rin_iffah

"Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh" (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9) 

Tiba-tiba saya merasa familiar dengan wajah pasien yang satu ini. Mungkinkah karena pasien post SC yang pernah dirawat di bangsal? Ataukah saya pernah bertemu dengannya sebelumnya? senyumnya... tatapannya... siapa dia?

Saya baru tersentak begitu pasien ini berjalan meninggalkan poliklinik obgin. Subhanallah.... ibu ini pernah datang konsultasi ke saya sekitar sepuluh bulan yang lalu mengeluh mual muntah dan pusing. Saat saya menganjurkannya untuk diperiksa urin untuk mengetahui apakah keluhannya tersebut dikarenakan sedang hamil atau karena penyebab lain "Saya tidak mungkin hamil dok, saya kan lagi ikut KB spiral" ujarnya kala itu. Ketika selesai pemeriksaan dan saya sampaikan bahwa hasilnya positif ia pun menangis. Bukan karena perasaan haru akan memiliki anak lagi tapi karena ketakutannya yang lain. Kejadian hamil pada akseptor KB memang sangat mungkin, karena sampai saat ini belum ada satupun jenis KB yang tingkat pencegah kehamilannya mencapai 100%. "Saya malu dok dengan usia yang sudah kepala empat, mana anak saya yang terakhir sudah berusia 13 tahun. Apa kata orang-orang nanti?" tuturnya pelan "Dok, tolong saya dibikin mens lagi. Dikeluarkan saja dok" Pintanya dengan wajah memelas. Saya hanya bisa menarik napas panjang kemudian berujar "Saya minta maaf bu, tapi saya tidak bisa penuhi permintaan ibu. Saya sudah disumpah saat menyandang gelar sebagai dokter bahwa saya akan menjaga hidup seseorang mulai dari masa pembuahan. Selain itu bukankah anak adalah amanah yang Allah titipkan bagi siapa saja yang menurutNya sanggup untuk memikul amanah tersebut? " "Aduh dok kalau amanah yang lain saya mungkin masih bisa pikul, tapi amanah yang ini saya tidak sanggup dok, saya sudah capek hamil, belum lagi harus mengurus anak bayi. saya mohon bantu saya dok kali ini saja. Saya tidak siap hamil lagi" tangisnya mulai pecah. Duh, saya kasihan melihat ibu ini. Saya memang belum pernah merasakan sulitnya mengandung, sakitnya melahirkan ataupun repotnya mengurus anak, tapi saya juga tidak ingin melakukan tindakan yang mencederai profesi saya terlebih tanggung jawab saya di hadapan Allah. Satu hal yang terpikirkan saat itu, saya harus mampu meyakinkan ibu ini agar mau mempertahankan kehamilannya. "Bu, di luar sana banyak ibu-ibu lain yang sangat menginginkan untuk bisa hamil, berbagai cara mereka lakukan, tak sedikit uang mereka keluarkan tapi toh Allah tidak juga mengaruniakan mereka anak. Sedangkan ibu, dititipkan janin di rahim ibu dengan begitu mudahnya tapi ibu malah ingin mengeluarkannya. Sekiranya boleh, mungkin ibu-ibu yang kurang beruntung itu akan meminta agar janin yg ada di rahim ibu saat ini dipindahkan saja ke kandungan mereka. Apa ibu tidak takut sama Allah? Apa ibu tidak takut jika kelak di akhirat janin ini mempertanyakan atas alasan apa dia harus dibunuh?" Saya mencoba menjelaskan keinginan saya tanpa bermaksud memaksa. Semuanya kembali ke ibu ini karena dialah yang akan menjalani. "Tapi dok, saya dan suami tidak punya pekerjaan tetap. Dari mana kami akan memberikan makanan dan kebutuhan lainnya bagi anak ini nantinya" kilahnya lagi. "Setiap anak dilahirkan dengan rezekinya masing-masing. Asalkan ibu yakin akan hal itu. Siapa tahu anak ini nantinya yang akan menjadi jalan dimudahkannya rezeki bagi kedua orang tuanya. Boleh jadi anak ini kelak akan menjadi kebanggaan bagi kedua orang tuanya" saya tersenyum meyakinkan "Jadi dokter tidak mau bantu saya?" Tanyanya masih dengan wajah memelas. "Saya bisa bantu bu, saya akan bantu ibu untuk menjaga dan memastikan kalau janin yang ada di dalam kandungan ibu ini baik-baik saja. Saya akan resepkan vitamin untuk ibu. Saya harap kelak kita akan bertemu saat saya memeriksa ibu di ruang kebidanan setelah melahirkan. Satu hal lagi, jangan pernah lakukan tindakan-tindakan yang bisa mengancam nyawa ibu juga janin. Jika itu terjadi dan ibu sampe harus dirawat di rumah sakit, mudah-mudahan tidak ketemu saya karena pasti saya akan laporkan ibu ke polisi" saya menutup konsultasi sore itu dengan sedikit ancaman yang kemudian saya sesalkan kenapa saya harus mengeluarkan kata-kata seperti itu.

Dan hari ini, sepuluh bulan kemudian ibu itu benar-benar hadir di depan saya setelah operasi melahirkan anaknya yang sempat ingin digugurkannya. Saya berlari keluar dari ruangan periksa berusaha mengejar pasien saya ini berharap saya masih menjumpainya. Ingin rasanya saya memeluknya dan menyampaikan selamat atas keberanian serta kekuatan hatinya untuk tetap mempertahankan kehamilannya. Wajah itu... tatapan itu pernah mampir diingatan saya dengan sekelumit kesedihan dan kecemasan. Tapi tidak dengan apa yang saya lihat tadi.... wajah yang lebih bersinar, wajah kebahagiaan juga keikhlasan yang terpancar dari senyuman saat ia meminta saya untuk didoakan agar  selalu diberikan kesehatan. "Lukanya sudah kering dok, sudah 20 hari yang lalu. Tapi nyerinya masih tertinggal. Doakan supaya semuanya baik-baik saja yah dok" Ah, kenapa saya semudah itu melupakan wajah seseorang padahal bisa jadi ibu ini berharap saya bersikap lebih dari sekedar memberikan terapi dan nasihat seputar keadaan luka pasca operasinya. Maafkan saya bu, tapi saya tetap berharap bisa dipertemukan dengannya suatu hari nanti dalam kondisi yang lebih baik, Di acara pernikahan saya misalnya.... Upss, lupakan yang terakhir ini.....
Share

0 Responses

Posting Komentar