Ternate, 14 Ramadan 1437 H/19 Juni 2016 M
Senja mulai merekah, mentari perlahan beranjak menuju peraduan sedang gelap telah bersiap meneruskan titah Sang Penguasa alam, menjaga bumi agar tetap berada dalam keseimbangan. Sementara penduduk bumi yang beriman berada dalam penantian akan kumandang azan maghrib yang mengantarkan mereka pada kegembiraan yang tersebut oleh baginda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya sebagai satu di antara dua kegembiraan yang dimiliki oleh setiap mukmin yang berpuasa; kegembiraan ketika seteguk air dan sebutir kurma mengalahkan segala nikmat yang ada di dunia yakni kegembiraan saat berbuka puasa dan kegembiraan saat berjumpa dengan Allah di akhirat kelak.
Setiap mu’min petang itu, tenggelam dalam rapal doa yang khusyuk menanti saat berbuka. Saat di mana segala macam doa kebaikan yang naik ke langit lewat lisan-lisan orang berpuasa takkan ada penghalang menuju ArsyNya. Tak terkecuali kami di senja itu pun sedang bersiap menanti saat berbuka puasa di sebuah rumah sederhana. Seperti biasa, ibu, adik, kakak dan isterinya telah duduk manis di meja makan dengan hidangan buka puasa yang tersaji di atasnya, sementara papa yang terbiasa berbuka dengan seteguk air sebelum ke masjid karena terlampau khawatir tak mendapatkan shaf pertama, telah tersaji pula sepiring pisang goreng kesukaan beliau, 3 butir kurma serta segelas air putih di atas meja di ruang tamu untuk memudahkan papa bisa bersegera ke masjid melalui pintu depan begitu azan bergema sesaat setelah berbuka. Saya yang baru saja mandi setelah sore itu bersepeda, memilih berada di ruang tamu menemani papa dan keponakan yang sedang asik bermain. Padahal biasanya saya lebih memilih berkumpul bersama yang lain di meja makan. Papa di sore itu sebagaimana hari-hari yang lalu, sebelum ke masjid beliau sudah berada dalam kondisi fisik yang terbaik; berwudhu, menggunakan gamis kesukaan berwarna coklat susu, peci putih yang selalu tersemat di kepala dan tak lupa harum wewangian yang terhidu dari tubuhnya. Satu hal yang membuat saya salut sama papa adalah waktunya tak pernah terisi oleh hal yang sia-sia. Jika tak sedang membaca al-qur’an atau tidur, lisan beliau selalu basah dengan kalimat-kalimat dalam rangka mengingat Allah. Momen berkumpul bersama keluargapun lebih dimanfaatkan papa dengan memberikan nasihat kepada kami. Meskipun sore itu, Fatih; keponakan saya menggoda papa dengan tingkahnya yang lucu, papa hanya menanggapi dengan tersenyum sembari lisannya tak luput dari zikir kepada Allah. Sesuatu yang sangat sulit saya amalkan di kehidupan saya saat ini.
