Sejarah peradaban telah mencatat bahwa Islam hadir dengan mengangkat tinggi derajat wanita di tengah kabut yang menutupi keterbelakangan dan kebodohan perlakuan para filsuf dan masyarakat Yunani, peradaban barbar Romawi, Persia, bangsa Arab, bahkan Yahudi dan Nasrani terhadap wanita. Dalam pandangan Bangsa Yunani, wanita tak lebih dari kotoran syaitan yang tidak memiliki hak sama sekali. sedang Romawi merendahkan wanita dengan menganggap bahwa wanita hanyalah seonggok benda mati tanpa ruh. Begitupula dengan bangsa Arab yang sampai mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup ketika masih kecil. “Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuannya, hitam padamlah mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, ataukah ia harus menguburkannya di dalam tanah hidup-hidup? Ketahuilah...! alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu!” (An Nahl 58-59)
Dan hari ini, pemikiran jahiliyah itu kembali mencuat. Pemikiran jahiliyah tidak lagi terdefinisikan sebagai keterbelakangan dan kebodohan karena lemahnya pengetahuan. Jahiliyah hari ini, hadir dengan wajah yang lebih tertata dengan baik, bersembunyi di balik wajah buram para intelektual yang mengusung nilai feminisme, liberalisme serta pluralisme. Di negeri ini para pejuang feminisme sebagian berwujud intelektual muslim berjilbab, para ilmuwan di kampus-kampus Islami yang hadir bak pahlawan kesiangan. Dengan alasan membela tokoh yang dianggap sebagai penggagas emansipasi, RA Kartini. Mereka berkicau dengan lantangnya mencoba untuk memangkas nilai-nilai kesantunan dan kelembutan seorang wanita. Padahal kartini sendiri membantah pengakuan mereka dalam surat yang beliau tulis jelang akhir hayatnya
“sudah lewat masanya.. tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, yang tiada taranya. Maafkan kami. tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang baik dan indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”(surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
Bahkan kartini terinspirasi firman Allah " ... mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)...” (QS Al Baqarah [2]: 257) yang kelak dikenal dalam kumpulan surat-suratnya berjudul habis gelap terbitlah terang.
Kartini, diakhir hayatnya sadar bahwa Eropa bukanlah negara yang patut ditiru oleh kaumnya. Eropa sebagai kiblat kebebasan berekspresi telah menggiring para wanita pada distrorsi perilaku yang bermartabat serta keluhuran budi. Apa yang bisa dibanggakan dari sebuah pembenaran perilaku tak berbudaya atas nama emansipasi? Alhasil, lahirlah ide-ide ‘merusak’ dari para penggaggas serta orang-orang yang menyebut mereka sebagai pejuang emansipasi. Mereka mencoba merancukan pemikiran serta mengotori pemuliaan Islam terhadap wanita. Mereka menganggap agama adalah doktrin kaku yang memasung hak-hak wanita. Dengan ‘kelancangan’-nya kepada Allah, mereka berani membuat-buat aturan sendiri, menyamakan pembagian waris, membolehkan wanita menjadi imam sholat jama’ah dengan makmum laki-laki, melucuti jilbab para muslimah dengan alasan tak relevan dengan globalitas masa.
Mereka bahkan pernah menggugat sebuah hadis dari Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam : “tiada yang aku lihat kekurangan dalam akal dan agama yang meruntuhkan kekokohan akal orang yang cerdik, seperti kekurangan yang dimiliki salah seorang di antara kalian”. Lalu seorang wanita yang beliau ajak bicara bertanya, ‘apa maksudnya kurang dalam akal dan agama?’ beliaupun bersabda, ‘kekurangan dalam akal adalah bahwa persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian seorang laki-laki. Adapun kekurangan agamanya adalah, salah seorang dari kalian tidak berpuasa di beberapa hari dalam bulan Ramadhan, dan dia tidak mendirikan sholat pada beberapa waktu sholat.” (HR. Abu Dawud)
Padahal kekurangan agama dimaksud adalah kekurangan dari segi kuantitas. Dimana wanita setiap bulan mengalami haid yang jelas menyebabkannya kurangnya kuantitas puasa dan sholat. Bukan dari segi kualitas. Karena bisa kita temukan para wanita muslimah dengan kualitas ibadah yang tak kalah dengan laki-laki. Dan bagi mereka ada janji kesetaraan oleh Allah dalam kalamNya :
“Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Alla, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab:35)
Kepada mereka yang sibuk menggugat hadis rasulullah di atas, cukuplah kita katakan bahwa hadis tersebut ditujukan kepada para mukminah seperti Aisyah radhiyallaahu anha yang menghafal ribuan hadis dari Rasulullah serta menjadi rujukan ilmu para sahabat Radhiyallaahu anhuma. Ah, untuk hal ini pun mereka tak masuk kategori.
