk bisa hamil, berbagai cara mereka lakukan, tak sedikit uang mereka keluarkan tapi toh Allah tidak juga mengaruniakan mereka anak. Sedangkan ibu, dititipkan janin di rahim ibu dengan begitu mudahnya tapi ibu malah ingin mengeluarkannya. Sekiranya boleh, mungkin ibu-ibu yang kurang beruntung itu akan meminta agar janin yg ada di rahim ibu saat ini dipindahkan saja ke kandungan mereka. Apa ibu tidak takut sama Allah? Apa ibu tidak takut jika kelak di akhirat janin ini mempertanyakan atas alasan apa dia harus dibunuh?" Saya mencoba menjelaskan keinginan saya tanpa bermaksud memaksa. Semuanya kembali ke ibu ini karena dialah yang akan menjalani. "Tapi dok, saya dan suami tidak punya pekerjaan tetap. Dari mana kami akan memberikan makanan dan kebutuhan lainnya bagi anak ini nantinya" kilahnya lagi. "Setiap anak dilahirkan dengan rezekinya masing-masing. Asalkan ibu yakin akan hal itu. Siapa tahu anak ini nantinya yang akan menjadi jalan dimudahkannya rezeki bagi kedua orang tuanya. Boleh jadi anak ini kelak akan menjadi kebanggaan bagi kedua orang tuanya" saya tersenyum meyakinkan "Jadi dokter tidak mau bantu saya?" Tanyanya masih dengan wajah memelas. "Saya bisa bantu bu, saya akan bantu ibu untuk menjaga dan memastikan kalau janin yang ada di dalam kandungan ibu ini baik-baik saja. Saya akan resepkan vitamin untuk ibu. Saya harap kelak kita akan bertemu saat saya memeriksa ibu di ruang kebidanan setelah melahirkan. Satu hal lagi, jangan pernah lakukan tindakan-tindakan yang bisa mengancam nyawa ibu juga janin. Jika itu terjadi dan ibu sampe harus dirawat di rumah sakit, mudah-mudahan tidak ketemu saya karena pasti saya akan laporkan ibu ke polisi" saya menutup konsultasi sore itu dengan sedikit ancaman yang kemudian saya sesalkan kenapa saya harus mengeluarkan kata-kata seperti itu.
Dan hari ini, sepuluh bulan kemudian ibu itu benar-benar hadir di depan saya setelah operasi melahirkan anaknya yang sempat ingin digugurkannya. Saya berlari keluar dari ruangan periksa berusaha mengejar pasien saya ini berharap saya masih menjumpainya. Ingin rasanya saya memeluknya dan menyampaikan selamat atas keberanian serta kekuatan hatinya untuk tetap mempertahankan kehamilannya. Wajah itu... tatapan itu pernah mampir diingatan saya dengan sekelumit kesedihan dan kecemasan. Tapi tidak dengan apa yang saya lihat tadi.... wajah yang lebih bersinar, wajah kebahagiaan juga keikhlasan yang terpancar dari senyuman saat ia meminta saya untuk didoakan agar selalu diberikan kesehatan. "Lukanya sudah kering dok, sudah 20 hari yang lalu. Tapi nyerinya masih tertinggal. Doakan supaya semuanya baik-baik saja yah dok" Ah, kenapa saya semudah itu melupakan wajah seseorang padahal bisa jadi ibu ini berharap saya bersikap lebih dari sekedar memberikan terapi dan nasihat seputar keadaan luka pasca operasinya. Maafkan saya bu, tapi saya tetap berharap bisa dipertemukan dengannya suatu hari nanti dalam kondisi yang lebih baik, Di acara pernikahan saya misalnya.... Upss, lupakan yang terakhir ini.....
Selengkapnya...