Pukul 18.36 WIT jelang berbuka di hari ke 14 Ramadan…
Papa menoleh ke saya sembari berujar dengan senyumnya yang khas “3 menit lagi yah!” saya hanya menanggapinya dengan anggukan kepala dan membalas senyumnya. Kebiasaan papa di setiap jelang berbuka adalah mengingatkan kami akan waktu berbuka puasa yang tersisa beberapa menit lagi. Tak lama setelah berkata demikian, sepintas saya melihat papa bersandar di sofa sambil menarik napas, sementara Fatih tertawa menatap kakeknya dalam kondisi demikian. Awalnya saya menduga bahwa papa hanya menggoda Fatih, tapi berikutnya saya merasa ada yang aneh dari ekspresi yang ditunjukkan papa. Saya mendekati papa, menatap wajahnya lekat-lekat yang tampak kesakitan. Saya memanggil beliau sambil meminta untuk tetap beristighfar. Tak ada sesiapa di ruang tamu, hanya saya, papa dan Fatih. Entah kenapa tiba-tiba jantung saya berdebar tak karuan, meskipun papa dalam kondisi sehat sebelumnya, sebagai seorang dokter terlebih sebagai seorang anak perempuan satu-satunya yang dekat dengan papa, firasat saya teramat kuat bahwa saat itu adalah saat di mana papa sedang dijenguk malaikat rahmah (insyaAllah), saat di mana telah ditampakkan seluruh amal perbuatan papa semasa di dunia, saat dimana malaikat maut perlahan mengeluarkan ruh papa dari jasadnya. Meskipun singkat, hati saya teriris, merintih melihat papa yang kesakitan menahan pedihnya kematian; Dan setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian……
Saya tersadar dari kondisi sebelumnya yang hanya bisa terpaku menatap papa. Bergegas saya memanggil mama dan yang lainnya di ruang makan. Melihat kondisi papa, kakak laki-laki saya dan isterinya yang juga adalah seorang perawat, berusaha melakukan pertolongan pertama kepada papa, sedang adik saya berlari keluar memacu motornya mencari mobil untuk membawa papa ke rumah sakit. Saat papa dibaringkan, napasnya mulai terdengar lemah, kakak saya masih sibuk melakukan resusitasi jantung paru. Ibu, hanya bisa mematung, terdiam menatap papa dalam kondisi demikian dengan air mata yang terus mengalir tak henti-hentinya. Saya yang berada tepat di kepala papa berusaha membantu papa dengan talqin, saya bisikkan kalimat ‘Laa ilaha illallaah’ berulang kali tepat di telinga papa. Tak lama adik saya tiba dan meminta papa segera dibawah ke IGD. Meskipun saya sadar saya adalah seorang dokter, seharusnya saya berusaha melakukan tindakan pertolongan terbaik buat papa, menyelamatkan nyawa papa, tapi naluri saya sebagai seorang anak membuat saya meminta kepada mama, kakak dan adik saya untuk tak perlu membawa papa ke rumah sakit. Saya tidak ingin detik-detik berharga papa dalam menjalani sakarat dilewati di perjalanan. Sayapun meminta kakak dan adik untuk sama-sama memindahkan papa ke tempat tidur di kamar saya.
Dan pukul 18.39 WIT memasuki hari ke 15 ramadan, di tempat tidur itulah, setelah satu tarikan napas panjang yang teramat lemah,diikuti kumandang azan yang bersahutan dari beberapa masjid sekitar, tepat di saat orang-orang beriman di wilayah kami berbuka puasa, ruh papapun keluar menuju illiyiin, menuju lapis langit ke tujuh tempat bersemayam ruh orang-orang beriman (InsyaAllah). Beliau dipanggil menujunya masih dalam keadaan berpuasa. Ibu yang tak siap melihat kepergian papa yang begitu tiba-tiba sempat berucap sambil terisak “mengapa tidak menunggu berbuka puasa dulu?” saya berusaha menguatkan ibu kala itu, meminta beliau beristighfar karena seakan-akan tidak menerima ketetapan Allah kemudian sayapun berujar lirih “Papa tadi masih Allah takdirkan sahur bersama kita di dunia, tapi semoga papa saat ini telah berbuka bersama para malaikatNya yang mulia…”
Innalillaahi wa innailahi raajiuun…. Setiap kita akan diwafatkan sebagaimana kebiasaan kita; demikian perkataan para salaf. Dan hari ini, saya, ibu dan saudara-saudara saya sendiri menjadi saksinya. Papa yang tak pernah meninggalkan puasa sunnah senin-kamis, yaumul bidh serta puasa-puasa sunnah lainnya. Papa yang selalu menjaga wudhunya… papa yang tak pernah kering lisannya dari berdzikir kepada Allah, hari ini dipanggil dalam kondisi sebagaimana kesehariannya. Semoga dengannya Allah menjadikan akhir beliau adalah akhir yang baik (husnul khatimah), insyaAllah. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa afihi, wa’fu anhu.
Selengkapnya...