rin_iffah

Sewaktu kecil, ketika ditanyakan tentang apa cita-cita kita kalau sudah besar nanti jawabannya selalu bervariasi. Cita-cita yang sebenarnya lebih bermakna mimpi saat itu. Banyak impian yang kita bangun di masa kecil dulu. Kadang kita bermimpi menjadi dokter di saat melihat makhluk berjas putih dengan ramahnya menyapa kita dikala sakit, di lain hari kita begitu menggebu mengungkapkan mimpi kita menjadi seorang koki handal karena terinspirasi dengan masakan ibu yang lezat. Seiring berganti waktu mimpi kita pun ikut berubah. kita tak berani lagi merancang mimpi tak seperti ketika kecil dulu. Ketakutan menghadapi kenyataan, takut gagal membuat kita berhenti bermimpi. Padahal kita lupa bahwa hadirnya kita di dunia ini, tumbuh dan berkembanya kita hingga seperti kita di detik ini juga berawal dari mimpi ke dua orang tua kita. Lihatlah ke sekitar kita, peradaban yang meninggallkan jejaknya di tiap negeri, ilmu pengetahuan yang kita kecap saat ini adalah juga bagian dari mimpi orang-orang terdahulu kita. Dan jika bukan karena mimpi Rasulullah memperbaiki ummat manusia, tentu kita tak akan bisa menikmati indahnya hidayah dalam balutan keislaman.


Maka mimpi adalah bagian terindah dan terendah dari visi, tulis Salim A. Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang. Jika kita hendak menaikkannya satu aras, jadikanlah ia cita-cita. Bagaimana caranya? Sematkan saja sebuah tanggal padanya. Lanjut beliau masih dalam tulisan yang sama. Maka cita-cita adalah mimpi yang bertanggal. Tanggal yang kita sematkan di tiap impian kitalah yang akan melontarkan semangat untuk bangkit berlari mengejarnya. Tanggal yang akan menjadikan mimpi kita tak sekedar angan kosong. Tapi kenyataan yang sementara kita songsong.

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa negara Israel (Yahudi raya) terbentuk dari mimpi seorang Benyamin Se’eb alias Theodore Herzl, mimpi yang kemudian ia jadikan cita-cita dalam tiap katanya yang menginspirai jutaan orang Yahudi untuk bergerak mendirikan negara Israel. “hari ini kuproklamasikan negara Yahudi raya di Palestina. Hari ini memang sangat pantas aku ditertawakan. Tapi selambat-lambatnya 50 tahun lagi, aku yakin bahwa mereka yang mengabdi untuk zionisme lah yang akan tertawa” ungkapan keji ini menjadi sebuah mimpi yang terbukti dengan berdirinya negara Israel di tahun 1948.

Inilah kekuatan mimpi. ia bisa merubah seorang penakut menjadi pemberani. Namun terkadang, kita merasa ketakutan meneruskan impian kita karena khawatir akan adanya kegagalan. Jalanan yang mendaki, sedikitnya bekal, lemahnya hati, akhirnya membuat kita terhenti. Padahal kita lupa bahwa dalam meraih mimpi, kecil atau besar akan selalu ada aral yang menghalangi. Akan ada badai yang menerpa. Tapi bagi pemimpi sejati, masalah serta hambatan dijadikan tantangan untuk meraih apa yang dicitakannya.

Ada dua tipe manusia dalam melihat hambatan dalam impiannya. Yang pertama adalah mereka yang selalu berkata “Bisa, tetapi sulit”. Mereka inilah orang-orang yang cenderung membesar-besarkan masalah. Meskipun ia memiliki kemampuan untuk bertindak, namun ia dilemahkan oleh ketakutan akan kegagalan. Tindakannya justru terfokus pada tiap kesulitan sehingga ia lupa bahwa di balik gelapnya malam, ada cahaya siang yang siap menanti di ujung fajar. Yang kedua adalah mereka yang selalu berkata “sulit, tetapi bisa”. Inilah tekad kuat yang akan membuat kesulitan serta penghalang menjadi begitu kerdil. Mereka percaya bahwa sebuah kesulitan akan selalu diiringi oleh dua kemudahan. Mereka bergegas, bertindak, dan menutupnya dengan doa penuh harap kepada Sang Khalik, penggenggam semua kuasa.

Jika seorang yahudi saja mampu menggerakkan citanya menyadi nyata, apatah lagi kita seorang mu’min. Yang Allah janji akan kebaikan di setiap cita mulia yang kita bangun. Keyakinan akan ada jalan kemudahan dari Allah seharusnya menguatkan langkah kita. Tak berpasrah pada takdir, karena memang tak ada seorang pun yang bisa menerawang apa yang ada di depannya. Maka goreskan ia dengan sebuah pensil dan serahkan penghapusnya kepada Allah, agar ia yang mengganti bagian yang salah dengan sesuatu yang indah untuk kita.

Dibalik semua cita-cita kita, jangan lupa untuk mengalirkannya hanya ke satu muara, yakni ridha Allah semata. Bercita-citalah setinggi mungkin bahkan di saat mencitakan surga, karena itulah yang diserukan nabi dalam sabdanya “pintalah surga yang tertinggi, al-Firdaus...”
Maka sudah saatnya kita untuk bangun, bersegera menyelesaikan mimpi kita yang sempat tertunda semalam. Tuntaskan ia sekarang, di alam nyata.
Share

0 Responses

Posting Komentar