Inilah kondisi jahiliah yang merasuki pemikiran mereka. Padahal Islam hadir menemui para wanita di bilik-bilik mereka. Mengajarkan mereka nilai sebuah kesetaraan sejati. Laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam beberapa aspek. Tapi mereka justru setara dalam berbagai aspek. Porsi berbeda dalam beberapa aspek bukanlah menunjukan sebuah ketakadilan. Bukankah pengertian adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan bukan membagi rata sesuatu untuk dua hal yang berbeda. Maka kita dapatkan wanita adalah makhluk yang dibekali dengan kelembutan. Karena ia dipersiapkan untuk membelai anak-anaknya, menjaga dengan anugrah kasih sayang yang tersemat pada sosok lembutnya. Sedangkan laki-laki dikaruniai karakter keras dan kuat karena ia dipersiapkan menjadi pelindung bagi rumah tangganya. Mereka hadir dengan karakteristik yang berbeda bukan untuk disetarakan, tetapi untuk saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan hadir bukan untuk saling merendahkan posisi, justru mereka hadir sebagai belahan yang tak terpisahkan.
kesetaraan yang sebenarnya sudah berabad-abad silam dijelaskan dengan begitu gamblangnya oleh Allah dan Rosulnya.
Bahkan wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya :
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya... seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya....” (HR al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An Nasa’i)
Masing-masing, laki-laki dan perempuan adalah pemimpin yang pada tiap kepemimpinannya Allah takar kemampuan. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
Dan bagi wanita beriman, terhadap ketetapan Allah atas mereka, kita ikrarkan dengan sepenuh kesadaran, Kami ridho dengan pembagian ini. Karena semua adalah kemuliaan di sisi Allah. Semulia pesan yang terukir indah dalam al-qur’an
“Dan janganlah kalian merasa iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian di antara kalian atas sebagian yang lain. Bagi para laki-laki terdapat bahagian dari apa yang mereka kerjakan, dan bagi para wanita pun terdapat bahagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (an Nisaa’ 32)
Selengkapnya...
“sudah lewat masanya.. tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, yang tiada taranya. Maafkan kami. tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang baik dan indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”(surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
Bahkan kartini terinspirasi firman Allah " ... mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)...” (QS Al Baqarah [2]: 257) yang kelak dikenal dalam kumpulan surat-suratnya berjudul habis gelap terbitlah terang.
Kartini, diakhir hayatnya sadar bahwa Eropa bukanlah negara yang patut ditiru oleh kaumnya. Eropa sebagai kiblat kebebasan berekspresi telah menggiring para wanita pada distrorsi perilaku yang bermartabat serta keluhuran budi. Apa yang bisa dibanggakan dari sebuah pembenaran perilaku tak berbudaya atas nama emansipasi? Alhasil, lahirlah ide-ide ‘merusak’ dari para penggaggas serta orang-orang yang menyebut mereka sebagai pejuang emansipasi. Mereka mencoba merancukan pemikiran serta mengotori pemuliaan Islam terhadap wanita. Mereka menganggap agama adalah doktrin kaku yang memasung hak-hak wanita. Dengan ‘kelancangan’-nya kepada Allah, mereka berani membuat-buat aturan sendiri, menyamakan pembagian waris, membolehkan wanita menjadi imam sholat jama’ah dengan makmum laki-laki, melucuti jilbab para muslimah dengan alasan tak relevan dengan globalitas masa.
