Kadaton Ternate |
Ternate sebagai salah satu kota pusaka Indonesia, selain menawarkan keindahan alam berupa laut, pantai dan danau sebagai tempat rekreasi atau wisata, juga memiliki banyak destinasi sejarah yang sayang jika dilewatkan saat anda berkesempatan berkunjung ke sini. Sebagai kota kecil yang kelilingnya hanya seluas 42 KM, Ternate memiliki banyak benteng peninggalan Portugis maupun Belanda. Ada yang bangunannya masih tegak berdiri, sebagian lainnya hanya berupa reruntuhan. Benteng Nostra Senora Del Rosario atau yang dikenal oleh penduduk Ternate sebagai benteng Kastela misalnya, adalah salah satu Benteng peninggalan Portugis yang memiliki nilai historis yang tinggi. Di benteng inilah Sultan Khairun; ayahanda Sultan Baabullah di bunuh secara keji yang sekaligus menjadi titik puncak perlawanan rakyat mengusir Portugis dari bumi Ternate. Kejadian ini direfleksikan dalam sebuah tarian bernama tari Soya-Soya. Anda juga bisa bertandang ke kadaton Sultan Ternate (Istana/Tempat Tinggal Sultan), Sigi lamo (Masjid Sultan) ataupun Dodoku Ali (Jembatan tempat menerima tamu kesultanan) yang ke tiga area ini berada di tempat yang berdekatan. Namun pada kesempatan kali ini, saya akan mengajak anda untuk mengunjungi Desa Foramadiahi; pusat pemerintahan pertama kerajaan Ternate sebelum dipindahkan ke Kadaton Ternate yang sekarang. Di tempat ini juga Terdapat makam Sultan Baabullah.
Kelurahan Foramadiahi; pusat kerajaan pertama Ternate |
Terik mulai memanggang ketika kami menapak jalanan menanjak menuju sebuah tempat yang dikeramatkan penduduk sekitar yang konon adalah makam Sultan Baabullah di Foramadiahi. Melintasi kembali tempat ini layaknya merekam jejak perjalanan bersama rombongan ‘tur wisata sejarah’ saat masih duduk di bangku SMP belasan tahun silam. Bukan waktu yang singkat untuk menikmati wajah baru desa yang kini telah menjadi salah satu Kelurahan di kecamatan Pulau Ternate. Memilih menggunakan sepeda motor ke tempat yang berada di lereng gunung Gamalama ini rupanya menjadi pilihan yang tepat jika tak ingin separuh perjalanan yang lumayan sulit tak bisa diselesaikan karena kehabisan tenaga. Setelah memarkir kendaraan di rumah salah satu warga, perjalanan dimulai dengan menaklukkan seratus satu anak tangga untuk bisa sampai ke titik awal menuju makam. Begitu tiba di anak tangga ke seratus satu maka lelah akibat tanjakan terbayarkan dengan pemandangan indah di bawah sana. Selain rumah penduduk dengan pagar yang dicat senada, mata kita juga akan dimanjakan dengan hamparan laut biru dengan pulau Tidore, Mare, Moti dan Makian yang berjejer rapi membentuk setengah frame di sisi kirinya. Memandang Foramadiahi dari ketinggian seperti ini mengantarkan kami ke masa-masa di mana pemerintahan pertama pulau Ternate bermula. Di tempat inilah dipercaya sebagai tempat bermukimnya Kolano (raja) pertama sebelum akhirnya pemerintahan dipindahkan ke Kota baru di kawasan Soa-Sio. Maka bertandang ke Foramadiahi ibarat mengunjungi rumah tua yang telah ditinggal pemiliknya. Jangan bayangkan kami akan jumpai reruntuhan bangunan bekas istana raja, bahkan warga sekitar pun tak pernah peka bahwa di tanah merekalah asal mula kerajaan Ternate berdiri hingga berubah wujud menjadi kesultanan dan tetap ada sampai saat ini.
Sesaat melepas penat, perjalanan menuju makam pun dilanjutkan. Berbekal informasi dari warga, kami menyusuri jalanan setapak yang sudah dibeton jauh berbeda dengan kondisi jalanan belasan tahun lalu yang masih berupa tanah basah khas daerah pegunungan. Melintasi jalanan yang terkadang menanjak juga sesekali menurun tajam ini membuat perjalanan seolah tak menemukan ujungnya. Bersyukur karena pandangan masih bisa berkarib dengan deretan pohon Cengkeh dan Pala yang dahan kokohnya menjulang di samping kiri kanan menjadi terapi cuma-cuma bagi paru-paru dan pikiran yang mulai kekurangan oksigen. Dedaunan menguning dan sebagian telah kering berterbangan memenuhi jalanan yang kami lalui menambah syahdu suasana serta menghantarkan aroma khas bumi rempah-rempah. Pantas saja jika bangsa Eropa saling berebut mendatangi surganya rempah di jaziratul Mulk ini. Di perjalanan, kami sempat berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang membawa keranjang terbuat dari anyaman rotan dipunggungnya. Masyarakat Ternate menyebutnya saloi. Berkebun dengan membawa saloi di punggung (cahi saloi) merupakan pemandangan yang sudah sangat jarang dijumpai di Ternate.
Seorang Ibu yang sedang ke kebun sambil 'Cahi Soloi' |
Makam Sultan Baabullah |
Abaikan sejenak tentang simpang siur sejarah kebenaran pemilik makam. Yang pasti, kisah heroik dibalik sosok yang dipercaya sebagai pemilik makam keramat ini patut dicatat dengan tinta emas sejarah perlawanan rakyat Ternate terhadap penjajah. Sang penguasa 72 pulau ini begitu ditakuti oleh musuh-musuhnya juga disegani oleh kerajaan-kerajaan lain yang ada di Nusantara. Sultan Baabullah adalah sang inspirator dalam melawan kolonialisme Eropa. Begitu luasnya daerah kekuasaan di bawah kepemimpinannya, sehingga banyak yang menyebutkan bahwa Ternate pada masa Sultan Baabullah adalah miniatur Negara Islam pertama di Nusantara. Maka ketika mangkatnya di tanggal 18 Ramadhan 991 H atau 25 Mei 1583 di usianya yang ke 53 tahun duka dodora menyelimuti bumi Ternate. Meskipun sampai detik ini tempat kematiannya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sejarah, Sultan Baabullah tetaplah pahlawan bagi rakyat Ternate.
Foramadiahi dan Makam Sultan Baabullah adalah perpaduan sejarah dan legenda berbumbu mitos yang terperangkap di atas perbukitan lereng gunung gamalama, menjadikan dua situs bersejarah ini semakin terisolir, kian asing terindera tertutupi oleh pesatnya pembangunan. Rumah tua foramadiahi kini hanya sekedar perkampungan biasa layaknya perkampungan lain yang ada di Ternate. Tak ada lagi yang istimewa buatnya. Seistimewa ketika ia menjadi rumah pertama bagi pemerintahan Ternate, Ratusan tahun silam.