Gemetar jemari kala harus menuliskan penggalan kisah ini. Adalah sebuah skenario indah yang Allah perlihatkan dengan cara mengutus bidadari-bidadari dunianya tepat di depan mata saya. Jika kemarin saya dipertemukan dengan seorang perempuan yang rela mempertahankan janin di kandungannya meski harus menelan pahitnya dikucilkan. Hari ini ada perempuan berhati mulia lainnya yang bertandang untuk kembali 'menampar' saya. Yah, agar saya dan kita semua bisa menyaksikan bahwa mereka ini ada. Agar saya dan kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah yang mungkin sebagian kita beranggapan bahwa cerita demikian hanya ada di sinetron atau roman picisan belaka.. Dan sungguh hanya keimananlah yang membuat mereka rela menjual kesenangan dunianya demi meraih ridha Allah semata.
Saya terdiam sejenak mendengar penuturan riang seorang ibu yang menemani pasien ibu hamil yang datang ke poliklinik tadi pagi
"Janin yang ada di dalam kandungannya adalah anak suami saya juga, pantas kan dok jika saya cerewet sama kondisi kesehatannya" jleb.... saya tidak menyangka jika akan mendapat jawaban demikian atas pertanyaan saya sebelumnya. Padahal saya hanya ingin memastikan apakah yang mendampingi ibu hamil ini keluarganya ataukah hanya teman dekat. Dua orang yang sedang duduk berhadapan dengan saya ini adalah Isteri pertama dan kedua yang bahkan saya pun tak mengira mereka mampu saling menyayangi, menjaga layaknya saudara sedarah.
"Kak A** ini madu saya dok, dia merelakan suaminya menikahi saya begitu tahu kalo suaminya jatuh cinta sama saya. Dan tak lama lagi akan hadir malaikat kecil yang semakin menguatkan ikatan cinta kami" Ibu hamil yg berusia sekitar 25 tahunan ini mencoba menjelaskan ketika melihat kebingungan yang sempat terlintas dari raut wajah saya.
"Awalnya berat dok. Perempuan mana sih yg bersedia dimadu? Hati perempuan mana yg tak terluka begitu tahu kalau dirinya bukan satu-satunya di hati suaminya. Tapi saya sadar ketika suami saya menyukai seorang perempuan bukan berarti dia sudah tidak mencintai saya, tapi dia sedang jatuh cinta lagi. Saya tidak mau suami saya terjatuh dalam perbuatan dosa hanya karena harus memendam ataupun mengungkapkan perasaannya kepada perempuan yg bukan isterinya sedang masih ada jalan terbuka lebar yang ditawarkan oleh agama ini untuk mencegah perbuatan yang terlarang itu. Dan saya sampai pada keputusan merelakan suami untuk poligami. Bukankah berbagi itu indah dok?" Imbuhnya sambil tersenyum santun.
Cukup sampai di sini saya berani menuliskan potongan percakapan antara kami bertiga pagi tadi saat pasien yang lain mulai ramai berdatangan ke poliklinik. Saya tak sanggup melanjutkan potongan yang lain. Terlalu mendebarkan... Terlalu mengaduk-aduk perasaan saya sebagai seorang perempuan. Duuh, Perempuan macam apa ini yg membiarkan suaminya menikah lagi bahkan dengan seseorang yang secara fisik lebih baik darinya?? Perempuan macam apa ini yang rela berbagi dengan perempuan lain padahal dia masih bisa menempuh cara lain untuk menghindari sebuah kata yang paling ditakutkan para isteri...
'poligami'?? Allah.... bidadari yang kau kirimkan di pagi ini sungguh menjelaskan bahwa surgaMu memang ada....
*Poliklinik Obgin menjelang sepi*
Selengkapnya...