Mereka bahkan pernah menggugat sebuah hadis dari Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam : “tiada yang aku lihat kekurangan dalam akal dan agama yang meruntuhkan kekokohan akal orang yang cerdik, seperti kekurangan yang dimiliki salah seorang di antara kalian”. Lalu seorang wanita yang beliau ajak bicara bertanya, ‘apa maksudnya kurang dalam akal dan agama?’ beliaupun bersabda, ‘kekurangan dalam akal adalah bahwa persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian seorang laki-laki. Adapun kekurangan agamanya adalah, salah seorang dari kalian tidak berpuasa di beberapa hari dalam bulan Ramadhan, dan dia tidak mendirikan sholat pada beberapa waktu sholat.” (HR. Abu Dawud)
Padahal kekurangan agama dimaksud adalah kekurangan dari segi kuantitas. Dimana wanita setiap bulan mengalami haid yang jelas menyebabkannya kurangnya kuantitas puasa dan sholat. Bukan dari segi kualitas. Karena bisa kita temukan para wanita muslimah dengan kualitas ibadah yang tak kalah dengan laki-laki. Dan bagi mereka ada janji kesetaraan oleh Allah dalam kalamNya :
“Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Alla, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab:35)
Kepada mereka yang sibuk menggugat hadis rasulullah di atas, cukuplah kita katakan bahwa hadis tersebut ditujukan kepada para mukminah seperti Aisyah radhiyallaahu anha yang menghafal ribuan hadis dari Rasulullah serta menjadi rujukan ilmu para sahabat Radhiyallaahu anhuma. Ah, untuk hal ini pun mereka tak masuk kategori.
Inilah kondisi jahiliah yang merasuki pemikiran mereka. Padahal Islam hadir menemui para wanita di bilik-bilik mereka. Mengajarkan mereka nilai sebuah kesetaraan sejati. Laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam beberapa aspek. Tapi mereka justru setara dalam berbagai aspek. Porsi berbeda dalam beberapa aspek bukanlah menunjukan sebuah ketakadilan. Bukankah pengertian adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan bukan membagi rata sesuatu untuk dua hal yang berbeda. Maka kita dapatkan wanita adalah makhluk yang dibekali dengan kelembutan. Karena ia dipersiapkan untuk membelai anak-anaknya, menjaga dengan anugrah kasih sayang yang tersemat pada sosok lembutnya. Sedangkan laki-laki dikaruniai karakter keras dan kuat karena ia dipersiapkan menjadi pelindung bagi rumah tangganya. Mereka hadir dengan karakteristik yang berbeda bukan untuk disetarakan, tetapi untuk saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan hadir bukan untuk saling merendahkan posisi, justru mereka hadir sebagai belahan yang tak terpisahkan.
kesetaraan yang sebenarnya sudah berabad-abad silam dijelaskan dengan begitu gamblangnya oleh Allah dan Rosulnya.
Bahkan wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya :
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya... seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya....” (HR al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An Nasa’i)
Masing-masing, laki-laki dan perempuan adalah pemimpin yang pada tiap kepemimpinannya Allah takar kemampuan. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
Dan bagi wanita beriman, terhadap ketetapan Allah atas mereka, kita ikrarkan dengan sepenuh kesadaran, Kami ridho dengan pembagian ini. Karena semua adalah kemuliaan di sisi Allah. Semulia pesan yang terukir indah dalam al-qur’an
“Dan janganlah kalian merasa iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian di antara kalian atas sebagian yang lain. Bagi para laki-laki terdapat bahagian dari apa yang mereka kerjakan, dan bagi para wanita pun terdapat bahagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (an Nisaa’ 32)
Label:
dakwah,
dokter,
dunia kata,
emansipasi,
genetika,
info,
inspirasi,
islam,
jepang,
kajian,
kesehatan,
muslimah,
puasa
0
komentar
|