Hari ini, kembali saya belajar dari pasien yang datang memeriksakan diri ke poliklinik obgin. Seorang ibu muda yang sedang hamil tua itu telah mengajarkan saya banyak hal. Tentang perjuangan, kesabaran, harapan dan kekuatan yang tak dimiliki oleh setiap perempuan jika berada pada kondisinya saat ini. Bagaimana tidak, ia harus melewati beratnya mengandung tanpa adanya sosok suami di sampingnya. ""Suami saya bukan sudah meninggal bukan pula saya diceraikan, tapi.... saya memang belum bersuami" Ujarnya pelan ketika saya memintanya memanggil suaminya untuk saya berikan penjelasan terkait kondisi kehamilannya.
Sepintas jika mendengar penuturan ibu ini apa yg terlintas di benak kita?? Rasa jijikkah karena ia belum bersuami tapi sudah hamil duluan? Atau memandangnya sebagai perempuan murahan karena telah hamil tanpa ikatan pernikahan? Paling tidak, kita mungkin akan merasa kasihan dg nasibnya yg malang. Tapi coba dengar penuturan ibu ini selanjutnya.... "Dok, saya memang telah melakukan perbuatan dosa besar yang menyisakan janin di rahim saya yg kini telah hampir memasuki usia sembilan bulan. Bahkan laki2 yang telah saya serahkan semua yang saya miliki termasuk hati pun meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Tanpa perasaan bersalah. Tapi... salahkah jika saya ingin menebus semua dosa saya ini dengan tetap mempertahankan malaikat kecil yang Allah utus di dalam rahim saya ini?"
Ya Allah... tiba2 terlintas di benak saya berbagai kasus aborsi yang marak terjadi dan beberapa di antaranya pernah saya rawat. Mereka ada yg belum berkeluarga yg malu menanggung aib karena hamil di luar nikah, namun tak sedikit yang sudah berumah tangga namun belum siap memiliki tambahan anak. Ah, perempuan di hadapan saya ini bahkan jauh lebih mulia hatinya dibanding mereka atau bahkan kita yang terlalu banyak berprasangka....
"Setiap kali saya merasakan tendangan2 kecil di perut, setiap itupula saya memiliki harapan untuk tetap bertahan. Biarlah setiap rasa sakit yg saya derita selama mengandung, setiap perih yg akan saya alami saat melahirkan nanti, setiap cemoohan orang2 atas kondisi saya yang hamil tanpa adanya suami, setiap luka hati yang telah ditorehkan ayah dari anak yg ada di rahim saya ini... semoga semua itu menjadi penebus kebodohan saya di masa lalu. Semoga dengannya Allah mau mengampuni saya" Lanjutnya sambil menunduk seakan menyesali perbuatan yg pernah dilakukannya. Duuuh, hampir saja saya menangis di depan perempuan ini jika tdk mengingat bahwa saya saat ini sedang menjalankan profesi sebagai seorang dokter. Belum sempat saya berkata2, perempuan tegar di hadapan saya ini melanjutkan kalimatnya "Doakan saya kuat dok, doakan agar saya bisa melewati setiap ujian ini tanpa harus mengeluh atas takdir yang telah Allah berikan kepada saya" Ia menatap mata saya seolah berusaha mencari kekuatan.
Pertahanan saya pun runtuh, saya Tak kuasa menahan haru... mata saya terasa panas oleh air mata yang berusaha saya bendung dari tadi. Bahkan rasa lapar dan bayangan mie ayam jamur spesial dengan siraman saus pedas yang sempat terlintas dipikiran sesaat sebelum pasien terakhir ini masukpun buyar seketika... Saya tak punya simpanan kata2 terbaik untuk ibu ini. Saya kemudian mengelus lembut perut perempuan kuat ini seraya berujar pelan "Semoga Allah menghadirkan sosok anak shaleh/shalehah dari rahim ini yang kelak akan menjadi cahaya bagi ibunya. Semoga dari rahim ini lahir anak berbakti yang akan menjadi tameng bagi ibunya dari api neraka. Semoga selalu dalam penjagaan Allah"
*Masih dg perasaan haru saat kembali menuliskan kisah ini*
Ternate, 14 Rabiul Awal 1436 H / 5 Januari 2015
Selengkapnya...